Al-Hikam, Ahad Pagi 26 Juli, 2020
كيف
تطلب العوض عن عمل هو متصدق به عليك، أم كيف تطلب الجزاء عن صدق هو مهديه إليك
“Bagaimana mungkin engkau menuntut iwadh/ganti atas amal yang Dia (Allah)
telah shodaqahkan kepadamu? Atau bagaimana mungkin engkau meminta jaza’/balasan
atas shodaqah yang Dia (Allah) telah hadiahkan kepadamu?
Seorang yang menjalani perjalanan menuju
wushul kepada Allah adakalanya telah diberikan hadiah kepadanya
pemberian-pemberian yang bersifat cepat. Ijabahnya do’a dan sejenisnya. Hal ini
menunjukkan bahwa amalnya telah diterima besok di hari kiamat.
Oleh karena itu bagaimana seseorang
menjalankan amal perbuatan ikhlas dengan mengharapkan balasan atas amal yang
dikerjakannya? Seorang yang ikhlas sudah tidak lagi melirik/melihat kepada
pemberian dari Allah. Tidak lagi mengharap balasan surga, atau diselamatkan
dari neraka. Mengapa? Karena pada hakikatnya ikhlas itu sendiri merupakan
anugerah dari Allah Swt.
Bagi orang awam, ikhlas itu seperti shodaqah,
adapun bagi orang yang telah ikhlas adalah hadiah. Jadi ada perbedaan antara
shadaqah dan hadiah. Shadaqah diberikan kepada mereka yang miskin, sementara
hadiah diberikan kepada orang kaya. Tinjauan ini merupakan tinjauan tasawuf.
Seorang yang ibadah kepada Allah hanya mencari
iwadh/balasan sesungguhnya sangat terkecam. Bagaimana mungkin seorang
yang melakukan ibadah, sementara ibadahnya adalah anugerah atau pemberian
Allah, masih meminta balasan kepada Allah? Padahal kita bisa ibadah itu sudah
merupakan anugerah besar/fadhal dari-Nya.
Dalam istilah Mbah Yahi, ikhlas itu “Tarkul
Ikhlash fil Ikhlas”, meninggalkan perasaan ikhlas saat melakukan perbuatan
ikhlas. Oleh karena itu tidak ada lagi harapan balasan, karena sesungguhnya
semua hanya anugerah Allah.
Seorang yang ikhlas, boleh jadi ikhlasnya
masih masuk kategori ‘am/umum, khawash, atau khawashil khawash.
Bagi orang awam, harapan balasan surga dan selamat dari neraka adalah ikhlas,
tetapi tidak bagi orang khawash. Bagi orang khawash tidak ada
lagi harapan surga dan neraka, semua hanya merupakan perintah Allah Swt.
Sebagaimana kita diperintahkan untuk shalat
menghadap kiblat (Ka’bah). Maka saat menghadap kiblat, bukanlah kiblat sebagai
perantara untuk menuju kepada Allah. Karena kiblat itu adalah makhluk. Bagi orang
khawash, maka menghadap kiblat, tidak lain semata melaksanakan perintah Allah.
Semata mengikuti tuntunan dari Rasulullah Saw., akan tetapi belum ada kesadaran
“rasa” bahwa semua itu semata karena fadhal Allah.
Lain lagi bagi khawashil khawash. Mereka
melaksanakan ibadah itu disertai sadar bahwa mereka bisa melakukan hal ibadah
tersebut semata karena fadhal Allah disamping melaksanakan perintah Allah.
Penggunaan lafadz shodaqah diperuntukkan bagi
orang-orang faqir. Faqir dalam arti secara syari’at, ibadah yang sifatnya masih
lahiriyah. Seorang yang masih dalam tahap “faqir” dia masih membutuhkan karena
itu dia masih membutuhkan shodaqah. Lain halnya dengan hadiyah.
Hadiyah tidak diberikan kepada orang faqir,
melainkan orang yang sudah tidak membutuhkan lagi. Karena itu, hadiyah
diberikan kepada mereka yang tidak lagi membutuhkan sesuatu. Sama halnya dengan
nabi dan rasul. Meskipun secara lahir mereka mungkin faqir, tetapi hati mereka
kaya dan tidak lagi membutuhkan kepada makhluk. Yang dibutuhkan hanya Allah Swt.
Bahasa yang digunakan di dalam kalimat
tersebut merupakan tatbikh, (melehne). Bagaimana mungkin seorang yang
menjalankan ibadah minta balasan, atas apa yang ibadah yang dikerjakannya. Padahal,
apa yang dikerjakannya merupakan pemberian dari Allah Swt.
Ijabahnya do’a serta kelebihan-kelebihan yang
diberikan kepada seorang salik, pejalan menuju kepada Allah, bagi mereka
yang di dalam hatinya masih ada harapan adalah bagaikan shodaqah. Maqam mereka
masih sebagai ‘am yang masih mengharapkan iwadh dan jaza’.
Iwadh sekedar mengharapkan ganti atas kepayahan yang dilakukan,
sementara jaza’ setingkat di atasnya. Jika iwadh sekedar
tercapainya hajat yang sifatnya duniawi, maka jaza’ adalah tercapainya
hajat ukhrowi.
Adapun ijabahnya do’a dan kelebihan-kelebihan yang
diberikan kepada seorang saling yang sudah tidak lagi membutuhkan pemberian
dari-Nya selain Dia, maka nilainya adalah hadiyah. Hatinya sudah tidak lagi
membutuhkan makhluk, yang dibutuhkan hanya fadhal Allah Swt.
Karena itu, di dalam ajaran wahidiyah
disamping kita lillah, kita diajarkan billah. Selain diajarkan
syari’at dengan menjalankan segala sesuatu semata karena melaksanakan perintah
Allah, juga diajarkan supaya menyadari sepenuhnya bahwa kita bisa melaksanakan
segala sesuatu semata karena digerakkan oleh Allah Swt., karena fadhal Allah
Swt.
Dalam istilah Mbah Yahi Muallif Shalawat
Wahidiyah:
الإخلاص ترك الإخلاص فى الإخلاص فهو الإخلاص
Artinya: “Ikhlas adalah meninggalkan
perasaan bisa melakukan ikhlas saat melakukan perbuatan ikhlas.”
الطاعة ترك الطاعة فى الطاعة فهي الطاعة
Artinya: “Tha’at adalah meninggalkan
perasaan bisa melakukan tha’at disaat melakukan perbuatan tha’at.”
Dengan demikian segala sesuatu yang kita
kerjakan jangan sampai dikerjakan tanpa didasari billah. Dengan billah maka
ibadah serta amal perbuatan yang dikerjakan akan menjadi tinggi nilainya di
hadapan Allah Swt. Tetapi tentunya, perlu latihan. Billah bukan sekedar
diomongkan saja, tetapi dirasakan didalam hati. Billah itu adalah rasa yang
tidak bisa dipaksakan.
Sama halnya dengan seorang yang makan cabe. Bukan
dia memaksa cabe “pedas” dengan ucapannya, tetapi rasa “pedas” memaksa lisan
mengatakan pedas. Begitulah seorang yang telah dianugerahi iman billah, billah
memaksa seseorang untuk billah dalam setiap apa yang dikerjakannya. Jika belum,
maka tandanya adalah masih belajar untuk billah.
Komentar
Posting Komentar