Puncak Pengetahuan Adalah Ketertundukan

Puncak Pengetahuan Adalah Ketertundukan

Apakah anda setuju dengan pernyataan judul di atas? Puncak pengetahuan adalah ketertundukan? Atau anda tidak sepakat dan hendak mengajukan jawaban yang lain? Boleh saja dan sah bagi anda untuk tidak sepakat dan mengajukan jawaban berbeda. Pengetahuan adalah hasil dari penyimpulan otak atas persepsi yang diterimanya dari persentuhan akal dan materi.

Coba perhatikan! Saat anda memukul tong kosong, maka bunyinya akan terdengar nyaring. Seolah ia mengabarkan kepada dunia bahwa dialah yang lebih dari yang lain. Sebaliknya, saat anda memukul tong yang penuh isinya, maka apa yang anda dengar dari suaranya. Seolah enggan mengeluarkan suara. Itulah tong yang dipenuhi isi di dalamnya.


Saat anda memperhatikan aliran sungai. Anda akan mendengar suara gemericik air yang seolah ingin mengabarkan derasnya alirannya. Namun, tahukan anda bahwa suara itu sesungguhnya justru menunjukkan kedangkalannya? Sebaliknya, lihatlah air tenang yang mengalir tanpa suara sedikitpun. Seolah menandakan bahwa ia tidak mengalir sama sekali. Tetapi, semua orang meyakini bahwa ia sangat dalam dan deras alirannya. Bisa menerjang apa saja yang ditemuinya dan memporak-porandakan setiap benda yang menghalanginya.

Satu lagi, saat anda menyaksikan padi yang mulai menguning. Saat masih hijau, kosong tanpa isi di dalamnya. Ia mendongak ke atas. Seolah ingin menantang siapa saja yang ditemuinya, mengabarkan kepada seluruh isi dunia, bahwa dialah yang paling hebat diantara yang lainnya. Sebaliknya, bila padi itu telah menguning, dipenuhi dengan isi, ia justru menundukkan dirinya. Seolah ia malu mengangkat wajahnya dan menunjukkan dirinya kepada siapapun.

Apa pesan yang di dapatkan dari beberapa gambaran di atas? Semakin seseorang cerdas, berwawasan luas, semakin ia menyadari akan kelemahan yang ada pada dirinya. Semakin sadar seseorang akan kelemahan yang ada pada dirinya semakin ia tertunduk, merasa malu bila dianggap sebagai orang yang hebat. Puncaknya, ia menyadari akan kelemahan pada dirinya dan semakin ia menyadari keagungan Tuhannya.

Dalam bahasa Arab ada qaul yang menyatakan, “Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu”, barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Semakin kenal seseorang kepada Rab-nya, semakin ia menyadari akan keberadaan dirinya yang lemah dan serba kekurangan. Kesadaran dirinya akan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, semakin menjadikannya sebagai orang yang sadar bahwa kuasa Tuhannya serba tak terbatas. Pengetahuan Rab-nya melebihi pengetahuan semua makhluk di dunia.

Seberapa ia menyadari keagungan kuasa dan kesempurnaan-Nya, sebesar itu pula ma’rifah yang di dapatkannya. Kema’rifatan itu akan menjadikannya sebagai makhluk yang tertunduk di hadapan-Nya, jauh dari rasa angkuh, sombong dan takabbur atas orang lain.

Kyai Agus Mahmud al-Atha’ mengatakan bahwa hakikat mencari ilmu itu adalah menghilangkan kebodohan menuju pada pengetahuan dan selanjutnya meraih kebodohan murakkab. Seorang pencari ilmu pada awalnya berupaya untuk mencari ilmu tentang hal-hal yang tidak diketahuinya secara aqliyyahnya. Menghindarkan diri dari kebodohan awal yang menjadikannya tidak tahu akan hal-hal hissiy, inderawi dan ‘aqliyyi yang dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia. Pengetahuan mengenai hal-hal tersebut akan menjadikan seseorang menjadi ‘alim, cerdas dalam pandangan manusia. Dianggap sebagai seorang yang memiliki pengetahuan di tengah-tengah khalayak ramai. Kerapkali dijadikan rujukan dan sandaran oleh banyak orang yang membutuhkan pencerahan pemikiran di kalangan sesamanya.

Namun, hal itu bukanlah tujuan puncak/akhir dari perjalanan seorang pencari ilmu. Tujuan puncak/akhir dari proses perjalanan pengetahuan pada hakikatnya adalah menjadikan seseorang tertunduk pada keagungan dan kuasa-Nya yang menjadikannya menyadari akan kelemahan yang ada pada dirinya. Melepaskan diri segala ego kebinatangan dan manusiawinya menuju kesadaran hakiki bahwa segala sesuatu terjadi semata karena kehendak dan kuasa-Nya. Tanpa fadlal dan rahmat-Nya, tiada satu pun yang bisa menimbulkan bekas dan atsar pada diri seseorang.

Tidak hanya sadar dalam arti ilmiah, tetapi merasuk dalam rasa. Istilah Soekarno kebenaran itu dibedakan menjadi tiga, ilmu al-yaqin, ainu al-yaqin dan haqqu al-yaqin. Ranah ilmu al-yaqin adalah wilayah dimana sebuah pengetahuan diyakini kebenarannya sebatas sebagai sebuah pengetahuan, informasi. Boleh jadi hanya di dapatkan dalam ranah pembacaan terhadap informasi tersebut melalui buku, media elektronik dan berbagai sumber pengetahuan lain. Sementara ranah ainu al-yaqin menuntut adanya sebuah pembuktian, tidak hanya sekedar informasi yang di dapat dari membaca, atau sekedar mendengar, akan tetapi melihat dan mampu dibuktikan secara nyata. Ibarat seorang yang mendengar informasi bahwa gula itu manis, ilmu al-yaqin, hanya sebatas mendengar dan mengetahui informasi tentang manisnya gula sementara ia belum juga memahami dan mengetahui bentuk gula itu. Sementara ranah ainu al-yaqin menuntut adanya pengetahuan tentang bentuk dari gula itu.

Adapun yang terakhir ranah haqqu al-yaqin, disamping adanya pengetahuan tentang informasi dan bentuk gula, ditambah lagi dengan merasakan. Merasakan gula manis, karena saat seorang mengatakan “gula manis”, ia sedang merasakan “manisnya gula” di dalam mulutnya. Begitu juga puncak dari pengetahuan adalah merasakannya hingga ia menyadari betul akan kelemahan dan keterbatasan yang ada pada dirinya sehingga menjadikannya tertunduk di hadapan Rab-nya. Menjadi pribadi tawadlu’, rendah hati dan tidak menyombongkan apa yang ada pada dirinya. Karena dia sadar sesadar-sadarnya, bahwa segala apa yang dimilikinya dan semua kemampuan yang ada pada dirinya adalah berasal dari pemberian-Nya semata.


Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam....

Komentar