Moment Sejarah Terbesar di Bulan Ramadhan


Moment Sejarah Terbesar di Bulan Ramadhan

Keutamaan Ramadhan bukan hanya dalam hal ubudiyah yang selalu berkenaan dengan hubungan seornag hamba kepada Tuhan-nya. Berlipat gandanya pahalanya amal shalih yang dikerjakan dan terbukanya pintu maghfirah bagi mereka yang lalai dan bertaubat kepada-Nya. selain itu, ada sisi sejarah yang tentunya menyertai moment Ramadhan yang mulia. Di antara moment terbesar yang selalu diingat dan diperingati di bulan suci Ramadhan adalah moment turunnya al-Qur’an yang masyhur dengan istilah “Nuzul al-Qur’an”.

Penggunaan istilah “nuzul” untuk menyebut moment turunnya al-Qur’an masih terjadi perbincangan di beberapa ahli ulum al-Qur’an, seperti yang ditulis oleh Ummu Sumbulah dkk di dalam bukunya Studi al-Qur’an dan Hadits. Akan tetapi, menurut hemat saya, perdebatan ini tidak seberapa penting pengaruhnya bagi moment bersejarah ini, toh hingga saat ini yang masyhur digunakan dan telah tersebar luas penggunaannya adalah istilah “nuzul al-Qur’an”.


Di artikel sederhana ini, saya tidak akan secara detil membahas tentang peristiwa turunnya al-Qur’an ini. Artikel ini sekedar untuk mengingat bahwa pernah terjadi peristiwa bersejarah di bulan Ramadhan mulia ini. Kira-kira 1454 tahun lalu, yakni saat calon Nabi dan Rasul bernama Muhammad Saw. Sedang bertahannuts di Gua Hira’ untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-nya, merasa prihatin terhadap berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan mereka serta memohon petunjuk-Nya”. Datanglah seorang utusan dari Rab-Nya, yang bernama “Malaikat Jibril” dengan membawa wahyu dari-Nya.

Malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad Saw. seraya berkata kepadanya “Iqra’ ya Muhammad”, bacalah wahai Muhammad!. Nabi Muhammad Saw. menjawab dengan mengatakan “Maa Anaa biqaari’in”, saya tidak bisa membaca, sebagian lain mengartikannya dengan apa yang harus say abaca?. Terlepas dari perbedaan penafsiran dari jawaban Nabi yang nantinya akan memunculkan perdebatan mengenai status beliau sebagai seorang yang “ummiy”, tidak bisa membaca dan bisa membaca. Yang jelas, jawaban itulah yang muncul dari lisan mulia Nabi Muhammad Saw. Malaikat Jibril mengulang pertanyaan tersebut, namun tetap saja jawaban dari lisan mulianya, hingga ia merangkul rapat Nabi dan menuntunnya membaca Surat al-‘Alaq (96); 1-5.

Dengan turunnya ayat ini, resmilah ia, Muhammad menjadi Nabi terpilih yang selanjutnya memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan risalah Tuhan-nya kepada umat manusia. Saat itu usianya adalah 40 tahun.

Al-Qur’an turun diyakini turun pada tanggal 17 Ramadhan, sehingga pada tiap-tiap malam 17 Ramadhan selalu diperingati sebagai malam “Nuzul al-Qur’an”, malam turunnya al-Qur’an. Malam yang sekaligus ditengarai sebagai “malam lailatul qadar” karena Surat al-Qadr (97); 1, secara tegas menyebutkan bahwa Allah Swt. menurunkannya,-al-Qur’an, pada malam lailatul qadr. Lantas bagaimana sebagai seorang muslim kita mensikapi moment bersejarah ini?

Sebagai seorang muslim, tentunya moment ini seharusnya semakin meningkatkan semangat kita dalam mencintai, serta menggali kandungan isinya. Al-Qur’an diturunkan sebagai “petunjuk” bagi mereka yang bertaqwa. Karena fungsinya sebagai petunjuk, maka al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi setiap muslim di manapun dan kapanpun ia berada.

Aneh, jika seorang mengaku muslim, namun ia tidak memiliki kecintaan terhadap al-Qur’an, tidak memiliki perhatian khusus dalam memahami kandungan isinya, mengingat secara tegas al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi mereka. Sebagian lain, juga terhenti pada urusan “menghafal”, tanpa mau untuk menggali isinya. Tentu, hal ini sudah baik, tetapi lebih baik lagi bahkan sangat dianjurkan bagi setiap orang yang “menghafal” sekaligus mampu mengurai isinya.

Ada lagi sebagian muslim yang justru bersikap lain saat disebut ayat al-Qur’an. Selalu mengaitkan al-Qur’an dengan urusan ubudiyah yang kurang tepat,-atau bahkan tidak, saat dijadikan sebagai rujukan dalam menulis karya-karya ilmiah. Lain halnya jika rujukan itu berasal dari negara-negara barat yang,-memang harus diakui, saat ini masih menjadi kiblat dari ilmu pengetahuan.

Moment “Nuzul al-Qur’an”, tidak cukup sekedar menjadi seremonial, lebih dari itu, moment ini mestinya mampu menjadi pemantik semangat tiap muslim untuk semakin menggali makna yang ada di dalam al-Qur’an. Memberikan semangat setiap muslim untuk semakin mencintainya dengan memperbanyak membaca juga menghafal, namun dengan tidak mengesampingkan mempelajari serta menggali isinya, untuk kemudian dijadikan sebagai pegangan hidup, mensyiarkan kepada yang lain dan mewarnai kehidupan dengan segala aspeknya.

Komentar