Melihat Tuhan


Melihat Tuhan

Salah satu diantara sifat wajib Allah adalah wujud, artinya ada. Dalilnya adalah adanya dunia beserta isinya. Apa yang ada di dunia ini menjadi bukti bahwa ada Dzat Yang Menciptakannya, yakni Allah Swt.

Diantara pertanyaan yang biasa diajukan adalah apakah mungkin seorang mukmin bisa melihat Allah? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu bukan hal yang mudah. Karena wilayah ini adalah wilayah tauhid yang bisa saja berimbas pada keimanan yang ada pada diri seseorang.


Untuk meliat Tuhan secara kasat di dunia, tentu adalah hal yang mustahil, yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh siapapun. Seandainya ada orang yang mengaku melihat Tuhan, sudah bisa dipastikan bahwa apa yang disampaikannya salah dan besar kemungkinan bahwa orang tersebut telah tersesat.

Memang rasionalitas akal kerap kali ingin membuktikan keberadaan segala sesuatu yang diyakini kebenarannya, termasuk keberadaan Tuhan. Biasanya orang yang diberi kecerdasan akal tidak mudah untuk mempercayai sesuatu kecuali ketika ia sendiri melihat sesuatu itu dengan mata kepalanya sendiri.

 Di dalam al-Qur’an juga disebutkan kisah mengenai Nabi Musa As. yang ingin melihat Tuhan. Dengan tegas Tuhan berfirman bahwa dia (Musa) tidak akan mampu melihatnya. Firman Allah:

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (Qs. Al-A’raf (7); 143)

Ayat di atas menegaskan bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu melihat Dzat Allah Swt., Tuhan semesta alam, tidak terkecuali Nabi. Adapun jika ada penjelasan mengenai melihat Allah Swt., tentu hal itu bukan dalam arti melihat sebagaimana yang kita pahami.

Meski demikian, keniscayaan melihat Tuhan sebagai Dzat yang memiliki sifat Wujud adalah mungkin terjadi. Sebagai dasarnya adalah apa yang dikabarkan oleh Rasulullah Saw. dalam haditsnya:

إنكم سترون ربكم كما ترون هذاالقمر، لا تضامون فى رؤيته، فإن استطعتم أن لا تغلبوا على صلاة قبل طلوع الشمس وقبل غروبها فافعلوا (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rab kalian, sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini, tidak berdesak-desakan dalam melihatnya. Jika kalian mampu agar jangan sampai dikuasai (jangan sampai ketinggalan) mengerjakan sholat sebelum terbit dan tenggelamnya matahari, maka lakukanlah!” (HR. Bukhari dan Muslim).

Keterangan hadits di atas menyebutkan bahwa kelak orang-orang mukmin akan melihat Tuhan di surga. Mereka melihat Rabnya sebagaimana melihat bulan purnama. Tentu yang dimaksudkan di sini hanyalah sebatas kiasan dan bukan bermaksud menyerupakan Allah dengan bulan purnama, karena jelas itu adalah kesesatan. Allah tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.

Pada ayat tersebut juga disebutkan sholat yang sangat dianjurkan untuk senantiasa dijaga dan diperhatikan, yakni sholat sebelum terbitnya matahari (shubuh) dan sebelum terbenamnya matahari (ashar). Mengapa dua sholat ini disebut dalam hadits tersebut?

Kedua sholat ini disebut secara tegas pada hadits tersebut, -menurut penulis, bukan tanpa alasan. Kedua sholat ini cenderung dilalaikan oleh kebanyakan orang, mengapa? Sholat shubuh sebagaimana yang kita maklumi, dilaksanakan di saat umumnya orang merasakan nikmatnya tidur. Udara pagi yang masih terasa dingin seringkali membuat orang malas untuk bangun dan mengenakkan dirinya dengan selimut. Di sini lah, setan berupaya untuk menggoda manusia agar tetap melanjutkan tidurnya dan mengabaikan panggilan/seruan untuk menunaikan sholat. Bahkan ditambahkan lafadz, “Ashsholatu khoirun minannaum”, sholat itu lebih baik daripada tidur, tentu bukan sekedar ditambahkan semata, melainkan karena ada yang melatarinya.

Selanjutnya adalah ashar, waktu dimana sering dilalaikan oleh banyak orang karena sedang enak-enaknya, menyelesaikan urusan pekerjaan. Waktu dimana matahari telah condong ke arah barat menjelang maghrib setelah sebelumnya cahayanya menyengat kulit. Umumnya tenaga yang siang hari terasa terkuras mulai pulih kembali sehingga banyak yang “ngongso-ngongso” segera menyelesaikan pekerjaannya. Karena itulah perlu untuk diperhatikan dengan baik, agar seseorang tidak lalai dalam mengerjakan sholatnya.

Melihat Allah adalah kenikmatan terbesar bagi setiap mukmin kelak di surga. Kenikmatan ini melebihi kenikmatan yang ada di surga. Kenikmatan yang hanya diperoleh oleh meraka yang telah kembali kepada-Nya dengan membawa hati yang selamat dan dimasukkan ke “jannah al-na’im”. Diriwayatkan dari sebagian istri Rasulullah Saw.:

... وأنكم لن ترون ربكم تبارك وتعالى حتى تموتوا

Artinya: “... dan sesungguhnya kalian semua tidak akan pernah melihat Tuhan kalian yang Mahasuci dan Mahatinggi sampai kalian mati.” (HR. Ahmad).s

Komentar