Puasa: Hanya Lapar dan Dahaga



Puasa: Hanya Lapar dan Dahaga

Betapa beruntungnya orang yang bersua dengan Ramadlan. Ramadlan adalah bulan di mana Allah menurunkan rahmat, ampunan dan karunia-Nya kepada umat Islam yang beriman. Pahala ibadah dilipat gandakan di bulan suci Ramadlan. Dosa – dosa, berapapun banyaknya akan di ampuni oleh-Nya, asalkan mau bertaubat kepada-Nya. Syaitan dibelenggu di bulan suci ini. Pintu surga di buka lebar – lebar oleh Allah, bagi siapa saja yang ingin memasukinya.

Di saat Allah membuka seluruh pintu surga, umat Islam saling berlomba – lomba dalam keabaikan. Masjid dan mushalla ramai dengan suara tadarus, berjubel dengan jamaah shalat tarawih, berlimpah dengan shadaqah ta’jil dan sebagainya. Siang hari umat Islam berjibaku melawan nafsunya, menahan diri dari lapar dan dahaga untuk mendapatkan karunia-Nya. Namun, disaat bersamaan Rassulullah SAW mengingatkan umat Islam dengan sabdanya:

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ  (رواه أحمد)

Artinya: Diceritakan oleh Abu Hurairah ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: ‘berapa banyak orang yang berpuasa, yang tiada ia dapatkan dari puasanya itu melainkan rasa lapar, dan berapa banyak orang yang qiyamul lail, yang tiada ia dapatkan dari qiyamnya itu melainkan begadang’”. (H.R. Ahmad)

Rasulullah SAW melalui hadits ini hendak mengingatkan kepada umat Islam agar senantiasa berhati – hati dalam semua amal ibadahnya di bulan suci Ramadlan khususnya, dan umumnya di bulan lainnya. Banyak orang yang berpuasa, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah lapar dan dahaga. Padahal seharian mereka menahan diri dari makan dan minum, namun yang mereka dapatkan hanya lapar dan dahaga. Puasanya tidak mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT sama sekali. Orang seperti ini adalah orang yang merugi. Rugi dunia lebih – lebih di akhirat kelak. 

Banyak juga orang yang meluangkan waktunya untuk qiyamul lail, begadang di malam hari. Mereka bangun dan menghabiskan banyak waktunya untuk ibadah kepada Allah. Mereka mengira bahwa apa yang mereka lakukan itu, kelak akan mendapatkan balasan dari Allah berupa surga, pahala yang berlimpah dan dijauhkan dari siksaan api neraka. Akan tetapi nyatanya, ibadah yang mereka lakukan tidak ada nilainya dihadapan Allah SWT. Bangun mereka di waktu malam untuk qiyamul lail, tidak memiliki pengaruh sedikitpun untuk merubah keputusan Allah memasukkannya ke api neraka. Tidak ada yang mereka dapakan selain rasa capek karena begadang semalaman. Sungguh merugi orang yang seperti ini.

Pertanyaannya, mengapa bisa demikian? Padahal sudah banyak usaha yang mereka lakukan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Sudah banyak waktu dan tenaga yang mereka kerahkan untuk menjalankan perintah Allah SWT. Apakah Allah tidak mendengar dan tidak mengetahui jerih payah yang telah mereka lakukan? Jawabannya, tentu Allah mengetahui. Tidak ada sesuatupun di dunia ini melainkan Allah SWT mengetahuinya. Mengetahui dari sisi dlahirnya, juga dari sisi bathinnya.

Pertama, boleh jadi karena niatnya dalam beribadah yang salah.  Ingat, niat adalah kunci dalam melakukan ibadah. Apapun bentuk ibadah yang kita jalankan, niat menduduki kedudukan utama. Orang yang niatnya salah, sudah barang tentu ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah. oleh karenanya perbaikilah niat saat hendak menjalankan ibadah. Seseorang akan diberikan balasan pahala sesuai dengan niat yang ia niatkan dalam hatinya di saat memulai ibadah. Niatlah semata melaksanakan perintah Allah (Lillah), bukan karena yang lain.

Kedua, boleh jadi karena kurang terpenuhinya syarat dan rukun saat melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Syarat rukun tentu menduduki posisi utama dalam menjalankan ibadah. Bila syarat dan rukunnya tidak terpenuhi bagaimana mungkin ibadah akan diterima oleh Allah? oleh karenanya penting untuk belajar, mencari ilmu dan pengetahuan tentang apa yang akan kita kerjakan agar semua itu tidak sia – sia di hadapan Allah SWT. Jika kita puasa, maka ilmu untuk puasa, ya harus kita ketahui. Bila tidak, besar kemungkinan puasa itu tidak ada artinya di hadapan Allah SWT.

Ketiga, ujub, membanggakan terhadap amal. Ingat kita bisa beramal ibadah kepada Allah sesungguhnya adalah anugerah Allah SWT. Oleh karenanya, sesungguhnya kita mesti bersyukur bisa melakukan ibadah itu. Kita mesti menyadari bahwa semua itu adalah anugerah Allah, bukan lantas membanggakan amal dan mengaku bahwa amal itu adalah milik kita (Billah). Jika masih terbesit satu pengakuan dalam diri kita bahwa itu adalah milik kita sesungguhnya masih jauh amal ibadah itu dari diterima di sisi-Nya.

Keempat, boleh jadi karena riya’, ingin dipuji orang lain. Riya’ itu bisa menghapus pahala dosa yang kita kerjakan. Di era modern seperti ini, kecanggihan tekhnologi seringkali menyebabkan orang tertipu dalam menjalankan ibadah. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah wujud syukur kepada Allah, namun nyatanya adalah perbuatan riya’. Ucapan selamat berbuka di medsos sangat rawan dengan riya’. Belum lagi Alhamdulillah bisa menjalankan puasa hari ini, Alhamdulillah bisa shalat tahajud mala mini dan seterusnya. Jarang di antara kita yang menyadari hal ini sebagai wasilah atau media setan dalam menjerumuskan manusia dalam perbuatan riya’. Begitu seterusnya. Hal inilah yang menyebabkan puasa, ibadah, qiyamul lail dan sebagainya hanya mengahasilkan rasa payah, lapar dahaga belaka. Sementara pahala di sisi Allah sama sekali tidak diperoleh.

Kelima, tiadanya rasa ikhlas dalam amal ibadah yang kita kerjakan. Ikhlas adalah ruh yang menjadikan amal ibadah kita bernilai di mata Allah. Keikhlasan dalam ibadah hanya Allah yang mengetahui. Syaikh ibnu Athaillah mengingatkan kepada umat Islam tentang pentingnya ikhlas dalam setiap amal perbuatan. Beliau mengatakan dalam kitab al-Hikam:

اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَأَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ فِيْهَا

Artinya: Amal – amal perbuatan itu adalah gambar – gambar yang berdiri tegak, sementara ruh yang (menjadikannya) hidup adalah adanya rahasia ikhlas di dalamnya.

Oleh karenanya senantiasa berhati – hati dalam menjalankan ibadah muthlak diperlukan. Jangan sampai kita menjadi orang yang terpedaya oleh nafsu dan setan yang selalu menggoda. Fisik kita ibadah, tubuh kita kepayahan karena menjalankan ibadah, namun semua itu hanya berujung pada penyesalan karena semuanya bagaikan debu yang beterbangan. Tiada bekas sama sekali.

Orang yang berpuasa, namun tidak tepat dalam menjalankannya. Boleh jadi karena niatnya yang tidak tepat, bercampur dengan riya’, maka puasanya hanya berujung pada rasa lapar dan dahaga belaka. Tidak ada nilainya dihadapan Allah dan tidak pula meninggalkan atsar bagi dirinya, berupa peningkatan dalam hal keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Sungguh merugi orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan lapar dan dahaga.

Berusaha untuk selalu memperbaiki kualitas ibadah adalah hal mutlak yang harus dilakukan oleh setiap orang. Jangan terlalu mudah mengumbar  dan menguploud sebuah amal ibadah yang telah kita lakukan karena boleh jadi hal itulah yang menyebabkan amal perbuatan kita tidak ada nilainya di hadapan Allah SWT. Cukuplah Allah yang mengetahui ketaatan kita kepada-Nya. Jangan biarkan pengetahuan orang lain terhadap ibadah kita, justru menyebabkan tertolaknya ibadah dan pengabdian kita kepada-Nya.

Komentar