Hijrah



Hijrah

Secara sederhana hijrah berarti pindah. Pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Bisa juga diartikan pindah dari satu kondisi kepada kondisi yang lain. Kata hijrah menjadi populer setelah peristiwa hijrah Rasulullah, Muhammad SAW dari kota Makkah ke Madinah untuk menyebarkan agama Islam di sana.

Dalam sejarah sesungguhnya hijrah tidak hanya dilakukan sekali. Akan tetapi beberapa kali umat Islam melakukan hijrah. Hijrah pertama  dan ke dua adalah ke Habasah (Ethiopia). Disusul perpindahan Nabi Muhammad SAW ke Thaif setelah peristiwa pemboikotan di lembah Syiib oleh kaum Quraiys kepada keluarga Nabi, Bani Hasyim dan Muthallib. Namun, sepertinya kata hijrah belumlah begitu populer hingga peristiwa hijrah ke Madinah.


Peristiwa hijrah ke Madinah menjadi satu peristiwa besar yang menandai sejarah perkembangan Islam. Saat berada di Makkah, Islam seolah hanyalah minoritas yang terpinggirkan. Keberadaannya menjadi bulan – bulanan kaum kafir Quraisy. Siapa yang berani memeluk Islam, baginya ancaman baik psikis maupun fisik. Berbagai bentuk tekanan diberikan kepada mereka yang telah menyatakan diri mengikuti agama baru yang dibawa oleh Rasul, Muhammad SAW. 

Tidak terbayangkan bagaimana perih dan pedihnya perjuangan para sahabat generasi awal saat mempertahankan keimanan. Untuk mempertahankan iman mereka berani berhadapan dengan penguasa arogan dan para elit politik saat itu. Mereka mengikhlaskan raga bahkan jiwa mereka untuk tetap mendapat pengakuan sebagai orang yang beriman. Betapa semestinya kita bersyukur hari ini tidak menemui kondisi sebagaimana saat itu. Tetapi begitulah kehendak Allah SWT untuk menguji kualitas dari keimanan hamba – hamba-Nya. Diuji-Nya hamba tersebut dengan berbagai ujian untuk semakin menanamkan keimanan di dalam lubuk hatinya. Al-Qur’an juga menjelaskan tentang hal ini dalam Surat al-Ankabut (29); 2-3:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)

Artinya: Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang – orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang – orang yang benar dan pasti mengetahui orang – orang yang dusta. (Q.S. al-Ankabut (29); 2-3)

Seseorang tidak akan dibiarkan hanya dengan mengatakn beriman kepada Allah tanpa diuji. Begitulah para sahabat kala itu mendapat ujian bertubi – tubi untuk mempertahankan keimanan mereka kepada Allah SWT. Puncaknya saat tekanan semakin kuat, tidak hanya psikis namun fisik, serta terjadi konspirasi untuk membunuh Rasul, Muhammad SAW oleh para pemuda dari semua suku Quraisy, Allah memerintahkan untuk berhijrah ke Madinah.

Hijrah ke Madinah menjadi era baru dalam syiar agama Islam. Islam yang awalnya hanya sebatas kelompok minoritas, berubah menjadi kekuatan raksasa yang disegani dan ditakuti. Rasul, yang awalnya disingkirkan dari kelompok masyarakat, bahkan hampir di bunuh dengan konspirasi buruk, justru tampil sebagai pemimpin baru di tempat yang baru saja didatanginya. Begitulah Allah, Ia bisa saja berbuat sekehendak-Nya, tanpa ada yang bisa menghalangi-Nya.

Apa yang bisa kita ambil dari peristiwa hijrah ini? Hanya sebatas menghafalnya sebagai bagian dari sejarah? Atau mengambil hikmah dan pelajaran bagi kebaikan kita di masa yang akan datang? Belajar sejarah sesungguhnya tidak hanya berhenti pada urusan tokoh, tanggal, dan urutan peristiwanya. Ada banyak pelajaran yang mesti kita dapatkan dalam mempelajari sejarah. Pelajaran yang bisa kita gunakan sebagai bekal untuk menatap masa depan. Masa depan cemerlang yang lebih baik dari sebelumnya. Itu yang mestinya kita dapatkan.

Dalam peristiwa hijrah terdapat beragam motif dari para sahabat. Sebagian ada yang benar – benar hijrah semata karena Allah dan Rasul-Nya, namun ada juga mereka yang hijrah hanya karena dunia yang ingin didapatkan dan wanita yang ingin dinikahi. Berkaitan dengan hal tersebut, Rasulullah, Muhammad SAW mengingatkan para sahabat melalui haditsnya, saat terdengar oleh beliau kabar seorang yang hijrah karena ingin menikahi seorang gadis pujaan hatinya. Beliau bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya: (BUKHARI - 52) : Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.". (H.R. Bukhari)

Menata niat saat memulai hijrah adalah satu keharusan. Seberapa besar hasil perubahan dari hijrah yang dilakukan akan tampak sesuai dengan kadar ketulusan niat. Saat ini tidak diperlukan lagi hijrah tempat, karena di bumi yang kita pijak, tidak ada lagi tekanan bagi umat Islam untuk beribadah, meski negara ini bukanlah negara Islam. Karena itu yang dibutuhkan adalah hijrah dari kebiasaan negatif kepada kebiasaan yang bernilai positif. Sikap yang buruk kepada sikap yang lebih baik dari sebelumnya. Dari kemalasan menjadi giat, dari minder menjadi berani, dari angkuh menjadi tawadlu’. Sikap ini sederhana, namun sulit untuk diterapkan dalam kehidupan. Butuh perjuangan untuk menanamkan sikap – sikap positif tersebut dalam diri kita. Maka seberapa besar niatan kita untuk berubah sebesar itu pula perubahan yang akan kita dapatkan. Jangan berharap menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya selama niatan kita hanya berhenti pada dataran imajinasi yang mengambang.

Saat hijrah para sahabat meninggalkan kampung halamannya, Makkah. Tentu menjadi satu hal yang menyedihkan bagi mereka. Ini artinya seorang yang hendak hijrah harus berani bersusah payah dalam proses hijrahnya. Tentu hal ini tidak mudah, butuh keberanian dan mental yang kuat. Untuk memulai sesuatu yang lain dari biasanya, atau bahkan sama sekali baru, membutuhkan keberanian. Keberanian menghadapi segala resiko dan tantangan. Boleh jadi saat kita memulai hijrah dari kebiasaan buruk yang sebelumnya menjadi tradisi, akan terjadi banyak pergolakan dalam diri. Tidak hanya itu mereka yang menjadi sahabat dan kolega kita sebelumnya akan menaruh kebencian, mencaci, menteror atau bahkan berubah memusuhi. Tetapi itulah tantangan yang harus dihadapi. Hijrah dari keburukan akan memaksa kita menjadi lawannya setelah sebelumnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri kita.

Berikutnya, para sahabat meninggalkan harta benda mereka. Perlu pengorbanan dalam proses hijrah. Harta yang berlimpah, keluarga, handai tolan dan sebagainnya, mungkin termasuk dari bagian pengorbanan yang ada dalam proses hijrah. Karenanya pengorbanan adalah hal yang tak terpisahkan dari proses hijrah.

Hanya satu harapan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah hal terpenting dalam proses hijrah itu. Menyandarkan semua hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ikhlas disertai rasa percaya bahwa Dia akan mengatur semua kehidupan kita. Banyak orang yang berhijrah mengalami kegagalan dalam proses hijrahnya karena ia masih bersandar pada selain-Nya. Saat hijrah selayaknya kita tidak lagi bersandar pada makhluk tetapi hanya bersandar kepada-Nya. Yakin seyakin – yakinnya bahwa dia akan menolong dan mengatur semua kehidupan kita.

Tahun baru hijriyyah sebentar lagi akan tiba. Selayaknya kita introspeksi diri. Mencoba menengok ke belakang, melihat dengan seksama apa yang kita lakukan setahun silam. Adakah semua sudah sesuai dengan kehendak-Nya, atau justru sebaliknya bertolak belakang dengan apa yang diridlai-Nya. Bila banyak ketaatan yang kita lakukan sepatutnya kita bersyukur dan bukannya berbangga, agar Ia tambahkan kenikmatan itu untuk kita. Sebaliknya, bila banyak hal yang kurang sesuai atau bahkan bertolak belakang dengan yang diridlai-Nya, seharusnyalah kita istighfar, mohon ampun kepada-Nya, namun jangan lantas berputus asa pada rahmat-Nya. Seberapa banyak kemaksiatan yang kita lakukan meski memenuhi jagat raya, ingat samudera maaf-Nya jauh lebih luas dan sempurna. Namun, jangan lantas meremehkan, karena sesungguhnya meremehkan itulah yang menjadi awal dari kekufuran. Selamat tahun baru hijrayah dan mari berusaha berhijrah. Hijrah dari keadaan yang tidak baik menjadi baik, dari kemaksiatan menjadi taat kepada-Nya.

Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...


Komentar