Baritan
Bulan
Muharam menjadi penanda dimulainya babak baru dalam perhitungan kalender
hijriyyah. Jumlah bulan dalam perhitungan kelender hijriyyah sama dengan
kalender masehi, dua belas bulan. Diantara dua belas bulan tersebut terdapat
empat bulan yang mulia diantara bulan lainnya, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharam dan Rajab. Empat bulan ini dianggap sebagai bulan mulia dalam
penanggalan kalender hijriyyah.
Bulan
Muharam lebih dikenal dengan bulan Suro oleh masyarakat Jawa. Nama Suro berasal
dari kata Asyura’, yang artinya hari ke sepuluh. Nenek moyang tanah Jawa
mengambil kata suro dari kata tersebut karena tanggal sepuluh bulan muharam
termasuk hari yang dimuliakan oleh umat Islam. Bukan hanya umat Islam, tetapi
umat Nasrani dan Yahudi pun juga memuliakan hari tersebut. Karenanya disunnahkan
puasa pada tanggal sepuluh. Tetapi selain tanggal sepuluh umat Islam juga
dianjurkan untuk berpuasa ditanggal sembilannya yang dikenal dengan hari tasu’a.
Kesunnahan puasa ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW:
و حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ
الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ
حَدَّثَنِي إِسْمَعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا غَطَفَانَ بْنَ طَرِيفٍ
الْمُرِّيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
يَقُولُ حِينَ
صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: (MUSLIM - 1916) : Dan
Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Hulwani telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abu Maryam telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub
telah menceritakan kepadaku Isma'il bin Umayyah bahwa ia mendengar Abu
Ghathafan bin Tharif Al Murri berkata, saya mendengar Abdullah bin Abbas
radliallahu 'anhuma berkata saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berpuasa pada hari 'Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk
berpuasa; Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang
sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani." Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada tahun depan insya Allah, kita
akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram)." Tahun depan itu pun tak
kunjung tiba, hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat. (H.R.
Muslim)
Berpuasa ditanggal sembilan dan
sepuluh bulan Muharam menjadi sunah yang dianjurkan oleh Rasul sebagaimana
hadits di atas. Sampai hari ini umat
Islam tetap menjadikannya sebagai hari yang mulia dan dianjurkan untuk
berpuasa.
Salah satu tradisi yang tak kalah
pentingnya disetiap awal memasuki bulan Suro yang terdapat pada sebagian
masyarakat Jawa adalah tradisi baritan. Baritan berasal dari bahasa Arab Bariidan
yang artinya dingin. Namun, karena lidah Jawa, kata bariidan berubah menjadi
kata baritan untuk lebih memudahkan pelafalannya sebagaimana kata syari’at yang
menjadi sarengat.
Tradisi ini biasanya diadakan oleh
masyarakat yang tinggal disuatu desa. Caranya adalah dengan membawa berkat yang
diwadahi dengan menggunakan ‘takir plonthang’. Biasanya dibuat dengan
menggunakan daun pisang yang diwadahi dalam wadah berbentuk kotak dari bahan kulit
batang pisang. Selain itu juga disertakan ‘janur’, daun muda dari pohon kelapa
pada bagian atasnya. Isinya sebagaimana berkat pada umumnya, nasi putih,
terkadang juga nasi kuning, sambal goring, mie goring dan lauk, bisa dari
daging atau telur. Biasanya tradisi ini diadakan di tiap perempatan desa oleh
masyarakat yang hidup dalam satu Rukun Tetangga (RT).
Entah mulai kapan tradisi ini
berlangsung di masyarakat Jawa. Yang jelas tradisi ini telah menjadi tradisi
yang kuat dan mendarah daging. Meski demikian, tetap juga terjadi pergeseran
dan perubahan pada tata cara penyajiannya. Memang sebagian tetap ada yang
bertahan dengan daun pisang dan kulit batang pisang. Tetapi saat ini juga sudah
banyak yang tidak memakai bahan itu melainkan dengan menggunakan stereofum.
Terlepas dari keyakinan dan
perubahan cara penyajiannya, tradisi baritan memiliki manfaat bagi kehidupan
masyarakat. Baritan bisa menjadi media pemersatu masyarakat yang tinggal dalam
satu lingkungan. Moment – moment seperti ini tentu tidak bisa terjadi setiap
hari meski tempat tinggal berdekatan. Kesibukan pribadi dalam mencari nafkan
menyebabkan masyarakat sulit untuk bertemu dan bersilaturahim. Karena itulah
moment seperti ini diperlukan.
Selain itu tradisi ini juga bisa
menjadi media bagi warga untuk saling mengenal. Tidak jarang ada warga
pendatang baru yang belum mengenal warga lain yang menjadi tetangganya saat
mereka menikah dan menetap di daerah yang baru. Nah, moment ini bisa dijadikan
sarana bagi warga untuk saling mengenal antara yang satu dengan lainnya.
Rasa persaudaraan juga akan semakin
kuat. Kekompakan dan kegotong royongan semakin erat dengan adanya moment
semacam baritan ini. Masyarakat Jawa memang dikenal dengan sifat ramah tamah
dan kegotong royongannya. Di era yang modern seperti ini, apalagi pada
masyarakat perkotaan, sepertinya sifat positif yang menjadi cirri khas ini
sudah mulai memudar. Karena itu kegiatan seperti baritan ini diperlukan untuk
semakin menumbuhkan rasa persaudaraan antar warga.
Tujuan dari diadakannya baritan itu
sesungguhnya adalah bersyukur kepada Allah atas segala kenikmatan dan karunia
yang telah diberikan. Ungkapan rasa syukur itu diwujudkan dengan membawa
shadaqah yang diwadahi dengan ‘takir plonthang’ agar semua orang bisa merasakan
sebagian dari nikmat dan karunia yang diberikan. Shadaqah sejatinya merupakan
amalan yang sangat dianjurkan dan ditekankan oleh Islam. Shadaqah bisa
meringankan beban sesama, membantu masyarakat yang kurang mampu, dan sebagai
perekat kesatuan yang paling mujarab. Selain itu juga menjadi benteng yang
memagari rumah dari berbagai gangguan yang tidak diinginkan.
Baritan juga dimaksudkan untuk
memohon kepada Allah agar dijauhkan dari segala bala’, bencana dan marabahaya. Dalam
baritan biasanya warga juga memanjatkan do’a yang dipimpin oleh tokoh setempat.
Memohon kepada Allah agar dijauhkan dari segala bala’, bencana dan marabahaya,
baik di dunia lebih – lebih di akhirat. Bencana dari barat kembali ke barat,
dari utara kembali ke utara, dari timur kembali ke timur dan dari selatan
kembali ke selatan. Itulah mengapa pengambilan tempat pelaksanaan baritan
berada di perempatan jalan biasanya.
Selain itu penggunaan daun kelapa
muda, ‘janur’ juga mempunyai makna filosofis sendiri. Istilah janur sebenarnya
berasal dari bahasa Arab, Ja’a al-Nur, artinya telah tiba cahaya. Hal ini
dimaksudkan bahwa datangnya tahun baru diharapkan akan membawa perubahan yang
lebih baik dari sebelumnya. Kesalahan yang terjadi di masa lalu akan dikoreksi
untuk dijadikan bahan perbaikan ditahun yang dijalani. Kesalahan diibaratkan
sebagai sebuah kegelapan, sementara perubahan ke arah yang lebih baik
diibaratkan bagai cahaya yang datang menyinari sehingga jelaslah mana yang hak
dan bathil, mana yang benar dan mana yang salah. Dengan demikian seseorang akan
semakin mengalami perubahan kea rah positif yang lebih baik.
Melihat masa lalu untuk bahan
perenungan menuju perubahan yang lebih baik sangat diperlukan. Tanpa mengenal
keburukan mustahil seseorang bisa berbuat kebaikan. Demikian juga tanpa pernah
mengalami kesalahan tidak mungkin seseorang berbuat benar. Karenanya orang baik
bukanlah yang tidak pernah melakukan kesalahan, tetapi mereka yang mau belajar
dari kesalahan dan menjadikannya sebagai bahan perbaikan di masa yang akan
datang.
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar