Sejarah Perkembangan Hadits



Sejarah Perkembangan Hadits

Keberadaaan hadits sebagai salah satu sumber pokok hukum Islam sudah tidak lagi diperdebatkan. Ia adalah sumber kedua setelah al-Qur’an. Umat Islam sanagat menaruh perhatian terhadap hadits. Lantas bagaimana sejarah perkembangan hadits sejak awal kemunculannya hingga saat ini?

Sebelum memasuki pembahasan tersebut lebih jauh ada baiknya dijelaskan pengertian sejarah lebih dahulu. Sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau yang bisa dibuktikan kebenarannya. Sejarah perkembangan hadits dapat diartikan sebagai masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengalaman umat dari generasi ke generasi. Mulai dari masa kemunculannya, yakni pada masa Rasulullah Muhammad SAW masih hidup sampai saat ini.


Adapun M. Hasbi Asy Syidieqy membagi perkembangan hadits menjadi:
1)      Periode Pertama (Masa Rasulullah)
2)      Periode Kedua (Khulafaur Rasyidin)
3)      Periode Ketiga (Sahabat Kecil dan Tabi’in)
4)      Periode Keempat (Abad II dan III Hijriah)
5)      Periode Kelima (Pen-Tashihan Hadits dan Penyusunan Kaidah – Kaidahnya)
6)      Periode Keenam (Abad IV – Tahun 656 H)
7)      Periode Ketujuh (Tahun 656 H – Sekarang) 

Pada periode pertama, yakni pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Masa ini dikenal dengan ‘Ashru al-Wahyi wa al-Taqwin (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam). Di masa ini belum banyak diantara umat Islam yang mengenal baca tulis. Jumlah sahabat yang mampu dalam membaca dan menulis pada saat ini masih sedikit sekali.  Masa ini adalah masa lahirnya hadits. Oleh karena jumlah sahabat yang memiliki kemampuan membaca dan menulis masih sangat terbatas, Rasulullah menekankan pada pemeliharaan hadits dengan cara menghapal, memahami, memelihara, dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari – hari. Hanya beberapa orang sahabat saja yang diperkenankan oleh Rasulullah untuk menulis hadits, bahkan bagi sebagain yang lain Rasul justru melarangnya karena khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an.

Sepeninggal Rasulullah, maka pemerintahan dan penyebaran agama Islam dilanjutkan oleh sahabat dekatnya. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddieq, Umar ibnu al-Khaththab, Utsman ibnu Affan dan Ali ibnu Abi Thalib. Mereka dikenal dengan khulafa al-Rasyidin.  Masa khulafa al-Rasyidin ini, dalam sejarah perkembangan hadits, masa ini dikenal dengan ‘Ash al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat)

Para sahabat sangat berhati – hati dalam meriwayatkan hadits. Mereka juga tidak sembarang dalam menerima riwayat hadits. Pada masa ini perhatian para sahabat lebih difokuskan pada al-Qur’an, mengingat al-Qur’an sepeninggal nabi masih tercerai berai belum dikumpulkan dalam satu mushaf. Baru pada masa Abu Bakar, al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf, tetapi hanya sekedar dikumpulkan dan belum ada upaya penyeragaman dalam bacaannya. Masa Utsman ibnu Affan lah yang kemudian menyempurnakan pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf dan menyeragamkan bacaannya sehingga tidak ada perbedaan cara baca di antara umat Islam. Kebijakan Utsman inilah yang dianggap tepat untuk menghindarkan adanya perbedaan bacaan yang boleh jadi atau bahkan bisa memicu adanya pergolakan di tengah umat Islam. Mengingat wilayah Islam saat itu telah meluas sampai ke negeri tetangga, yang pengetahuannya tentang tata bahasa Arab sangat minim.

Dalam hal periwayatan hadits, para sahabat umumnya membatasi. Mereka tidak meriwayatkan hadits dalam jumlah banyak. Bukan karena mereka tidak tahu tentunya, tetapi lebih karena kehati – hatian dan perhatian mereka yang lebih difokuskan pada urusan al-Qur’an. Kehati – hatian para sahabat khulafa al-Rasyidin dalam meriwayatkan hadits tampak sekiranya mereka mengharuskan bagi mereka yang meriwayatkan hadits untuk bersumpah dan mendatangkan saksi.

Masa berikutnya adalah periode sahabat kecil dan tabi’in. Periode ini dikenal dengan ‘Ashr al-Intisyar al-Riwayah ila al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada masa ini mulai muncul perhatian para sahabat dan tabi’in terhadap hadits nabi. Wilayah Islam terbentang luas di semenanjung Arab dan bahkan sampai Afrika dan Andalusia. Banyak para sahabat pemilik hadits yang menyebar dan tinggal di daerah – daerah yang masuk dalam wilayah Islam. 

Karena banyaknya para sahabat periwayat hadits yang tersebar di berbagai daerah, maka para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mendapatkan hadits dari sumbernya, melakukan pelawatan ke berbagai daerah. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya untuk mendapatkan hadits dari para sahabat besar. Mereka mencatatnya dalam buku catatanya, menghafalkan, dan mengamalkannya. Selain itu mereka juga meriwayatkan kepada sahabat maupun tabi’in lain yang menginginkan. Pada masa inilah muncul bendaharawan hadits dan lembaga – lembaga yang menjadi pusat kajian hadits (Centrum Perkembangan Hadits).

Diantara bendaharawan hadits yang terkenal saat itu adalah:
  1. Abu Hurairah meriwayatkan 5.374 hadits
  2. ‘Abdullah ibnu Umar meriwayatkan 2.630 hadits
  3. Aisyah, istri rasulullah meriwayatkan 2.276 hadits
  4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 hadits
  5. Jabir ibnu Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits
  6. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits
Mereka adalah para bendaharawan hadits yang menjadi rujukan para pemerhati hadits. Dari mereka  banyak di dapatkan hadits – hadits Nabi Muhammad SAW yang bisa dipercaya keshahihannya. Para sahabat kecil dan tabi’in banyak yang datang kepada mereka untuk mendapatkan hadits Nabi Muhammad SAW.

            Adapun lembaga – lembaga hadits juga tidak kalah pesatnya. Pada masa ini bermunculan lembaga yang menjadi pusat perkembangan hadits. Di antara lembaga yang menjadi pusat perkembangan hadits adalah:
  1. Madinah
  2. Mekah
  3. Bashrah
  4. Syam
  5. Mesir.
Sebagai catatan pada masa ini mulai bermunculan hadits – hadits palsu dari orang – orang yang tidak bertanggung jawab. Kemunculan hadits palsu ini tidak lepas dari adanya perpecahan di tubuh umat Islam.

Pada abad ke II dan III H, perhatian umat Islam terhadap hadits semakin bertambah. Masa ini, dalam sejarah perkembangan hadits dikenal dengan ‘Ashr al-Kitabah wa al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Urusan al-Qur’an telah terselesaikan pada masa Utsman ibnu Affan dengan ditulis dan ditetapkannya mushaf al-imam sebagai pegangan umat Islam. Tibalah saatnya umat Islam lebih berkonsentrasi pada hadits mengingat hadits adalah salah satu dari pusaka yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW sebagai pedoman hidup umat Islam. 

Sejarah telah mencatat bahwa Umar ibnu Abdul Aziz lah, khalifah daulat bani Umayah yang secara resmi memerintahkan untuk menulis dan membukukan al-Qur’an. Beliau mengirimkan surat kepada para gubernurnya untuk membukukan hadits dari para penghapal hadits yang ada diwilayahnya. Abu Bakr Muhamad ibnu Muslim ibnu Ubaidillah ibnu Syihab al-Zuhri adalah orang yang mula – mula dianggap secara resmi membukukan hadits atas anjuran khalifah.

Adapun pembukuan hadits pada masa ini belum melalui pemilahan secara baik. Pembukuan hadits dilakukan tanpa adanya penyaringan, akibatnya muncul kitab hadits yang bercampur dengan fatwa – fatwa sahabat maupun pengumpul hadits tersebut. Banyak kitab hadits yang bercampur dengan fatwa sahabat sehingga sulit dikategorikan sebagai kitab hadits. Termasuk di dalamnya adalah kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Kitab ini dianggap sebagai kitab hadits tertua dengan hadits – hadits shahih di dalamnya. Pada periode ini juga bermunculan tokoh al-Jarh wa al-Ta’dil seperti Syu’bah ibnu Hajjaj, Ma’mar, Hisyam dll.

Periode berikutnya adalah periode pentashihan dan penyusunan kaidah – kaidahnya. Pada masa ini ulama hadits mulai melakukan pemilahan dan penyaringan ketat terhadap hadits – hadits yang tersebar di kalangan umat Islam. Seperti telah dimaklumi bahwa perpecahan yang terjadi ditubuh umat Islam telah berdampak buruk terhadap perkembangan hadits. Banyak hadits palsu bertebaran akibat ulah orang – orang yang tidak bertanggung jawab atau orang yang ingin merongrong dan menghancurkan Islam. Karena itulah para ulama berusaha keras untuk memilah dan mengelompokkan hadits yang bisa diterima dan tidak. Mereka juga menyusun kaidah – kaidah yang bisa dijadikan panutan bagi generasi berikutnya dalam melakukan penyaringan dan pemilahan hadits.

Iman Bukhari membuat terobosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. Selain itu beliau menulis kitab al-Jami’ al-Shahih. Langkah yang dilakukan oleh Imam Bukhari pada akhirnya diikuti oleh para ulama hadits yang lain. Oleh karena merebaknya hadits palsu, maka para ulama melakukan pembahasan keadaan rawi (keadilan, kediaman, masa dll) dan memisahkan yang shahih dari yang dla’if dengan mentashihkan hadits. Pada masa ini muncul 6 kitab induk hadits, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, Sunan ibnu Majah.
 
Periode berikutnya adalah abad IV – 656 H.  Masa ini dikenal dengan nama ‘Ashru al-Tahdzib wa al-Tartib wa al-Istidraqi wa al-Jami’. Pada periode ini bermunculan kitab – kitab shahih yang tidak terdapat pada abad III (Al-Shahih: Ibnu Khuzaimah, Al-Taqsim wa al-Anwa’: Ibnu Hibban dll).

Adapun usaha penting yang dilakukan ulama hadits pada masa ini adalah:
a)      Mengumpulkan hadits Al Bukhari dan Al Muslim dalam sebuah kitab (Al Jami’ Bain Al Shahihain: Ibnu Furat, Al Baghawi : Muhammad Ibnu Abdul Haq Al Asybily)
b)      Mengumpulkan hadits – hadits dalam kitab enam (Tajridus Shihhah: Razin Muawiyah)
c)    Mengumpulkan hadits – hadits yang terdapat dalam berbagai kitab
d)   Mengumpulkan hadits – hadits hukum dan kitab athraf

Pada masa ini juga muncul usaha untuk istikhraj; umpamanya mengambil suatu hadits dari al-Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad al-Bukhari atau Muslim. Selain itu muncul usaha istidrak; mengumpulkan hadits – hadits yang memiliki syarat – syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan belum diriwayatkan oleh keduanya.

Masa berikutnya adalah masa tahun 656 H – Sekarang. Masa ini dikenal dengan ‘Ashr Syarhi wa al-Jami’ wa al-Takhriji wa al-Bahtsi (masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan pembahasan). Ulama berusaha menerbitkan isi kitab – kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab takhrij, serta membuat kitab – kitab jami’ yang umum. Pada masa ini muncul kitab – kitab zawaid, yaitu usaha mengumpulkan hadits dalam kitab sebelumnya ke dalam kitab tertentu. Selain itu juga terdapat usaha pengumpulan hadits – hadits yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab.

Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam...

Komentar