Perisai Muslim
Dalam hidup ini, penting bagi setiap untuk
memiliki perisai yang dengannya ia bisa menyelamatkan diri dari berbagai
bahaya. Bahaya yang bisa menjadikannya terluka, baik secara fisik lebih-lebih
luka non fisik.
Luka fisik bisa sembuh dengan membubuhkan obat
yang membuatnya kering serta menghentikan pendarahan. Keringnya luka dan
berhentinya pendarahan akan menghentikan rasa sakit yang sempah singgah di
bagian tubuh seseorang. Lantas bagaimana dengan luka non fisik?
Luka non fisik tentu berbeda dengan luka
fisik. Ia lebih rumit untuk disembuhkan, terlebih saat luka tersebut telah
menyisakan berbagai stigma dan justifikasi cacatnya mental, rendahnya moral
serta hilangnya harga diri/muru’ah seseorang. Tidak mudah tentunya untuk
memupuk kepercayaan pada banyak orang yang telah menganggap rusaknya mental,
moral serta sifat muru’ah. Taubat, tentu menjadi salah satu terapi yang
memungkinkan seseorang untuk mengembalikan sifat muru’ah yang sempat
hilang dari diri seseorang, tetapi sekali lagi itu tidak instan, dan butuh
banyak perjuangan dan kessabaran.
Pencegahan terhadap semua hal yang bisa
menjadikan luka non fisik diperlukan oleh seorang mukmin, agar ia bisa selamat
dari dampak buruknya, meski harus diakui bahwa tidak seorang pun di dunia ini
yang sempurna. Semua pernah melakukan kesalahan, hanya saja bagaimana ia
bersikap setelah melakukan kesalah itulah yang penting untuk diperhatikan.
Salah satu di antara upaya pencegahan terhadap
adanya bahaya cacat mental, rendahnya akhlaq dan hilangnya muru’ah
adalah dengan berpuasa. Puasa bisa menjadi perisai yang dengannya seornag
mukimin bisa melindungi dirinya dari luka non fisik yang disebabkan oleh
perbuatan-perbuatan buruk ataupun perkataan yang kurang berfaidah dan tidak
memberi manfaat.
Disebutkan dalam satu riwayat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم
قَالَ: «الصِّيَامُ جُنَّةٌ. فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِماً، فَلاَ يَرْفَثْ
(1)، وَلاَ يَجْهَلْ. فَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ، أَوْ شَاتَمَهُ، فَلْيَقُلْ:
إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ».(رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Dari Abi Hurairah, bahwasannya Rasulullah
Saw bersabda: ‘Puasa itu perisai. Maka ketika salah seorang di antara kalian
berpuasa, janganlah ia berkata kotor, dan jangan berbuat bodoh. Jika seseorang (mengajaknya)
bermusuhan, atau mencacinya, sebaiknya ia menjawab, ‘Aku puasa, aku puasa’”. (HR.
Bukhari Muslim)
Puasa menjadi perisai yang
dengannya seorang muslim diselamatkan oleh Allah Swt dari berbagai cacat non
fisik. Cacat yang bisa menyebabkan seorang muslim kehilangan sifat muru’ahnya.
Seorang yang berpuasa dilarang
untuk berbicara kotor, serta melakukan hal-hal yang bisa menghilangkan fadhilah
dari puasa yang dikerjakannya. Pahala puasa yang dijalankan tidak akan
diperoleh seseorang manakala ia tidak mampu mengekang dirinya dari perbuatan-perbuatan
rendah yang menghapus fadhilah keutamaan puasa.
“Puasa itu milik-Ku dan Aku yang
akan memberikan balasan atas puasanya”, demikian arti dari redaksi hadits pada
artikel sebelumnya. Mengapa? Mungkin sebagian di antara jawabannya adalah
karena kualitas yang ada di dalam puasa hanya Allah Swt yang Maha Mengetahuinya.
Seorang muslim dan mukmin yang
dengan kesungguhannya menjalankan puasa, meskipun dalam kondisi sepi tanpa
seorangpun melihatnya, tetap saja ia bisa mengekang dirinya, menjaga dirinya
dari hal-hal yang membatalkan puasa. Sebaliknya, seorang yang kehilangan
imannya dan bersifat materialis, yang hanya bergantung pada ukuran makhluk, ia
puasa ditengah khalayak dan meninggalkannya saat sepi sendiri.
Salah satu alasannya...jaga dan rawatlah hati nurani dg kesibukan untuk meraih akherat yg baik
BalasHapusleres, terima kasih atas masukannya, semoga kita bisa saling berlomba dalam kebaikan. Utamanya dalam berbagi kebaikan dengan sesama kita....
HapusSyukran ustadz