Kajian Tafsir Tarbawi
Salah
satu dari bukti autentik (i’jaz) al-Qur’an adalah nilai – nilai
keuniversalannya, baik dari segi isi, redaksi, maupun pesan sucinya. Al-Qur’an
selalu mampu menjadi memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang mengemuka
di tengah umat manusia. Hanya saja jawaban yang diberikan al-Qur’an tidak serta
merta dipahami semua orang. Sebagian orang yang tidak beriman dan tidak percaya
akan kemukjizatannya justru semakin ingkar akan kebenaran al-Qur’an.
Semakin
al-Qur’an ditentang, semakin ia akan menunjukkan kebenarannya. Begitulah kiranya
ungkapan yang tepat untuk menunjukkan keagungan al-Qur’an al-Karim. Kitab suci
yang menjadi pedoman bagi umat Islam, khususnya mereka yang muttaqin, bertaqwa
kepada Allah SWT. Al-Qur’an hanya akan menjadi petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah (2); 2:
ذَلِكَ الْكِتَابُ
لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2)
Artinya:
Kitab itu (al-Qur’an), tiada keraguan di dalamnya, ia menjadi petunjuk bagi
orang – orang yang bertaqwa. (Q.S. al-Baqarah (2); 2)
Muttaqin,
orang yang bertaqwa adalah mereka yang mau tunduk, patuh pada perintah Allah SWT
serta berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi semua larangannya. Al-Qur’an telah
mengungkap berbagai fakta mengejutkan yang sebelumnya belum pernah terpikirkan
dalam akal fikiran manusia. Adanya sungai di dasar laut yang memisahkan dua
lautan yang satu berasa tawar airnya dan satu lagi asin, semakin menunjukkan
kebenaran al-Qur’an. Penemuan jasad Fir’aun yang utuh di dasar laut juga
termaktub di dalam al-Qur’an. Hanya mereka yang mau menggali dan mempelajari
al-Qur’an secara sungguh – sungguhlah yang akan mendapatkan berbagai informasi
yang ada di dalamnya.
Dilihat
dari terminologinya, maka tafsir tarbawi adalah bagian dari ilmu tafsir. Terlepas
dengan berbagai polemik yang masih melikupinya, keberadaan tafsir tarbawi
memiliki arti tersendiri dalam dunia pendidikan. Setidaknya ada sebuah upaya
untuk mencoba mencari dan menggali nilai – nilai pendidikan yang tersurat
maupun tersirat dalam al-Qur’an. Hal ini penting agar sebagai pendidik Islam
tidak hanya berpegang pada apa yang disampaikan para ilmuan barat, khususnya. Di
akui maupun tidak, banyak diantara para pendidik Islam yang lebih senang dan
bangga dengan berbagai teori dan metode yang dicetuskan oleh ilmuan barat,
karena dianggap lebih ilmiah. Mereka mengesampingkan bahkan, lebih parah lagi
tidak mau berusaha untuk menggali dan mencari teori – teori pendidikan yang ada
dalam al-Qur’an maupun apa yang tertuang dalam berbagai kitab turats yang telah
bertahun – tahun diwariskan ulama muslim, saat barat masih berada dalam masa
kegelapan. Sungguh, hal yang ironis sekali.
Tafsir
merupakan sebuah upaya yang telah disepakati oleh para ulama dalam memahami
al-Qur’an. Sebagaimana dimaklumi bahasa al-Qur’an yang bersifat jam’u al-jawami’
seringkali tidak bisa dipahami oleh umat Islam, bahkan orang Arab yang
berbahasa Arab. Untuk memahaminya diperlukan piranti khusus yang mesti dipenuhi
agar pemahaman yang diperoleh bisa diterima. Tentu kebenaran dari sebuah tafsir
bukanlah kebenaran mutlak, tetapi lebih bersifat subyektif yang memungkinkan
munculnya pemahaman lain yang berbeda. Ini disebabkan oleh pendekatan keilmuan
dan kapasitas kemampuan akal masing – masing mufassir yang berbeda antara satu
dengan yang lain.
Al-Qur’an
sangat memuliakan akal, bahkan memujinya dengan sangat konstan. Beberapa ayat
al-Qur’an secara jelas menunjukkan penghargaannya terhadap akal. Diantaranya adalah
Surat al-Nisa’ (4); 82:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ
اخْتِلَافًا كَثِيرًا (82)
Artinya:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya (Q.S. al Nisa’: 82)
Selain itu juga terdapat dalam Surat
al-Zumar (39); 9:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا
يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (9)
Artinya: Katakanlah: “Adakah sama
orang – orang yang mengetahui dengan orang – orang yang tidak mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. al-Zumar
(39): 9)
Dua ayat
diatas setidaknya cukup mewakili perhatian al-Qur’an terhadap akal. Akal menjadi
pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Orang yang memaksimalkan potensi
akal yang telah diberikan kepadanya akan diangkat derajatnya di sisi sesamanya
maupun di sisi Allah SWT.
Antara
wahyu dan akal keduanya adalah hal yang saling berkaitan. Akal adalah piranti
yang diciptakan oleh Allah untuk memahami wahyu. Wahyu diberikan sebagai
petunjuk bagi manusia agar selalu berjalan di jalan yang benar, bukan
sebaliknya. Karena itu maka posisi akal dalam memahami wahyu sangatlah penting
dan tidak boleh dikesampingkan. Akal dan wahyu, keduanya merupakan sumber
aspirasi dan petunjuk atau intuisi dalam rangka mencapai tujuan yang satu dan
sempurna. Tujuan untuk sampai pada kebenaran hakiki yang mengantarkan seseorang
pada surga yang dijanjikan bagi mereka yang beriman dan bertaqwa.
Berangkat
dari asumsi dasar tersebut bahwa akal manusia sarat dengan potensi, bagaimana
akal dapat memandang dan melihat al-Qur’an itu menjadi sebuah simbol, tanda,
rambu, kode, isyarat dan lain sebagainya. Semua itu merupakan sumber inspirasi
(obyek kajian sebagai tamtsil, ta’wil dan takhyil) yang memungkinkan untuk
dikaji dan ditelusuri secara mendalam. Maka, tugas tafsir tarbawi sebagai salah
satu piranti dalam menggali berbagai teori pendidikan yang ada dalam al-Qur’an
adalah menjelaskannya secara ilmiah agar maksud dan tujuan berbagai ayat yang
didalamnya terkandung nilai pendidikan bisa dipahami oleh semua orang. Tafsir tarbawi
akan berusaha menganalisa berbagai ayat al-Qur’an dari sudut analisa
pendidikan, bukan dari sudut yang lain.
Berkaitan
dengan subyek dan objek pendidikan, maka seorang ulama, guru, orang tua, cerdik
pandai berposisi sebagai subjek. Sementara seorang murit berposisi sebagai
objek. Namun, harus dicatat bahwa seorang murid tidak mesti menjadi objek secara
murni, namun seorang murid juga bisa berperan sebagai subjek, pelaku dalam
proses pendidikan itu sendiri. Meski mereka menjadi sasaran dari proses
pendidikan, namun mereka juga bisa berperan aktif dalam menjalani proses
tersebut. Dengan menjadikannya sebagai
subjek sekaligus sesungguhnya juga membuka ruang secara luas bagi murid untuk
mengeksplorasi semua potensi dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya.
Sementara
itu lingkungan merupakan kesatuan yang berpautan secara utuh dan erat antara
subyek dan obyek pendidikan. Oleh karena itu, sasaran dan obyek pendidikan
tidak hanya sekadar on one time, tetapi item in one term. Dengan
kata lain sasaran yang akan dicapai dalam pendidikan adalah obyek yang nyata
dan kenyataan yang obyektif.
Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar