Dimensi Spiritual Puasa



Dimensi Spiritual Puasa


Saat pertama membaca judul ini, mungkin terbesit dalam diri anda tentang sesuatu yang berbau mistis. Diakui maupun tidak spiritual kerap kali dihubungkan dengan segala hal yang berbau mistis, namun menurut hemat saya tidak semua hal yang berbau spiritual itu mistis.

 

Sah dan boleh saja anda beranggapan bahwa spiritual itu adalah hal yang bersifat mistis, tidak masuk akan bahkan seringkali dikaitkan dengan yang ghaib. Itu adalah satu persepsi dari sebagain besar orang dan boleh saja. Namun, sekali lagi saya tidak ingin membatasi spiritual itu sebagai hal yang berbau mistis belaka, lebih dari itu ia adalah satu hal yang realistis, kuat mendorong setiap anggota tubuh manusia untuk melakukan sebuah kerja nyata, dengan menyingkirkan segala bentuk hambatan yang siap menghadang didepannya.

Ya, puasa memang begitu. Puasa sesungguhnya memiliki dimensi spiritual yang akan mendorong seorang yang berpuasa melakukan hal – hal terpuji sesuai dengan titah Tuhan-nya. Benarkah demikian? Bukan sebaliknya? Puasa bikin kita lemes, tidak bergairah, tidak memiliki semangat untuk lebih progress ke masa depan.

Sebagian orang atau bahkan kebanyakan di antaranya boleh saja beranggapan bahwa puasa membuat seseorang menjadi lemes, ngantuk, tidak bergairah dan tidak bersemangat. Penyebab utamanya jelas, karena selama seharian ia tidak bisa menikmati apa yang sebelumnya bisa dinikmatinya selama belum puasa. Bayangkan saja saat pagi hari di luar Ramadlan biasanya, sebangun dari tidur, kopi sudah tersaji di meja. Bau harumnya membuat kita bergairah untuk bangun, menikmatinya untuk kemudian menyantap sarapan pagi dan bergegas melakukan aktifitas sebagaimana biasa. Boleh jadi ke sawah, pasar, kantor atau ditempat mana pun kita biasa kerja. Beda halnya dengan kebiasaan kita saat berpuasa.

Saat puasa kebiasaan kita minum kopi dan menyantap sarapan pagi menjadi hilang. Semenjak terdengar suara bilal yang mengingatkan imsak, maka kita sudah tidak lagi bersentuhan dengan makanan dan minuman, apapun itu dan selezat apapun. Jika kita adalah orang mukmin yang sedang puasa, tentu kita tidak akan pernah menyentuh dan menyantap lagi makanan maupun minuman yang ada di depan kita. Semua itu kita lakukan dalam rangka ketaatan kepada perintah-Nya hingga kita bisa mencapai derajat muttaqin. Kapan waktu menahannya?

Waktu menahan diri dari makan, minum dan segala hal yang membatalkannya adalah mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Jadi selama seharian itulah kita dilarang untuk makan, minum dan melakukan segala sesuatu yang bisa menyebabkan puasa kita menjadi batal. Berapa jam? Tidak bisa ditentukan, sesuai dengan perubahan siklus terbit dan terbenamnya matahari. Ada daerah yang lama puasanya sekitar 14 jam, 16 jam ada pula yang konon mencapai 22 jam. Semua tergantung pada kondisi daerahnya masing – masing. Semua itu akan terasa ringan manakala dilakukan dengan ikhlas semata karena Allah SWT.

Benar memang saat puasa kita menahan lapar dan dahaga. Tetapi sesungghnya puasa tidak lantas menjadikan kita sebagai seorang yang malas. Menghabiskan waktu hanya untuk berpangku tangan dan memperbanyak tidur di dalam kamar. Memang diakui ada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa, tidurnya seorang yang puasa bernilai ibadah. Hadits ini populer di tengah – tengah masyarakat Muslim. Namun, sekali lagi, jangan hanya memaknainya secara tekstual tanpa mengambil hikmah yang tersimpan di baliknya. Sungguh itu adalah hal yang kurang atau bahkan tidak terpuji bila kita hanya melihat dan memahaminya sekilas dari dzahirnya.

Apa sebenarnya yang dikehandaki oleh Rasulullah SAW dengan hadits tersebut, ini lah yang sesungguhnya harus kita uraikan dan kita pahami. Menurut hemat saya, hadits yang disampaikan oleh Rasul itu memiliki nilai tafaul. Maksudnya Rasul mengeluarkan hadits tersebut sebagai bentuk pembakar semangat jiwa seorang muslim agar memanfaatkan setiap jengkal dari bulan suci Ramadlan. Bayangkan saja, jika tidur seorang yang puasa saja memiliki ibadah, bagaimana jika setiap muslim memanfaatkan setiap waktu yang ada untuk melakukan amal yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Tentu tidak bisa dibayangkan berapa banyak pahala yang akan didapatkan dan dikumpulkan selama Ramadlan. Jika tidur yang merupakan bentuk kematian awal, karena saat tidur seseorang tidak melakukan aktifitas apapun dan tidak bisa mendengar sesuatupun sebagaimana mayat, dianggap dan dicatat sebagai ibadah kepada-Nya. lantas bagaiman jika dimanfaatkan untuk membaca al-Qur’an, i’tikaf, shalat sunnah dan sederet ibadah lain?

Nah, di sini lah sesungguhnya yang harus kita pahami. Selain itu seharusnya puasa justru bisa menumbuhkan semangat seseorang untuk bangkit dan giat dalam melakukan semua aktifitasnya. Orang yang selama puasa hanya menghabiskan waktunya untuk tidur dan hal – hal lain yang kurang atau tidak bermanfaat, sesungguhnya mereka terpedaya oleh nafsunya. Ya, mereka terpedaya oleh nafsunya, hanya saja banyak di antara mereka yang tidak menyadarinya.

Puasa disyariatkan oleh Allah adalah untuk mengendalikan nafsu. Nafsu memiliki naluri untuk selalu berbuat keburukan. Allah SWt berfirman dalam al-Qur’an Surat Yusuf (12); 53:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ (53)

Artinya: Dan aku (tidak menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. Yusuf (12); 53)

Ayat di atas menerangkan bahwa naluri/sifat dasar yang dimiliki oleh nafsu adalah selalu mengajak kepada keburukan. Puasa disayariatkan untuk umat Islam agar mereka mampu mengendalikan nafsunya agar menjadi nafsu yang bisa diarahkan. Diarahkan kemana? Kepada hal – hal yang positif tentunya, hal – hal yang diridlai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

Tidur itu bagian dari nafsu bila tidak diarahkan. Betapa tidak, tidur pada dasarnya muncul dari rasa malas untuk melakukan sesuatu. Orang yang memiliki semangat dalam melakukan suatu hal, ia akan mampu menahan dirinya dari rasa kantuk, sehingga ia bisa menyelasaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, tepat pada waktu yang dijadwalkan. Apakah tidur dilarang?

Tidak, siapa yang melarang tidur? Boleh – boleh saja kita tidur. Tetapi porsinya jangan berlebihan. Allah tidak suka pada yang berlebihan. Tidur sekedar untuk memebrikan kepada tubuh kita untuk tetap bisa dan kuat beraktifitas dan beribadah kepada-Nya, tidak lebih. Bila tidur dilakukan secara berlebihan sesungguhnya itu adalah bentuk memperturutkan nafsu yang ada dalam diri kita.

Puasa sesungguhnya mampu untuk membangkitkan seseorang untuk semakin giat dalam menjalankan aktifitasnya. Ini lah yang saya sebut dengan dimensi spiritual. Memang sesungguhnya ada sisi yang kerap kali disebut mistis, tetapi saya tidak ingin membahasnya. Puasa adalah sarana seorang mukmin untuk membakar dan menundukkan nafsu yang selama ini menguasai dirinya, agar bisa tunduk dan patuh, hanya kepada perintah-Nya dan Rasul-Nya. Bila nyatanya puasa tidak mampu menjadikan kita semakin giat dalam mendekat pada-Nya, maka kiranya perlu untuk segera bermuhasabah. Apakah puasa kita sudah sesuai dengan tuntunan-Nya atau belum. Bila belum maka segera berbenah diri mumpung kesempatan masih ada. Jangan sampai kita menyesal dikemudian hari. Karena, menyesal tiada artinya, ibarat nasi sudah menjadi bubur, mau dibuat nasi lagi? Sungguh tidak mungkin.

Nafsu yang terkendali itu dalam bahasa agama disebut sebagai nafsu muthmainnah. Itulah yang diisayaratkan oleh al-Qur’an. Firman Allah dalam Surat al-Fajr (89); 27 – 30:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)

Artinya: Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridla dan diridlai-Nya. Maka, masuklah ke dalam golongan hamba – hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. al-Fajr (89); 27-30)

Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam...


Komentar