Jiwa Yang Terhijab


Jiwa Yang Terhijab

Banyak orang tertipu dengan gemerlapnya cahaya dunia yang terpancar melalui ciptaan-Nya. Keindahan ciptaan maya pada, berlimpahnya harta benda, serta cantik rupawan makhluk ciptaan-Nya, membuat mata hatinya tertutup dan hanya melihat pada apa yang semua belaka. Seolah tidak ada lagi tujuan hidup yang sesungguhnya melainkan dari apa yang nampak oleh pandangan mata itu.

Ya, kaum materialis, umumnya hanya melihat pada apa yang ada disekelilingnya. Mengukur segala sesuatu dari apa yang bermanfaat bagi fisiknya tanpa mau peduli akan esensi dan substansi pokok yang ada pada setiap apa yang diciptakan-Nya. Mereka mengira bahwa terbukanya berbagai keberuntungan materialis, wujudnya karomah hissiyyan, kauniyyan sebagai puncak kedekatannya pada Sang Pemilik Kehidupan, Allah Swt. Padahal, belum tentu semua itu menunjukkan kedekatan, bahkan boleh jadi hal itu justru tipuan dan jebakan yang semakin menutup jiwanya dari kebenaran Yang Sesungguhnya.


Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandariy, penulis kitab al-Hikam menyatakan, “Sesiapa yang melihat wujud alam raya ini, tetapi tidak melihat Yang Maha Benar di sana, maka sesungguhnya dia belum mendapatkan cahaya, dan awan-awan jejak wujud-Nya masih menghijabnya, menghalanginya untuk melihat matahari pengetahuan tentang hakikat-Nya.”

Apa yang diungkapkan oleh Syaikh Ibnu Athaillah ini begitu dalam bila kita renungkan. Siapa saja yang melihat wujud alam raya ini, dan nyatanya kita semua melihatnya. Kita melihat dan menyaksikan setiap pagi matahari terbit dari ufuk timur, tenggelam di sore hari di sebelah barat. Menyaksikan bagaimana hujan turun dari langit, rembulan bersinar di malam hari. Menyaksikan bagaimana gunung ditegakkan-Nya, lengkap dengan pesona alamnya. Melihat bagaimana manusia diciptakan dengan kesempurnaan ciptaan-Nya, tampan, cantik, seksi, dan sebagainya. Tetapi apakah di saat melihat semua itu, hati kita menyadari akan keberadaan Yang Maha Benar di dalamnya.

Ini pertanyaan yang semestinya kita tujukan kepada diri kita sendiri. Dalam kehidupan ini, kita sering menganggap yang sedikit itu, sedikit manfaatnya dan yang besar, besar manfaatnya. Padahal boleh jadi sebaliknya. Berapa banyak orang yang kepadanya diamanahkan kekayaan berlimpah, namun kekayaannya tidak bermanfaat, menjadikannya seorang yang lengah, lupa pada Tuhannya bahkan mengingkari segala pemberian-Nya. Sebaliknya, banyak orang yang hidup dalam kesederhaan dan serta terbatas, namun mereka merasa bahagia dengan kesederhanaan itu, tetap berbagi meski dalam keterbatasan, semakin merunduk penuh ketawadlu’an dan semakin tekun ibadah karena menyadari kekuasaan-Nya.

Banyak orang alim, pandai, tinggi ilmunya, banyak tulisan kitabnya, namun hatinya gersang karena ilmu membuatnya terhalang dari Sang Yang Benar. Di sinilah agaknya, Syaikh Ibnu Athaillah ingin mengingatkan kepada kita semua, agar janganlah semua yang nampak menghalangi kita dari melihat yang Maha Benar, Allah Swt. Tidak ada segala sesuatu yang tercipta di dunia ini, melainkan atas apa yang dikehendaki-Nya.

Jika kita merasa senang dengan ciptaan-Nya, jangan sampai hal itu menghalangi kita dari melihat ke-Maha-an-Nya. Dia-lah yang sesungguhnya memiliki segala sesuatu yang ada di maya pada ini. Dia-lah ashlul khilqah, yang karena-Nya, dunia ini bisa tercipta. Karena Dia kita, alam semesta dan seluruh makhluk ini ada. Karenanya, janganlah keberadaan makhluk ini menutupi keberadaan-Nya.

Sesiapa saja yang masih terpaku pada materi, kebendaan yang nampak oleh indera kita, dan melupakan substansi dari segala ciptaan, berarti ia masih berada dalam kegelapan. Jiwanya terhijab dari kebenaran yang sesungguhnya. Pantaslah, jika ia masih suka menerkam saudara, sanak kerabat, sahabat untuk sekedar mengejar ambisi dan kekuasaan. Pantaslah ia rela mengorbankan siapa saja untuk meraup keuntungan, membesarkan perutnya sendiri tanpa sedikitpun berempati pada sesamanya.

Terhijabnya jiwa, menjadikannya seorang pecundang yang bekerja keras di saat pimpinan menungguinya, bermalas-malasan saat tidak ada pengawasan. Merasa kurang dengan apa yang dimiliki dan terus berburu ambisi dan jabatan.

Jiwa yang tercerahkan dengan kesadaran pada ‘cahaya kebenaran’ yang terpancar dari-Nya, menyadari bahwa setiap apa yang dilakukannya merupakan tanggung jawabnya kepada Sang Yang Benar. Dia bekerja tanpa diawasi, kalaulah dipinggirkan, ia merasa bahwa ada campur tangan-Nya, yang tidak mungkin akan mendlalimi. Semoga jiwa kita tercerahkan oleh sinar ‘nur’-Nya, sehingga menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, serta siap menerima segala bentuk amanah-Nya dengan sebaik-baiknya.

Komentar