Ketaatan Ibrahim, Kesabaran Ismai



Ketaatan Ibrahim, Kesabaran Ismail
(Seri Pengajian Jum’at PON)

Pengajian Jum’at PON diadakan secara rutin oleh masyarakat Desa Slemanan Udanawu Kabupaten Blitar. Acara ini sudah berjalan sekian tahun lamanya semenjak saya masih berada di bangku Madrasah Aliyah. Sungguh satu kegiatan yang positif, yang perlu untuk terus diistiqamahkan dan digiatkan. Memang, secara kuantitas sudah sangat berkurang, tetapi setidaknya keistiqamahan itu masih tetap terjaga hingga saat ini. Kalau dihitung – hitung, mungkin lebih dari 17 tahun silam mulainya.

Malam ini K.H. Syaikhudin menyampaikan materi tentang ketaatan seorang Ibrahim a.s. dan kesabaran putranya Ismail a.s. Nabi yang mendapat gelar khalilullah sekaligus Abu al-Basyar. Syariatnya sampai har ini masih tetap terjaga dan diikuti oleh umat Nabi Muhammad SAW yang hidup ratusan tahun setelahnya. Bahkan secara tegas al-Qur’an memerintahkan agar semua umat Islam tetap mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus. Dalam al-Qur’an Surat Ali Imran (3); 95:


قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (95)

Artinya: “Katakanlah! Maha benar Allah, maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan tiadalah ia termasuk orang – orang yang mensekutukan Allah. (Q.S. Ali Imran (3); 95)

Allah memerintahkan umat muslim untuk mengikuti agama Ibrahim. Agama yang lurus yang sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Ibrahim bukanlah seorang yang mensekutukan Allah. Dia adalah orang yang beriman kepada-Nya, bahkan Allah menjadikannya sebagai khalil, kekasih-Nya. Al-Qur’an Surat al-Nisa’ (4); 125 menyebutkan:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا (125)

Artinya: Dan siapakah orang yang lebih bagus agamanya daripada seorang yang ikhlas menyerahkan/memasrahkan  diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (Q.S. al-Nisa’ (4); 125)

Demikianlah, Allah memilih Ibrahim sebagai hamba yang disayangi-Nya oelh karena ketaatannya kepada perintah-Nya, tanpa sedikitpun keraguan dalam menjalaninya. Beliau dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Beliau tidak enggan memberikan apa yang dimilikinya untuk shadaqah kepada sesama. Shadaqahnya tak terhitung nilainya, namun Allah belum berkenan memberinya keturunan hingga usianya yang sudah menapaki usia senja. Beliau senantiasa berdo’a kepada Allah agar dikarunia seorang putra.

Suatu saat umat manusia merasa kagum atas kedermawanannya, hingga mereka memuji kedermawanan Nabi Ibrahim yang menyembelih kurban dalam jumlah yang banyak. Mendengar pujian yang disanjungkan spontan lisannya berucap, “Jangankan binatang ternak yang kumiliki untuk dikurbankan, andai saja Allah memberiku putra dan Dia memintaku untuk menyembelihnya, pasti aku akan menyembelihnya.”

Kondisi ini mungkin wajar bagi Nabi Ibrahim karena sampai usianya senja, Allah belum menganugerahkan kepadanya seorang putra. Namun, ternyata Allah mencatat hal ini sebagai nadzar. Di usianya yang senja Allah menganugerahkan seorang putra untuknya dari rahim istrinya Siti Hajar. Betapa bahagia dan gembiranya hati Nabi Ibrahim mendapatkan anugerah ini.

Di saat usia Nabi Ismail masih dalam hitungan hari, Allah memerintahkannya untuk hijrah menuju Makkah. Sesampainya di sana, di padang pasir yang panas, Allah justru memerintahkannya untuk kembali ke Palistina dan meninggalkan istri dan anaknya, Siti Hajar dan Nabi Ismail ditengah padang pasir yang panas tanpa makanan. Betapa berat ujian tersebut. Mungkin kita tidak akan pernah sanggup untuk melaluinya. Tetapi atas izin Allah, semua itu berhasil di lalui.

Saat berada di padang pasir nan tandus, bayi Ismai menangis karena rasa lapar dan haus yang dideranya. Sebagai seorang ibu yang sayang dan mencintai anaknya, segala upaya ditempuh untuk mendapatkan kebutuhan anak. Siti Hajar berlari dari Shafa ke Marwa karena melihat air yang sesungguhnya hanyalah fatamorgana belaka. Berkali – kali beliau berlarian hingga pada akhirnya ia kecapaian dan melihat dari jejakan kaki putranya, Ismail a.s. memancar sumber mata air jernih. Beliau berseru, “zam, zam, zam”. Sampai saat ini mata air tersebut dikenal dengan sumur zam – zam. Apa yang dilakukan Siti Hajar tersebut diikuti oleh umat Islam yang menunaikan haji, yang dikenal dengan istilah sa’i.

Tujuh tahun berlalu, Ismail tumbuh menjadi seorang anak yang lucu. Ia mulai berlarian kesana – kemari. Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk mencari Siti Maryam dan Ismail. Betapa bahagianya ia melihat buah hatinya yang telah tumbuh menjadi seorang anak yang lucu dan menggemaskan. Orang tua mana yang tidak merasa cinta dan sayang pada anaknya. Bertahun – tahun tidak berjumpa, kini ia telah menemukan putranya telah tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, lucu dan menggemaskan. Namun, rupanya inilah kehendak Allah untuk menguji hamba-Nya. Saat kebahagiaan mulai dirasakan, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih putranya. Perintah itu datang melalui mimpi, “Aufi binadzrika ya Ibrahim!”. Penuhi janjimu wahai Ibrahim.

Betapa berat hati Nabi Ibrahim, ia merasa ragu akan perintah itu. Benarkah Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, putranya? Kegalauan itu terjawab sudah saat malam tanggal 9 Dzulhijjah, beliau mimpi yang sama untuk kedua kalinya. Dengan kemantapan hati akan perintah Allah, ia datang pada putranya dan meminta pendapat kepadanya. Peristiwa itu diabadikan al-Qur’an Surat al-Shaffat (37); 102-107:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)

Artinya: Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu”. Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang yang sabar”. Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya. (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang – orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar – benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Q.S. al-Shaffat (37); 102-107)

Ketaatan Nabi Ibrahim a.s. kiranya patut dijadikan contoh bagi semua umat Islam. Seorang yang benar – benar taat kepada-Nya berani mengorbankan apa yang dimilikinya, bahkan nyawanya sekalipun untuk mendapatkan ridla-Nya. Pengorbanan memang selalu menyisakan hal yang berat dalam hati, tetapi apabila ia dilakukan dengan tulus ikhlas semata karena mencari ridla-Nya, maka tidak ada hal yang berat. Kesadaran bahwa semua yang ada hanyalah titipan belaka dari-Nya, yang sewaktu – waktu bisa diambil tanpa ada kemampuan untuk menolaknya. Hidup dan mati, kaya dan miskin adalah bagian dari kehendak-Nya. Kehidupan adalah anugerah dari-Nya, yang kapan saja bisa diambil-Nya, tanpa harus meminta izin. Begitulah kiranya apa yang ada dalam hati Nabi Ibrahim dan Ismail. Ketaatan dan kesabaran keduanya sungguh menjadi hal yang patut dicontoh. Tidak berlebihan kiranya bila Allah lantas menjadikannya sebagai hamba yang paling disayangi-Nya, bahkan sampai saat ini agamanya masih dijadikan panutan oleh umat Islam.
 Semoga bermanfaat..
Allahu A'lam....

Komentar