Ujian di Hari Kemenangan

Ujian di Hari Kemenangan


Setelah menjalani puasa Ramadhan sebulan penuh, tibalah saat yang dinantikan umat muslim, hari kemenangan, idul fitri. Hari yang setiap tahunnya dirayakan selepas menjalani puasa Ramadhan. Mereka yang diperantauan, pulang sekedar untuk melepaskan kerinduan kepada saudara dan handai tolan di kampung. Silaturrahim dengan mengunjungi saudara, tetangga, sahabat dan kenalan disempatkan kurang lebih sepekan lamanya hingga tiba waktu “ketupat”.

Hari itu juga, mereka saling bersalaman satu dengan lainnya. Beragam kue, jajanan, hidangan disiapkan untuk siapa saja yang datang tanpa memandang asal usulnya. Suasana damai, tentram tercipta, saat semua mengakui “salah” yang pernah diperbuat, tanpa memunculkan “ego” keras kepala, merasa paling “benar” di antara lainnya. Saling berebut salah, itulah yang ada. Kondisi yang hampir “langka” di selain lebaran.

Tak ketinggalan pakaian baru nampak melekat di badan. Meski, untuk saat ini, bagi sebagian besar orang, membeli pakaian baru adalah hal biasa, namun bagi sebagian lain “pakaian baru”, hanya dirasakan di saat lebaran. Terkadang, saat ekonomi sedang “seret”, lebaran justru menjadi siksaan karena tidak mampu membelikan anak-anak dan istrinya pakaian layaknya yang lain.

Anak-anak pun, tidak ketinggalan merasakan berkah “kemenangan”. Setiap rumah menyediakan “sangu” bagi mereka yang datang untuk siaturrahim. Anak-anak merasakan keriangan saat menerima “sangu” dari keuarga, saudara tetangga dan handai tolan. Itulah gambaran keberkahan di hari “kemenangan”. Hari yang dinanti-nantikan oleh mereka yang menjalani “puasa Ramadhan”.

Tahun ini, hari kemenangan terasa berbeda dari biasanya. Jika sebelumnya, lebaran terasa sangat kental dengan suasana “bahagia”. Jalan-jalan penuh sesak dengan kendaraan yang berlalu lalang, rumah-rumah dipenuhi dengan tamu yang berkunjung. Tahun ini, jalan-jalan lengang, banyak portal digang-gang jalan kecil pedesaan. Tidak jarang juga ditemukan jalanan yang ditutup rapat agar tidak ada kendaraan lewat.

Ya, di tengah umat muslim menyambut hari kemengan, ada ujian yang diberikan bagi mereka dan warga di dunia pada umumnya, yakni covid-19, corona. Sejak mewabahnya virus ini, dunia sedang dirundung duka. Tempat-tempat yang memungkinkan berkerumunnya banyak warga ditutup, masjid-masjid, mushalla, mall dan sebagainya menerapkan protokol ketat sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran covid-19. Hendak kemanapun warga diharuskan mengenakan “masker”. Sebelum masuk rumah, toko, mall, masjid dan sebagainya semua dianjurkan untuk mencuci tangan terlebih dahulu dengan sabun dan atau menggunakan antiseptic.

Upaya ini perlu diapresiasi sebagai bentuk ikhtiar manusia yang ber-Tuhan, tentu bukan berarti takut pada virusnya. Habib Luthfi bin Yahya secara tegas saat ditanya mengenai “corona” menjawab, “Corona itu bukan Tuhan, tidak perlu ditakuti, tetapi menjalankan ikhtiar adalah satu kewajiban”.

Jawaban yang sangat bijak dan mesti dipegang teguh umat muslim sebagai orang yang ber-Tuhan. Menjalani semua anjuran pemerintah sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri dan sebagai bentuk ikhtiar. Ikhtiar sebagai hamba yang serba “kurang” dan sekaligus pengakuan atas “Ke-Maha Kuasaan-Nya”.

Kemenangan di hari fitri tahun ini, ditandai dengan kemampuan mengendalikan diri. Mengendalikan “ego”, “emosi” untuk tidak merasa “bangga diri”. Sama halnya dengan Nabi Muhammad Saw. saat datang kemenangan dengan menundukkan kota kelahirannya, Makkah al-Mukarromah, serta berbondong-bondongnya penduduk menyatakan diri masuk Islam. Di situlah beliau justru diperintahkan untuk membaca tasbih (mensucikan Allah), memuji Allah (dengan membaca hamdalah), dan membaca memohon ampun kepada-Nya, (dengan membaca istighfar).

Di tahun inilah, setidaknya kita menengok kembali Surat al-Nashr, surat pendek yang kerap kali dibaca Imam dalam shalatnya, namun jarang orang yang berpikir tentang kedalaman isinya. Banyak yang membaca dan menghafalnya, namun tidak berpikir tentangnya. Rasul pernah tersedu-sedu menangis semalam setelah turun ayat adzab. Saat Bilal berkata, “Bukankah engkau telah diampuni dosamu yang telah lewat dan yang akan datang?”. Beliau menjawab, “Apakah aku bukan seorang hamba yang patut bersyukur wahai Bilal?, Celakalah orang-orang yang membaca ayat (ini), namun ia tidak berpikir tentangnya”.

Di hari kemenangan ini, sudahkah kita berpikir tentang berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini? Sudahkah kita semakin mendekat kepada-Nya, atau justru semakin menjauh dari-Nya? Bukankah al-Qur’an secara tegas menyatakan:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Qs. Al-Rum (30); 41)


Komentar