Dimensi Vertikal Puasa
Syariat puasa memang tidak diragukan lagi memiliki berbagai macam
hikmah. Dari sisi mana kita menggalinya, maka kita bisa mendapatkan hikmah yang
terpendam di dalam syariat puasa itu. Oleh karenanya seyogyanya sebagai seorang
muslim yang beriman untuk berusaha menggali dan menemukan semua hikmah
tersebut. Dengan menemukan hikmah – hikmah yang terkandung di dalamnya, maka
semakin bertambah keimanan kita kepada-Nya.
Di antara hikmah yang ada di dalam puasa itu bisa kita tinjau dari
dimensi vertikal. Dimensi vertikal di sini saya artikan sebagai dimensi
hubungan antara seseorang dengan Sang Khaliq, Penciptanya. Di akui maupun
tidak, pada dasarnya puncak dari kehidupan manusia sesungguhnya adalah
mendapatkan ridla-Nya. Tugas kita di dunia ini, hanyalah untuk beribadah kepada
Allah, tidak ada yang lain. Hanya saja yang perlu dipahami, bahwa ibadah tidak
melulu shalat, dzikir, wirid yang berupa ibadah – ibadah mahdhah belaka. Namun,
ibadah mencakup berbagai hal yang tidak dilarang oleh Allah, asalkan dalam
penerapannya senantiasa diniati melaksanakan perintah-Nya.
Jika semua hal yang kita lakukan kita niatkan dengan niat yang
baik, maka otomatis akan menjadi ibadah kepada-Nya. Sebaliknya, sebaik apapun
ibadah yang kita lakukan, namun bila niatnya buruk, maka amal tersebut tidak
bisa disebut ibadah.
Perintah puasa termaktub di dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah (2);
183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
Artinya: Wahai orang – orang yang beriman telah diwajibkan atas
kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan (puasa) atas orang – orang
sebelum kalian agar kalian bertaqwa. (Q.S. al-Baqarah (2); 183)
Ayat di atas menjelaskan bahwa puasa diwajibkan atas orang – orang
yang beriman. Memang puasa termasuk salah satu dari rukun Islam, tetapi
keislaman seseorang belumlah jaminan kemauan mereka untuk melaksanakan puasa.
Keimanan yang ada dalam hatinyalah yang sesungguhnya mendorongnya untuk
melaksanakan puasa.
Kewajiban puasa sesungguhnya tidak hanya disyariatkan untuk umat
Nabi Muhammad SAW. Sebelum di utusnya Rasulullah SAW., umat – umat sebelumnya
juga diperintahkan untuk melaksanakan puasa. Tujuan puasa sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat tersebut adalah agar mereka bertaqwa.
Taqwa memiliki pengertian menjalankan semua perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Seorang yang bertaqwa kepada Allah SWT secara
otomatis akan muncul dalam dirinya rasa takut kepada Allah seandainya mereka
meninggalkan perintah-Nya, Allah SWT. Perbedaan rasa takut kepada Allah dengan
takut kepada selain-Nya adalah, apabila rasa takut kepada selain Allah maka
akan menyebabkan orang tersebut berusaha menjauh darinya, sementara apabila
seseorang takut kepada Allah, maka rasa takut itu akan semakin membuatnya
berusaha untuk semakin dekat dengan Allah SWT. Sebagai misal adalah seseorang
yang takut akan gangguan binatang buas, ular, harimau, serigala dan sebagainya,
akan berusaha untuk menjauhkan diri dari gangguannya. Sebaliknya mereka yang
takut kepada siksa Allah maka akan berusaha untuk mendekat kepada-Nya.
Menjalankan perintah Allah diakui maupun tidak lebih mudah bila
dibandingkan dengan menjauhi larangan Allah. Tidak usah jauh – jauh, kita bisa
melakukan pengamatan kepada orang – orang yang ada disekeliling kita atau
bahkan mengoreksi diri kita sendiri. Banyak di antara kita yang menjalankan
shalat, puasa, zakat dan berbagai amal ibadah lain, tetapi untuk sekedar
menjauhkan diri dari sifat “ghibah”, rasanya adalah hal yang sangat berat.
Berulangkali pengajian dan ceramah agama disampaikan, sesering itu pula
kesalahan tetap dilakukan juga.
Puasa dalam dimensi vertikal bertujuan untuk menjalin hubungan yang
harmonis antara seorang hamba dengan Tuhannya. Jangan dibayangkan bahwa
hubungan yang harmonis di sini bagaikan hubungan antara seorang lelaki dan
perempuan yang kebanyakan lebih didominasi oleh syahwat biologis saja. Lebih
dari itu hubungan ini menghendaki hubungan yang lebih intens lagi dan sama
sekali jauh dari syahwat.
Puasa Ramadlan adalah salah satu cara untuk melemahkan nafsu
sehingga nafsu akan lebih mudah diarahkan kepada hal – hal yang diridlai Allah.
Sifat dasar nafsu adalah mengajak manusia untuk melakukan sesuatu yang dilarang
oleh Allah. Dorongan nafsu akan semakin besar manakala perut terisi oleh banyak
makanan. Oleh karena itu saat puasa, kondisi nafsu semakin melemah sehingga
keinginannya untuk melakukan hal – hal yang buruk akan semakin berkurang.
Dengan berkurangnya peran nafsu potensi spiritual manusia akan semakin
meningkat.
Dengan puasa maka ketaqwaan akan diperoleh. Ketaqwaan kepada Allah
akan berbuah pada munculnya berbagai perilaku yang mulia, seperti sabar,
tawakkal dan lembutnya hati. Sabar itu mudah diucapkan, namun sulit untuk
diterapkan dalam kehidupan. Dengan puasa seseorang semakin meningkat tingkat
kesabarannya, berusaha untuk mengendalikan diri sehingga tidak mudah
dikendalikan oleh emosinya.
Memang diakui maupun tidak, banyak orang yang berpuasa, namun
mereka tidak memperoleh buah dari puasanya melainkan hanya rasa lapar dan
dahaga. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda:
رب صائم
حظه من صيامه الجوع والعطش ورب قائم حظه من قيامه السهر -[14]-
Artinya: Banyak orang yang berpuasa namun bagiannya dari puasa
itu hanyalah lapar dan dahaga, dan banyak orang yang qiyam lail tetapi
bagiannya dari qiyam lail itu hanyalah bergadang.
Banyak orang yang melakukan puasa, namun bagiannya hanya lapar dan
dahaga. Puasanya tidak ada nilainya dihadapan Allah SWT. Demikian juga banyak
orang yang menghabiskan waktunya di malam hari untuk ibadah, qiyam lail, namun
yang didapatkannya hanyalah bergadang dan rasa kantuk belaka. Mereka merugi,
karena maksud dan tujuan yang sesungguhnya untuk semakin mendekat dan
mendapatkan ridla Allah SWT tidak didapat. Padahal sudah banyak waktu, tenaga,
pikiran bahkan kalau perlu harta yang telah mereka korbankan untuk semua itu. Namun,
nyatanya Allah tidak menerimanya dan bahkan menolaknya. Mengapa demikian? Karena
mereka tidak ikhlas dalam menjalankannya dan mereka tidak memenuhi persyaratan
yang diberikan Allah agar nilai ibadah yang dilakukannya bisa memiliki nilai
lebih di hadapan Allah SWT.
Puasa tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu
tujuan utama puasa adalah agar rasa taqwa tertanam dalam diri seorang yang
puasa. Ketaqwaan yang terlahir dalam diri seorang yang puasa akan melahirkan
keshalihan individu sebagai seorang hamba kepada Tuhannya. Memang pada dasarnya
manusia diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi ini, tiada lain adalah untuk
beribadah kepada-Nya. Tidak ada tugas lain yang diemban manusia di dunia ini
melainkan supaya mereka menjalankan ibadah kepada-Nya.
Ibadah kepada Allah dalam arti totalitas. Selama dua puluh empat
jam dalam sehari semalam, seorang manusia sesungguhnya hanya diperintah untuk
beribadah kepada Allah, tidak yang lain. Lantas, bagaimana ia bisa mengemban
tugasnya untuk terus beribadah kepada-Nya selama dua puluh empat jam sementara
manusia juga membutuhkan makan, minum, bekerja dan sebagainya? Nah, di sini lah
yang perlu dipahami. Ibadah tidak hanya berupa ibadah mahdlah. Selain ibadah
mahdlah, segala urusan manusia yang dilakukan semata karena melaksanakan
perintah Allah, ikhlas karena-Nya, selama bukan sesuatu yang dilarang Allah,
maka hal itu bisa dinamakan ibadah.
Manusia akan memiliki kekuatan besar dalam beribadah, manakala
hatinya telah dipenuhi oleh ketaqwaan kepada Allah. oleh karena itu
sesungguhnya puasa yang dilakukan oleh umat Islam khususnya di bulan suci
Ramadlan, sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Allah SWT merupakan sebuah
media bagi umat Islam untuk mengendalikan nafsunya, belajar bersabar dan
menerima dengan ikhlas semua ketentuan yang ditetapkan oleh Allah kepada umat
manusia.
Bayangkan saja seorang yang memiliki naluri untuk makan, minum, dan
sebagainya harus menahan diri dalam waktu seharian. Belum lagi jika pada musim
kemarau, bila saja dalam hati orang tersebut tidak ada rasa iman dan taqwa kepada-Nya
tidak mungkin ia mau menjalankan puasa. Di saat panas yang menyengat, rasa haus
yang menyerang tentu akan mendorong dirinya untuk minum. Akan tetapi
keimanannya kepada Allah mendorongnya untuk tidak berbuat demikian. Ia yakin
bahwa Allah tahu apa yang dilakukannya.
Betapa indahnya syariat puasa yang telah ditetapkan Allah untuk
umat manusia. Puasa menjadikan diri seorang mukmin memiliki rasa patuh, takut
kepada Allah sehingga ia tidak mau melanggar sesmua ketentuan yang ditetapkan Allah.
Puasa mengajarkan kesabaran, karena meski lapar dan dahaga menyerang, tetap
saja kita tidak makan dan minum sampai saatnya tiba. Karena itulah sesungguhnya
di dalam puasa terdapat dimensi vertikal, yakni hubungan seorang hamba dengan
Tuhannya. Puasa dapat membentuk keshalihan individual dalam diri seorang yang
berpuasa, hingga ia benar – benar menjadi seorang hamba yang patuh dan taat
pada Tuhannya, Allah SWT.
Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar