Tertatih dan Bangkit Lagi

Tertatih dan Bangkit Lagi

Tidak ada yang instan di dunia ini. Semua membutuhkan proses. Tidak mudah menjalani proses, tetapi bukan berarti tidak bisa. Hanya satu yang diperlukan, kemampuan bertahan dalam menjalani proses tersebut.

Menekuni dunia literasi bukanlah hal mudah. Diperlukan keseriusan dan ketelatenan. Menjaga semangat agar tetap terjaga adalah hal penting yang mesti terus diupayakan. Hambatan dan rintangan, pasti ada. Persoalan sesungguhnya bukan terletak pada persoalan itu sendiri, melainkan ketidak mampuan dalam menemukan solusi yang tepat dalam mengatasi persoalan tersebut.


Kebanyakan orang hanya melihat karya seseorang yang telah jadi dan bisa dinikmati. Mereka sering menganggap hal itu seolah hal mudah. Namun, sesungguhnya untuk menghasilkan sebuah karya bukanlah hal mudah. Ada kalanya ide itu muncul dengan sendirinya, mengalir bak air yang deras. Tetapi, tidak jarang juga yang mengalami kebuntuan dan pada akhirnya berhenti pada satu titik, “mandeg tanpa karya”.

Ya, begitulah menggeluti sebuah profesi. Kegagalan demi kegagalan adalah hal wajar yang turut serta mewarnai setiap proses yang sedang digeluti. Menyerah pada satu kegagalan, sama artinya dengan menutup dan mengunci rapat, pintu menuju kesuksesan. Bila itu yang terjadi, jangan pernah bermimpi meraih kesuksesan di kemudian hari.

Kesuksesan itu hasil dari kerja keras. Jatuh, bangun dan bangkit lagi. Tertatih melangkah setahap demi setahap. Cacian dan makian, mungkin akan turut serta mewarnai proses kebangkitan dan ketertatihan itu. Tapi, tidak mengapa. Bagi seorang pejuang, cacian dan makian itu justru menjadi pemicu semangatnya untuk bangkit. Menatap masa depan dengan semangat baru yang lebih menyala. Bukan sebaliknya, semakin meratapi diri dan berlarut dalam keterpurukan.

Membaca adalah gizi bagi penulis. Begitulah tutur penulis senior, Dr. Ngainun Naim. Bagi seorang penulis, membaca memang suatu keharusan. Tanpa membaca, progresifitas tulisan akan terasa lamban. Tetapi, tidak apa – apa, menurut saya, daripada tidak sama sekali. Meski lamban, tetapi terus bergerak. Lama – lama juga akan meningkat seiring perjalanan waktu.

Setiap orang memiliki kesibukan. Tidak ada orang yang tidak sibuk. Hal yang perlu disadari, setiap orang memiliki kesempatan yang sama. Waktu yang diberikan Tuhan kepada manusia, sama, dua puluh empat jam dalam sehari semalam. Waktu yang cukup panjang, bagi mereka yang menggunakannya sekedar untuk menunggu. Namun, terasa cepat bagi mereka yang memanfaatkannya secara maksimal.

Lama dan tidak, sesungguhnya hanyalah persoalan persepsi. Hakikatnya sama antara yang satu dengan yang lain. Bagi mereka yang mampu memanfaatkan dengan baik, waktu itu akan bermanfaat dan menghasilkan hal positif dalam kehidupannya. Sebaliknya, bagi mereka yang hanya menghabiskan waktunya untuk bersenda gurau dan melakukan hal kurang bermanfaat, yang didapatkan hanyalah kesia – siaan dalam hidup.

Peribahasa Arab mengatakan, “Waktu bagaikan pedang, jika engkau tidak mampu menggunakannya, maka ia akan menebasmu”. Peribahasa ini kiranya tidak berlebihan. Banyak orang yang memiliki kesempatan melakukan hal terbaik dalam hidupnya, namun mereka tidak menggunakannya dengan baik. Akibatnya, hanya penyesalan yang didapatkan.

Bila melihat mereka yang telah sukses menapaki dunia literasi, timbul rasa iri yang mendalam. Mereka bisa meluangkan waktunya untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi semua orang. Bahkan saat jasad mereka sudah berada di dalam tanah, karya mereka tetap saja bisa dinikmati oleh generasi sesudahnya.

Saat kebuntuan ide menyelimuti ada baiknya bersinggungan dengan mereka yang menekuni bidang yang sama. Belajar dari mereka dan terus mengamati. Paling tidak melalui update status mereka lewat facebook, atau media lainnya. Hal ini cukup membantu dalam membangkitkan semangat untuk kembali menumbuhkan semangat. Semoga segera pulih dari keterpurukan.

Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...


Komentar