Buwoh



Buwoh

Anda yang tinggal di Jawa tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah satu ini. Istilah buwoh sudah menjadi populer di masyarakat semenjak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun silam. Entah siapa yang mengenalkan istilah ini untuk pertama kali hingga menjadi istilah yang familier, populer dari masyarakat kelas atas hingga kalangan bawah.

Buwoh sering dikaitkan dengan pesta yang digelar oleh masyarakat pada moment tertentu semisal pernikahan, lahiran, khitanan, aqiqah dan semisalnya. Namun, ada juga yang bukan berbentuk pesta melainkan selamatan atau ruwatan, semisal mendirikan rumah, sewonan dan sebagainya. Kebiasaan ini telah mengakar kuat hingga menjadi darah daging yang melekat dalam sanubari masyarakat. 


Saat buwoh biasanya seseorang akan membawa beberapa barang yang akan diberikan kepada si pemilik hajat. Adakalanya seseorang membawa beras, mie, gula pasir, garam, atau barang bawaan lainnya yang bisa dimanfaatkan oleh si pemilik rumah. Saat kelahiran anak misalnya, barang bawaan yang dibawa bisa beragam, mulai dari sabun, perkakas bayi, handuk, selimut, gendongan bayi dan sebagainya. Tergantung apa yang menurutnya pantas untuk dibawa saat mendatangi hajatan. Tentunya hal ini akan disesuaikan dengan kondisi si empunya hajat. Namun, yang relatif selalu pantes dibawa adalah beras dan uang. Dalam segala moment kedua benda ini kayaknya pantes dijadikan sebagai barang bawaan.

Beragam cara orang melihat dan menilai tradisi buwoh yang telah mengakar di masyarakat ini. Sebagian ada yang menilainya sebagai hal positif, sebagian lain yang merasa kurang sependapat menganggap hal ini sebagai sesuatu yang mengada – ada, bahkan terkadang cukup membebani, apalagi bila datangnya bersamaan. Bisa dibayangkan, bila dalam seminggu harus buwoh lebih dari tiga kali. Banyak ibu – ibu yang pada ‘ngomel’, apalagi saat perekonomian lagi seret. Hehehe…

Setidaknya itu yang pernah saya dengar dan temui dari beberapa rekanan saat bulan ‘pengantin’ datang. Karena perhitungan hari baik seringkali berdekatan, tidak jarang satu orang mendapat undangan resepsi lebih dari tiga dalam sebulan. Tentu hal ini menjadi hal yang berbeda bila dibandingkan satu undangan.

Bagi mereka yang kurang setuju dengan buwoh atau mengatakan itu sebagai hal yang mengada – ada, tentu hal ini akan menjadi bahan penolakan mereka terhadap adanya tradisi buwoh ditengah masyarakat. Dalihnya bahwa hal itu akan menjadi beban bagi mereka yang tidak memiliki keuangan cukup. Alasan ini cukup masuk akal untuk menolak atau setidaknya sedikit memberikan kritik bagi tradisi buwoh ini.

Terlepas dari pro dan kontra mengenai hal ini, saya justru merasa bahwa buwoh menjadi hal yang cukup menarik untuk tetap dilestarikan. Meski demikian tetap saja ada hal – hal yang perlu dibenahi dalam pelaksanaannya sehingga hal ini tidak menjadi beban bagi siapa saja yang hendak buwoh.

Buwoh bisa menjadi sarana bagi kita untuk menjalin tali silaturahim yang mungkin sempat terputus dalam waktu yang lama. Tidaka ada seorang pun yang tidak sibuk di dunia ini. Semua repot dengan urusannya masing – masing. Akibatnya, banyak orang yang tidak mendapat kesempatan untuk silaturahim sebagaimana dulu dilakukan. Buwoh menjadi moment yang baik untuk kembali merajut tali silaturahim itu agar hubungan yang hangat dan akrab kembali bisa dirasakan.

Moment ini juga bisa dimanfaatkan untuk saling membantu satu sama lain. Tidak semua orang memiliki ekonomi yang cukup apalagi berlebih. Terkadang seorang yang mempunyai hajat memiliki kesulitan keuangan, namun karena hajatan yang dilakukan adalah keharusan menurut keyakinannya, makan tetap saja hal itu dilaksanakan dengan segala keterbatasannya. Nah, disinilah buwoh memiliki nilai sosial positif untuk membantu meringankan bebannya.

Selain itu buwoh menjadi media untuk semakin mengasah ketajaman empati. Merasakan hal yang sama sebagaimana yang dirasakan saudara, teman atau siapapun yang kita datangi. Paling tidak hal itu menunjukkan bahwa kita memiliki kepedulian pada mereka. Mendatangi undangannya tentu menjadi hal yang paling membahagiakan bagi mereka yang mengundang. Paling tidak mereka merasa dihargai dan masih dianggag keberadaannya.

Namun, perlu juga dibenahi hal – hal yang kurang baik dalam tradisi buwoh. Sebagian orang beranggapan bahwa hal ini menjadi beban. Sebisa mungkin untuk tidak menjadikan buwoh sebagai beban. Ikhlaskan dan jangan menganggapnya sebagai sarana untuk menabung. Sekali lagi, jangan menganggap buwoh sebagai menabung. Maaf, ada sebagian orang yang beranggapan demikian. Menurut saya hal ini sangat tidak patut untuk ditiru. Buwoh bukan untuk menabung. Kalau niat menabung sebaiknya di bank saja. Akibatnya, mereka yang menganggap bahwa buwoh adalah menabung, begitu dia punya hajat dan mengundang orang yang pernah ‘ketumpangan’, namun ia berhalangan hadir atau buwohnya lebih sedikit, akan muncul rasa grundel dalam hatinya. Tidak hanya itu terkadang mereka juga mengobral dan melampiaskan ke ‘ggrundelan’ nya itu bersama ‘Jam’iyyah Ghibahnya’. 

Saat buwoh niatkan ikhlas semata karena Allah membantu saudara, teman kita yang sedang hajatan dan ikut serta berbagi rasa yang sama dengan mereka. Hal itu lebih mulia dan penting untuk tetap diperjuangkan. Niatan untuk saling tolong menolong lebih mulia daripada sekedar ingin mendapat balasan dikemudian hari. Bagi yang ketumpangan seyogyanya juga tidak menjadikan ‘ketumpangannya’ menjadi beban bagi dirinya. Bila dia memang merasa tidak mampu untuk mengembalikan yang serupa, karena dalam kondisi sulit atau keberadaan ekonominya dibawah yang ‘membuwuhi’, maka jangan dipaksakan. Lakukan saja semampunya, bila tidak mampu, cukup datang menghadiri undangan, memberikan do’a restunya saja. Menurut saya yang demikian ini lebih baik.

Menata niat dalam hati penting artinya agar apa yang kita lakukan mempunyai nilai dihadapan-Nya. Sekiranya niatan itu benar, maka ridla Allah pasti didapatkan. Sebaliknya bila niatannya tidak benar, pasti apa yang dilakukan akan berbuah kekecewaan atau mungkin juga kebahagiaan sementara belaka. 

Bagi mereka yang punya hajat, hendaknya juga perlu menata niatan hatinya. Jangan menggunakan aji mumpung. Sebagian kecil masyarakat nampaknya ada yang menggunakan moment ini sebagai aji mumpung. Entah benar atau tidak. Setidaknya itu saya tangkap dari pembicaraan beberapa rekan yang merasakan demikian. Sehari – hari tiada ‘kabar kawusanan’ sama sekali, bahkan saat dihubungi seperti orang tidak butuh, ketemu jarang menyapa, namun saat punya hajat undangan menyapa. Hal ini patut untuk dijadikan koreksi agar tradisi buwoh yang baik dan mentradisi ini tidak ternoda oleh berbagai unsure kepentingan yang tidak dibenarkan.


Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...

Komentar