Kewajiban Puasa Ramadlan



Kewajiban Puasa Ramadlan

Keistimewaan bulan Ramadlan sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Semua umat Islam khususnya para ulama telah sepakat mengenai keistimewaan bulan ini bila dibandingkan dengan bulan lain diluar Ramadlan. Kewajiban umat Islam lah untuk mengisi bulan ini dengan berbagai ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT. Berburu rahmat, kasih sayang, dan ampunan dari-Nya kiranya perlu dilakukan untuk memanfaatkan bulan istimewa yang diberikan Allah diperuntukkan umat Nabi Muhammad SAW. Beruntung bagi mereka yang mau memanfaatkan sebaik – baiknya. Sebaliknya sungguh merugi bagi mereka yang melewatkan bulan suci nan mulia, mengingat tidak ada jaminan bagi mereka untuk bersua dengan Ramadlan di tahun yang akan datang.

 

Memang usia manusia adalah satu rahasia di antara rahasia – rahasia yang hanya Allah yang mengetahuinya. Kapan manusia akan dipanggil untuk menghadap-Nya, tidak ada yang tahu, meskipun dia seorang cerdik pandai, ulama, wali sekalipun, sungguh tidak ada orang yang tahu sama sekali mengenai nasibnya di hari esok. Kedustaan besar apabila ada seseorang yang mengaku mengetahui nasibnya atau nasib seseorang di masa yang akan datang. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Surat Lukman (31); 34:

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (34) 

Artinya: Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat, dan Dia yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Lukman (31); 34)

Karena nasib di masa depan adalah sebuah rahasia sementara kematian dan pertanggung jawaban amal perbuatan di hadapan-Nya adalah sebuah kepastian yang tidak seorang pun mampu membantahnya, maka persiapan dalam menghadapinya adalah satu keharusan. Orang yang menghadap kepada-Nya tanpa bekal bagaikan orang yang menyeberangi lautan luas tanpa bahtera, tentu bisa dibayangkan apa yang akan menimpanya.

Salah satu keistimewaan di bulan Ramadlan adalah Allah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan puasa. Kewajiban puasa ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah (2); 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
Artinya: Wahai orang – orang yang beriman! Telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Q.S. al-Baqarah (2); 183)

Ayat di atas menerangkan kewajiban berpuasa bagi umat yang beriman. Khitabnya bukan orang Islam meskipun puasa adalah bagian dari rukun Islam yang lima. Memang puasa adalah rukun Islam keempat di antara rukun Islam yang lima, tetapi mereka yang mau melakukan hanyalah mereka yang beriman kepada Allah. Beriman kepada perintah puasa pada ayat di atas. Adapun mereka yang tidak beriman, tidak mungkin mereka akan menjalankannya. 

Buktinya, banyak orang Islam yang saat di bulan suci Ramadlan mereka tidak berpuasa. Saat kita jalan – jalan dipusat keramaian kota, pasar, mall dan sebagainya banyak orang yang dengan santainya menghisap rokok, minum kopi, atau menyantap makanan di warung. Begitu ditanya mereka juga mengatakan bahwa agamanya adalah Islam. Tetapi mengapa mereka tidak juga puasa di bulan Ramadlan? Hal itu disebabkan karena iman belum masuk ke dalam hatinya. Pengakuan keislaman mereka masih sebatas lisan, sementara hatinya jauh dari iman. Coba perhatikan ayat berikut, Surat al-Hujurat (49); 14:

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (14)

Artinya: Orang – orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam)’, karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hujurat (49); 14)

Secara tegas dalam ayat ini Allah menyatakan lewat Rasulullah SAW, bahwa Arab Badui belumlah beriman kepada Allah. Pengakuan keislaman mereka tidak serta menjadikan mereka sebagai seorang mukmin, tetapi mereka masih muslim. Untuk meraih derajat mukmin, maka mereka perlu memperjuangkannya dengan menjalankan ketaatan sepenuhnya kepada Allah dan Rasulullah. Demikian halnya dengan fenomena yang terjadi saat ini.

Orang – orang yang mengaku sebagai orang Islam, namun tidak mau menjalankan puasa di bulan suci Ramadlan, pada hakikatnya mereka belumlah dikatakan sebagai mukmin. Jika mereka beriman, tentu mereka akan menjalankan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan puasa, tetapi nyatanya, lapar dan dahaga, serta keinginannnya kepada nikmat yang bersifat duniawi masih memaksa mereka untuk meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, cinta mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, iman mereka kepada-Nya masih lah sebatas lisan dan belum masuk dalam hati.

Puasa Ramadlan wajib bagi umat Islam yang mengaku beriman kepada Allah. Siapa pun di antara mereka yang tidak menjalankan puasa, maka bagi mereka adzab yang pedih. Sebaliknya bagi mereka yang taat dan menjalankan puasa Ramdlan dengan ketulusan hati mereka, karena keimanan yang mengakar kuat di dalam hatinya, maka bagi mereka pahala yang berlipat dan surga yang dijanjikan-Nya.

Bagi seorang mukmin, mereka akan menjalankan puasa penuh dengan keikhlasan. Mereka tidak ingin melewatkan begitu saja bulan istimewa yang telah diberikan Allah kepadanya. Mereka akan berlomba – lomba dalam kebaikan, mengisi hari – hari mereka dengan berbagai amal ibadah yang merupakan wujud ketaatan kepada-Nya. Masjid – masjid, surau – surau, pesantren, madrasah dan berbagai tempat yang menjadi pusat kegiatan umat Islam akan riuh ramai dengan suara orang bertadarrus, pengajian dan sebagainya. Ini adalah wujud kebahagiaan mereka dalam menyambut bulan suci.

Momen ini juga seringkali dimanfaatkan oleh umat Islam untuk melakukan serangkaian kegiatan yang juga memiliki nilai sosial. Pada bulan suci Ramadlan akan dijumpai sebagian umat Islam yang membagi – bagikan ta’jil bagi mereka yang sedang dalam perjalanan. Di jalan – jalan, masjid, sekolah, madrasah, kampus dan berbagai tempat yang lain seringkali di adakan kegiatan buka bersama dan pembagian ta’jil sebagai wujud kepedulian sosial. Tidak hanya itu, bahkan saat ini banyak pula tempat – tempat umum yang menyediakan makanan untuk berbuka semisal pada SPBU. Hal ini adalah satu hal yang positif. Demikian lah puasa membangkitkan gairah seorang mukmin untuk semakin giat dalam mendekatkan diri kepada-Nya dan mendorong mereka untuk memiliki kepekaan dan kepedulian sosial.

Kewajiban menjalankan puasa Ramdlan kiranya bukanlah hal yang perlu diperdebatkan lagi bagi umat Islam. Umat Islam, siapa pun dia, kaya, miskin, berpangkat maupun rakyat jelata, wajib bagi mereka menjalankan ibadah puasa tanpa membedakan status sosialnya. Semuanya memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya saja. Oleh karenanya tidak patut seseorang membanggakan kekayaannya, status sosial dan jabatannya di hadapan yang lain, karena Allah hanya akan melihat seberapa tingkat ketulusan hatinya dalam menjalankan ketaatab kepada-Nya dan seberapa tinggi kualitas keimanan dan ketaqwaannya. Ketekunan ibadah tanpa keikhlasan di dalamnya, menjadikan amal ibadah itu tidak ada artinya di hadapan Allah. Sebaliknya, sedikit amal ibadah yang dijalankan penuh dengan keikhlasan kepada-Nya, akan memiliki nilai lebih, apalagi bila amal itu banyak dan penuh keikhlasan.

Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam...


Komentar