Getirnya Perjuangan
Dalam
riwayat Ibnu Ishaq disebutkan, “Pada siang hari, ketika matahari panas
menyengat, Umayah membawa Bilal keluar. Kemudian di tanah Makkah yang
berkerikil dia ditelentangkan, lalu Umayah berkata, ‘Letakkan batu di atas
dadanya!’ Maka sebuah batu besar diletakkan di atas dadanya. Umayah berkata
kepada Bilal, ‘Kamu akan terus seperti ini sehingga kamu mati atau tinggalkan
ajaran Muhammad dan kembali menyembah Latta dan Uzza!’ Walaupun Bilal mendapat
penyiksaan seberat itu, dia hanya mengucapkan, Ahad, Ahad, Ahad, Allah hanyalah
satu’!” (Syaikh Muhammad Yusuf Rah.A., Kisah Teladan Sepanjang Zaman, 2008).
Sepenggal
kisah di atas menceritakan betapa perjuangan mempertahankan keimanan itu,
sangatlah berat. Ada banyak hal yang perlu dikorbankan untuk mempertahankan
sebuah keyakinan. Saat Bilal dipaksa untuk meninggalkan ajaran Nabi Muhammad
SAW yang teramat dicintainya, ia rela tubuhnya disiksa, ditindih batu besar, di
tengah gurun pasir jazirah Arab yang panas membakar. Keyakinannya pada Allah
SWT telah menjadikannya sosok kuat, perkasa yang tidak bisa dikalahkan dengan
beragam siksaan model apapun.
Kisah
ini memberikan teladan bagi seorang yang ingin meraih impian hidupnya agar
berani menghadapi berbagai rintangan dan hambatan. Perjuangan itu pahit, dan
getir rasanya. Tidak banyak orang yang sanggup untuk meraihnya. Hanya orang
yang memiliki keyakinan kuat dalam dirinyalah yang sanggup melalui semua
rintangan itu, hingga sampai pada puncak menara tujuan yang dicita-citakannya.
Bila
Bilal ibnu Rabah seorang di antara sekian sahabat dekat Rasul Muhammad SAW
berani mempertahankan keimananya dengan perjuangan yang sedemikian rupa. Puncaknya,
ia menjadi seorang sahabat dekat Rasul, yang bahkan diangkat sebagai muadzin
Rasul. Satu kedudukan istimewa di sisi Rasul Muhammad SAW, demikian halnya di
zaman sekarang ini. Allah tidak pernah berbuat dlalim pada hamba-Nya.
Apa yang
kita dapat, selalu berbanding lurus dengan usaha yang kita lakukan. Seorang yang
menginginkan hasil maksimal, sudah barang tentu harus melakukan kerja maksimal,
demi meraih impian yang diharapkan. Bila seseorang tidak bersungguh-sungguh dalam
menjalani sebuah proses, maka jangan pernah bermimpi mendapatkan hasil
maksimal. Jika tidak berani merasakan getir pahitnya perjuangan, maka jangan
pernah berharap merasakan bahagianya kesuksesan.
Bukankah
hanya mereka yang berpuasa, yang mampu merasakan betapa nikmatnya berbuka. Hanya
mereka yang sakit, yang merasakan nikmatnya kesehatan, begitu seterusnya. Sunnatullah
akan terus berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada seorangpun yang mampu
menolaknya.
Setiap
orang memiliki kelebihan dan keunikan dalam dirinya. Tidak ada seorang pun yang
benar-benar sempurna, lebih dari yang lain. Sebaliknya, tidak seorang pun yang benar-benar
lebih buruk dari yang lain. Seorang lebih baik dari orang lain dalam satu hal. Tetapi
lebih buruk dari yang lain, dalam persoalan yang berbeda. Itulah bentuk
keragaman yang telah diciptakan sebagai kodrat yang tidak bisa diabaikan oleh
siapapun.
Jangan
pernah membatasi kemampuan diri. Menganggap bahwa diri hina dan lebih buruk
dari yang lain. Ya, boleh jadi memang lebih buruk dari yang lain. Tetapi kesadaran
akan ‘keburukan’ yang ada pada diri, seyogjanya mampu menjadi pemicu
semangat untuk berusaha memperbaiki dan bukan malah mengamini, dan semakin
menenggelamkan diri dalam ‘keterpurukan’.
Kunci
dari keberhasilan seseorang sesungguhnya terletak pada ‘keyakinan’ nya.
Keyakinan bahwa ia mampu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keyakinan bahwa ia
mampu sejajar dengan yang lain. Kehilangan ‘keyakinan’ sama artinya
dengan kehilangan ‘harapan’. Dengan kata lain, mereka yang tidak ‘yakin’
pada kemampuan yang ada pada dirinya, sama dengan seorang yang berputus asa. Jika
demikian adanya, sudah bisa dipastikan, kehidupannya akan semakin terpuruk,
terpuruk dan terpuruk.
Saat
Bilal berada dalam titik keterpurukannya di mata manusia, menjadi seorang budak
yang sedang direndahkan mentalnya, dan diteror fisiknya. Keyakinannya pada satu
Dzat, Allah SWT telah menjadikannya sebagai sosok yang tak terkalahkan. Boleh saja
Umayyah menguasai badan wadagnya, menteror fisiknya, tetapi tetap saja, Bilal
berada dalam kemerdekaan jiwanya. Ia bahagia dengan ‘Rab’ nya,
kebahagiaan jiwanya mengalahkan rasa sakit yang mendera fisiknya.
Begitu
pula seorang pejuang yang sedang berjuang untuk meraih mimpinya. Jatuh bangun
sebagai seni dalam perjuangan, pahit dan getirnya tidak akan mampu meruntuhkan
semangat kemerdekaan yang ada dalam jiwanya untuk tetap bangkit dan bergerak
melawan dan menyingkirkan semua hambatan dan rintangan itu. Tertatih,
sempoyongan, perlahan, namun pasti langkahnya semakin tegak, mantap, menatap
masa depan cerah di hadapannya.
Menulispun
sebuah perjuangan. Siapa bilang menulis itu mudah? Mengkritik mudah, tetapi
melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan penulis? Tentu tidak akan
sama. Para penulis sukses selalu memberi semangat bagi para pemula, meski
mereka tahu, tulisan juniornya ‘belepotan’, meski demikian mereka tetap
memuji, menyemangati. Mereka lebih mengedepankan pujian daripada cemoohan. Satu
hal yang luar biasa -menurut saya.
Salah
satu cara menebar manfaat yang abadi di bumi, -menurut saya, adalah dengan
menulis. Ya, menulis salah satu cara menebar manfaat yang bisa dibilang abadi. Meski
jasad telah terbaring di perut bumi, namun tulisan itu masih tetap abadi dan
dibaca oleh penduduk bumi. Apalagi di era digital seperti saat ini. Tidak harus
menjadi penulis buku, penulis dalam akun medsos pun mungkin akan dikenang
sepanjang masa. Terhenyak, saya, saat membaca sebuah artikel yang ditulis pemilik akun bernama “Nina Kayla”,
penulis muda, cerpenis bertalenta luar biasa.
“Bila suatu
hari aku tiada, apa yang akan kau kenang tentangku?
Bila suatu saat
aku tiada, berapa banyak yang akan mengikuti jejakku? Jejak baikkah? Atau jejak
langkah burukku?
Bila suatu hari
aku terbaring di perut bumi, media sosialku masih bisa diakses banyak
orang, bagaimana bila mereka membaca
status burukku di facebook? Bagaimana bila mereka melihat foto-fotoku yang tak
menutup aurat dengan baik di instagram? Bagaimana bila mereka termakan emosi
buruk yang tertulis dalam postinganku?”
Sederhana,
namun sangat mengena. Ya, benar. Saat utusan Allah datang pada kita, sangat
mungkin kita belum sempat menghapus status yang ada di berbagai medsos yang selama ini kita
pakai. Karena itu sesungguhnya pesan lain yang bisa diambil dari baris-baris
tulisan tersebut adalah pesan bagi para pembaca untuk menulis, karena menulis
menjadikan seseorang abadi. Abadi dalam tulisan. Menulis hal yang bermanfaat
sama artinya dengan menebarkan manfaat abadi di bumi tempat yang kita diami. Berjuanglah,
abaikan getir prosesnya, bayangkan manis yang akan anda rasakan.
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar