Seminar
Pendidikan Bersama Simona Alexandra Hicert
Native
Speak asal Jerman di LPI Qurrota A’yun Ngunut Tulungagung
Pagi
ini, Sabtu 23September 2017, halaman LPI Qurrota A’yun tampak dipadati oleh
kendaraan yang berjajar rapi. Kendaraan ini tidak lain adalah kendaraan para
wali murid yang memenuhi undangan pihak lembaga untuk mengikuti seminar
pendidikan bersama native speak asal Jerman, Simona Alexandra Hicert, yang
semenjak beberapa minggu lalu hadir sebagai guru tamu di lembaga tersebut.
Antusiasme wali murit nampak dari kekompakan mereka menghadiri acara yang
digelar lembaga pendidikan Islam yang terkenal beberapa saat lalu mampu
berbicara dalam kancah nasional dalam lomba stori telling dan pidato berbahasa
Inggris.
Dalam
sambutannya direktur LPI Qurrota A’yun, Drs. Imam Muslimin menyampaikan banyak
terima kasih atas dukungan dan partisipasi para wali murit terhadap
keberlangsungan dan perkembangan lembaga. Pihak lembaga akan terus berusaha
dalam memajukan dalam pemberian layanan pada siswa. Tentu inovasi – inovasi
positif diperlukan guna semakin meningkatkan kualitas pembelajaran, termasuk
diantaranya dengan mendatangkan native. Beliau menyampaikan bahwa semenjak
beberapa tahun yang lalu lembaga ini berusaha untuk menggenjot kemampuan siswa
khususnya dalam bidang bahasa Inggris. Hal ini tidak lepas karena bahasa
Inggris adalah bahasa internasional yang penting diketahui oleh siswa guna
membuka cakrawala pengetahuan di masa yang akan datang. Motivasi ini
sesungguhnya justru didorong oleh ketidakmampuan beliau dalam bahasa Inggris.
Beliau mengatakan, “Kalau ditanya, siapa guru Qurrata A’yun yang tidak bisa
bahasa Inggris? Jawabannya adalah kepala sekolahnya”, tandas beliau. Beliau
menambahkan bahwa anak – anak ini diciptakan untuk generasi yang tidak sama dengan
generasi kita, karenanya mereka perlu dibekali dengan pengetahuan yang memadai,
termasuk didalamnya kemampuan berbahasa Inggris agar mereka mampu mengikuti
perkembangan zaman.
Sambutan Direktur LPI Qurrata A'yun |
Sebagai
translator dalam seminar ini adalah dua orang guru SDI Qurrota A’yun yang sama
– sama alumni asli dari STAIN dan IAIN Tulungagung, Sofiatul Muna, S.Pd.I
(Lulusan terbaik bahasa Inggris 2006) dan Nur Indahwati, S.Pd.I (mantan
pengurus UKM Dimensi). Kolaborasi keduanya apik dan menarik sehingga membuat
para peserta seminar berdecak kagum.
Sementara
itu dalam materinya, Simona Alexandra Hicert, banyak berbicara tentang
pendidikan di negaranya, Jerman. Ia mengawali dengan menunjukkan letak posisi
negara Jerman dari Indonesia dengan menunjukkan peta dunia. Ia mengatakan bahwa
di Jerman alamnya berbeda dengan Indonesia. Bila di Indonesia hanya memiliki
dua musim, maka di Jerman ada empat jenis musim. Ia juga mengatakan bahwa warga
Jerman sangat gemar makan roti.
Dalam
hal kurikulum, menurutnya di Jerman tiap lembaga memiliki keleluasaan dalam
mengembangkan kurikulumnya. Kurikulum antar satu lembaga dengan yang lain
berbeda sesuai dengan improvisasi pihak lembaga. Tidak ada kurikulum yang
patent yag bersifat mengikat dan wajib bagi siswa, tidak sebagaimana Indonesia
yang mesti mengikuti satu kurikulum yang ditetapkan pemerintah.
Di
tingkat TK umumnya tingkat usia sama dengan di Indonesia. Namun, untuk sekolah
dasar ditempuh dalam waktu empat tahun, tidak sebagaimana Indonesia yang
ditempuh selama enam tahun. Setelah itu mereka akan menempuh pendidikan
lanjutan sampai kelas sepuluh. Di pendidikan lanjutan ini siswa bisa memilih
pelajaran sesuai dengan apa yang mereka minati. Tidak ada pelajaran yang
diwajibkan sebagaimana di Indonesia. Mereka boleh mengambil pelajaran sesuai
dengan apa yang mereka butuhkan untuk kebutuhan mereka di masa yang akan
datang. Tidak ada biaya SPP atau tarikan apapun kepada siswa. Hanya saja untuk
kebutuhan sehari – hari menjadi tanggung jawab masing – masing.
Hari
efektif sekolah di Jerman juga tidak sama dengan di Indonesia. Di Jerman siswa
masuk lima hari, hari Senin sampai dengan Jum’at, dimulai pukul 08.00 sampai
dengan pukul 13.00. Bedakan dengan di Indonesia yang hampir semuanya diwajibkan
masuk pukul 07.00 atau bahkan lebih pagi sampai jam 13.00 atau ada juga yang
full day. Satu jam pelajaran di Jerman setara dengan 45 menit pembelajaran.
Tidak
ada seragam bagi siswa Jerman. Semua anak bebas mengenakan pakaian sebagaimana
yang mereka inginkan. Tidak ada keharusan memakai seragam yang sama antara siswa
yang satu dengan lainnya.
Berkaitan
dengan kegiatan ekstra kurikuler ada hal yang menarik untuk diterapkan di
Indonesia. Bila selama ini ekstra kurikuler di sekolah – sekolah Indonesia
selalu include dengan jam pembelajaran di sekolah, berbeda dengan di Jerman. Di
Jerman ekstra kurikuler terpisah dari jam pembelajaran di sekolah. Biasanya
dilaksanakan setelah mereka pulang terlebih dahulu dari sekolah. Uniknya lagi
boleh dilaksanakan di sekolah atau ditempat lain. Jadi bagi mereka yang minat
untuk melakukannya di sekolah, mereka bisa kembali lagi ke sekolah, sementara
yang tidak, bisa melakukannya di tempat lain yang mereka suka.
Pembelajaran
di Jerman dilakukan dengan menggunakan metode yang berbeda – beda. Siswa
dikelompokkan berdasarkan tipe belajarnya. Bsgi siswa yang memiliki
kecenderungan belajar secara audio, maka akan digunakan metode yang menarik
bagi mereka dengan alat – alat audio. Demikian halnya dengan mereka yang punya
kecenderungan visual dan kinestetik. Mereka umumnya dikelompokkan sesuai dengan
tipe belajaranya. Siswa bermasalah tentunya tetap ada. Bagi mereka yang
bermasalah, maka dikelompokkan menjadi satu dan diterapkan metode tersendiri
bagi mereka.
Saat
memasuki ruang kelas di Jerman, maka pasti akan ditemukan banyak ornament. Banyak
cantelan – cantelan yang turut serta membantu siswa dalam memahami setiap
materi yang diajarkan guru.
Pembelajaran
di Jerman umumnya dimulai dengan pengajuan masalah terlebih dahulu kepada
siswa. Siswa diberi kesempatan untuk memformulasikan dan menyusun jawaban atas
permasalahan yang diajukan guru. Setiap siswa diberikan kesempatan yang sama
untuk mengajukan pendapatnya. Tidak ada pilih kasih diantara mereka. Setelah
mereka berhasil memformulasikan dan menyusun jawaban, maka pembelajaran akan
diakhiri dengan pemberian tugas kepada siswa.
Saat
mengajar dikelas, seorang guru di Jerman umumnya akan membawa benda asli
sebagai alat peraganya. Dalam kasus matematika, misalnya dalam mengajarkan
pembagian seorang guru akan membawa kue yang nantinya akan diterapkan teori
pembagian padanya. Sementara anak akan membawa kertas dan gunting untuk
mempraktikkan apa yang diajarkan oleh gurunya. Jadi, di Jerman seorang siswa
tidak hanya diajarkan teori, akan tetapi juga diajarkan bagaimana cara
mempraktikkan teori yang dipelajarinya dalam bentuk pengalaman nyata. Pemberian
pengalaman nyata pada siswa akan memberikan pemahaman yang lebih cepat dan
lebih baik bagi seorang siswa.
Terlepas
dari akidah yang berbeda, kehadiran miss Simona Alexandra Hicert tentunya juga
mempunyai hikmah yang besar terhadap lembaga pendidikan Islam ini. Memang dia
bukan seorang muslim, dia seorang Kristen. Mayoritas warga Jerman kata dia,
memeluk Kristen, meski banyak juga yang tidak beragama. Kini saatnya kita juga
harus berani untuk membuka diri, mau menerima sesuatu yang positif dari orang
lain meskipun hal itu berasal dari orang yang tidak seakidah dengan kita.
Sebagaimana qaul yang menyatakan tuntutlah ilmu meski ke negeri China. Artinya
bahwa pengetahuan itu luas dan tidak terbatas, andai lautan di jadikan tinta,
seluruh tumbuhan dijadikan pena untuk menulis ilmu Allah, kemudian didatangkan
lagi tujuh hal serupa, maka ilmu Allah tidak akan pernah habis sementara tinta
itu sudah mengering.
Membuka
pikiran dan berani menerima kebenaran dari seseorang yang berseberangan atau
musuh sekalipun adalah tanda bahwa seseorang adalah ahli ilmu. Jadilah seorang
ahli ilmu, karena ilmu akan membawa pada kebenaran dan kebahagiaan, baik di
dunia lebih – lebih di akhirat.
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar