BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Agama Islam awal mulanya disebarkan ke tanah Jawa
oleh para wali dengan metode tasawuf.[1]
Metode ini sangatlah sesuai dengan substansi Islam sebagai agama yang
mengedepankan hati khususnya dalam upaya menemukan dan memaknai hakikat hal-hal
yang bersifat gaib. Salah satu ajaran Islam paling inti, dan hanya bisa dicapai
melalui olah hati (qalb) adalah mengenal hakikat ketuhanan.
Upaya mengenal Tuhan berarti mencoba mengetahui diri
manusia dalam hal kedudukan dan tugasnya. Logika sederhananya, kursi akan
selalu mengikuti kemauan pembuat dan pemiliknya. Maka selama manusia senantiasa
mau menggali apa sebenarnya “keinginan” Tuhan ketika menciptakannya ke muka
bumi, sejatinya ia akan selalu berada di jalan yang benar dalam menempuh
kehidupan ini.
Tapi bila persoalan olah hati untuk mengenal Tuhan
dibenturkan dengan masyarakat di era sekarang, maka hal itu akan menjadi tabu.
Teknologi informasi yang berkembang pesat sedikit banyak memaksa individu untuk
selalu berpikir logis-empiris. Kemajuan teknologi yang dicapai melalui
penelitian ilmiah, menduduki peringkat atas sebagai bagian penting dari setiap
aktifitas manusia.
Perkembangan yang positif di berbagai bidang saat
ini, ternyata menghasilkan masalah yang
berarti. Salah satunya adalah realita amoral yang semakin marak terjadi. Kasus
tersebut sering kita saksikan bersama, mulai dari kasus besar seperti korupsi,
hingga yang sederhana, seperti melakukan kecurangan saat ulangan. Ada indikasi
kuat bahwa kondisi yang demikian parah disebabkan pergeseran fokus manusia yang
semakin menjauh dari Penciptanya. Jika benar demikian, hal itu sangatlah
menyalahi kodrat dari makhluk (tercipta) terhadap Khalik (pencipta).
Atas dasar itulah, pembahasan mengenai ilmu mengenal
Tuhan, yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai ilmu ma’rifat sangat diperlukan.
Meski sampai kapanpun tidak akan ada makhluk yang mampu mengenal Khaliqnya
secara sempurna, akan tetapi kajian yang mendalam mengenai ilmu ini akan
mengantarkan kita untuk semakin “dekat” dengan-Nya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.
Apakah
pengertian Ma’rifah?
2.
Apa
tujuan Ma’rifah?
3.
Apa
kedudukan Ilmu Ma’rifah?
4.
Siapa
saja tokoh Ilmu Ma’rifah?
5.
Apa
ciri-ciri ahli Ma’rifah?
C.
TUJUAN PEMBAHASAN
Pembahasan dalam makalah ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui
pengertian Ma’rifah,
2.
Memahami
tujuan Ma’rifah,
3.
Memahami
kedudukan Ilmu Ma’rifah,
4.
Mengetahui
tokoh-tokoh Ilmu Ma’rifah, dan
5.
Mengetahui
ciri-ciri ahli Ma’rifah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MA’RIFAH
Kata
ma’rifah berasal dari kata “Al-Ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau mengenal
sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawuf maka istilah
ma’rifah disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam
tasawuf.[2]
Dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama yaitu ilmu yang
lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.
Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, tetapi lebih mendalam terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya.
Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan, dan hakikat itu satu dan segala maujud itu satu.[3]
Definisi
ma’rifah menurut beberapa ahli tasawuf, diantaranya sebagai berikut:
1.
Dr.
Mustofa Zahri mengemukakan salah satu pendapat ulama Tasawuf yang mengatakan
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ الْقَلْبِ بِوُجُوْدِ الْوَاجِبِ
الْمَوُجُوْدِ مُتَّصِفًا بِسَا ئِرِ الْكَلِمَا تِ
Artinya: “Ma’rifah adalah
ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah)
yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”
2.
Asy-Syekh
Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadhiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy
yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ
طُلُوْعُ الْحَقِّ , وَهُوَ الْقَلْبِ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya : “Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah
(pada sufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”.
3.
Imam
Al-Qusyairiy mengemukakan pendapat Abdurrahman bin Muhammad bin Abdillah yang
mengatakan:
الْمَعْرِفَةُ
يُوْجَبُ الْسَّكِيْنَةُ فِى الْقَلْبِ كَمَا اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ الْسُّكُوْنُ
, فَمَنِ ازْدَادَتْ
مَعْرِفَتُهُ
اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
”Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati,
sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang
siapa yang meningkat ma’rifatnya maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”[4]
4.
Harun
Nasution, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari
dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang sufi mengatakan:
a. Kalau mata yang terdapat dalam hati
sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang
dilihatnya hanyalah Allah.
b. Ma’rifah adalah cermin, kalau orang arif
melihat kecermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
c. Yang dilihat orang arif baik sewaktu
tidur maupun bangun hanyalah Allah.
d. Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk
materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat
kecantikan serta keindahannya dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping
cahaya keindahan yang gilang gemilang.[5]
5.
Abu
Nasr al- Sarraj al- Tusi didalam kitabnya Al- Luma’ mengatakan bahwa ma’rifah
itu merupakan pengenalan hati terdapat obyek-obyek yang menjadi sasarannya.[6]
6.
Al-
Junaid ketika ditanya tentang arti ma’rifah mengatakan: ma’rifah adalah
hadirnya hati diantara pernyataan kebesaran Tuhan yang tak bisa dipahami dan
pernyataan kehebatan-Nya yang tak bisa diutarakan. Pada saat yang lain, ketika
dia ditanya tentang pertanyaan yang sama mengatakan ma’rifah berarti mengetahui
bahwa apapun yang engkau bayangkan dalam hatimu, Tuhan merupakan kebalikannya.[7]
B.
TUJUAN MA’RIFAH
Faham Ma’rifah:
Ada
segolongan sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka
mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
1. Kalau mata yang ada dalam sanubari manusia
terbuka, maka mata kepalanya tertutup dan waktu inilah yang dilihat hanyalah
Allah.
2. Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang
yang arif melihat kearah cermin maka apa yang dilihatnya hanya Allah.
3. Orang arif baik diwaktu tidur dan bangun
yang dilihat hanyalah Allah SWT.
4. Seandainya ma’rifah itu materi, maka
semua orang yang melihat akan mati karena melihat kecantikan serta
keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan
yang gilang gumilang.
Menurut
Zunnun Al- Misrilah (bapak paham Ma’rifah) bahwa pengetahuan tentang Tuhan ada
tiga macam:
a. Pengetahuan awam, memberi penjelasan
bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan Syahadat.
b. Pengetahuan ulama, memberi penjelasan
bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
c. Pengetahuan sufi, memberi penjelasan
bahwa Tuhan satu dengan perantara hati sanubari.
Bahwa
pengetahuan awam dan ulama diatas belum dapat memberikan pengetahuan hakiki
tentang Tuhan. Sehingga kedua pengetahuan baru disebut “Ilmu” belum dapat
dikatakan sebagai “Ma’rifah”. Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifah
adalah pengetahuan sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifah). Sehingga
ma’rifah hanya dapat diperoleh pada kaum sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan
dengan cara melalui hati sanubarinya. Disamping juga mereka didalam hatinya
penuh dengan cahaya.[8]
Dengan
mata yang telah dipenuhi oleh ma’rifat, para sufi akan mampu menatap penyaksian
itu dan memandangnya dengan asyik terpesona dalam penyatuan dengan Yang Suci.
Itulah tujuan akhir dari pencarian atau pengembaraan jiwa, akhir dari jalur
tercapai sudah tidak dengan penghancuran
tetapi kekhusyukan dan perubahan sehingga jiwa akan diubah kedalam penyaksian
suci dan menjadi bagian dari Allah itu sendiri, di dalam tempat dan kehidupan
bersama-Nya untuk selamanya.
Sebagaimana
Suso, mistikus Kristen menggambarkannya lewat karyanya “Book of Truth”
Tahap
tertinggi kesatuan ini tak bisa dibayangkan oleh pengalaman, dimana seluruh ide
dari imajinasi dan bentuk, serta berbagai ragam semuanya musnah. Seluruh
kesadaran jiwa dan benda-benda berlalu tanpa arti. Sementara jiwa tersebut
dalam jurang kedalaman Ilahi, dan ruh menyatu dalam Tuhan... pada tahap
tertinggi ini Tuhan adalah esensi yang terdalam, kehidupan dan gerak
bersama-Nya, siapapun tak lebih dari bayangan-Nya... Laksana keberadaan yang
hilang dalam mabuk keterbayangan ruh menemukan dirinya, menuju kepada Tuhan,
dan menyatu dengan-Nya, seperti setetes air yang tercampur dalam sebuah wadah
anggur. Ibarat setetes air yang bercampur dalam rasa dan warna anggur, dan
disanalah ia meraih kebahagiaan penuh, dimana kerinduan manusia meliputi mereka
tak lama, karena jiwa dibebaskan oleh Kehendak Ilahi, lebur dengan kehendak-Nya
dan menyatu dengan-Nya.[9]
Dari
beberapa definisi tersebut bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan dengan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh
ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.[10]
Pada prinsipnya dalam ilmu tasawuf yang
dimaksud dengan ma’rifah ialah mengenal Allah. Dan ini merupakan “tujuan utama“
dalam ilmu tasawuf yakni mengenal Allah dengan sebenarnya. Dalam hubungan ini
Allah berfirman:”sesungguhnya Aku ini
adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat
untuk mengingat Aku." (QS. 20:14).[11]
Sesungguhnya
yang diharapkan sufi dari ma’rifah kepada Allah itu adalah hidup ikhlas atas
ridla Allah tanpa ada pamrih yang mengakibatkan jiwanya berada jauh dari Allah
SWT. Padahal hidup ini hanyalah untuk mengabdi kepada Allah dan ikhlas karena
Allah. Allah SWT, berfirman : “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan upaya mereka menyembah-Ku (QS. 51:
56).”
Dengan
demikian, ma’rifah itu dapat dicapai dengan melalui syariah, menempuh thariqoh
dan memperoleh haqiqoh. Apabila syari’ah dan thariqoh itu sudah dapat dikuasai
maka timbullah haqiqoh yang tidak lain daripada perbaikan keadaan (ahwal)
sedangkan tujuan terakhir yaitu mengenal Allah dan mencintai-Nya dengan
sesungguhnya.[12]
C.
KEDUDUKAN MA’RIFAH
Sebagaimana
halnya dengan mahabbah ma’rifah ini terkadang dipandang maqam dan terkadang
dipandang sebagai hal. Dalam literatur Barat, ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis. Dalam pandangan Al-Junaid (w.
381 H), ma’rifah dianngap sebagai hal, sedangkan dalam Risalah Qusyairiyah ma’rifah
dianggap sebagai maqam. Sementara Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin memandang ma’rifah
datang sebelum mahabbah.
Sedangkan
Al-Khalabazi menjelaskan bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah, selanjutnya
ada pula yang mengatakan bahwa ma’rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang
selalu disebut bebarengan. Kedua menggambarkan dekatnya hubungan seseorang sufi
dengan Tuhan. Dengan kata lain, mahabbah dan ma’rifah menggambarkan dua aspek
dari hubungan erat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan. Dengan demikian,
kelihatannya yang lebih dapat dipahami bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah
sebagaimana dikemukakan Al-Khalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih
mengacu kepada pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.[13]
D.
SEKILAS TOKOH MA’RIFAH
Dalam
literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini
yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Namun, pada makalah ini hanya
membahas tentang Zun al-Nun al-Misri.
Adapun
Zun al-Nun al-Misri berasal dari Naubah suatu negeri yang terletak di Sudan dan
Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui hanya tahun wafatnya yaitu 860
M. Menurut Hamka beliaulah puncaknya kaum sufi pada abad ketiga Hijriah. Beliau
yang banyak sekali menambahkan jalan menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan,
membenci yang sedikit menuruti garis perintah yang dinurunkan dan takut
terpaling dari jalan yang benar. Mengenai bukti bahwa Zun al-Nun al-Misri
membawa paham ma’rifah dapat diikuti dari pendapat-pendapatnya. Adapun ma’rifah
yang diajukan oleh Zun al-Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Menurutnya ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan
dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan
kepada kaum sufi. Ma’rifah dimasukkan Tuhan kedalam hati seorang sufi sehingga
hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Zun al-Nun al-Misri ditanya bagaimana ia
memperoleh ma’rifah tentang Tuhan, ia menjawab:
عَرَفْتُ رَبِّيْ بِرَبِّيْ وَلَوْلَا
رَبِّيْ لَمَا عَرَفْتُ رَبِّيْ
Artinya:
Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan
tahu Tuhan.
Ungkapan
tersebut menunjukkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi
pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung
kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi
yang sanggup menerimanya.pemberian tersebut tercapai setelah seorang sufi lebih
dahulu menunjukkan kerajinan, kepatuhan, dan ketaatan mengabdikan diri sebagai
hamba Allah dalam beramal secara lahiriah sebagai pengabdian yang dikerjakan
oleh tubuh untuk beribadah. Para sufi yang telah mencapai tingkat ma’rifah ini
memiliki perasaan spiritual dan kejiwaan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
E.
CIRI AHLI MA’RIFAH
Imam
Syathibi dalam kitabnya Iqazd al-Himmah telah menyebutkan ciri-ciri mendapatkan
ma’rifah yaitu orang yang hatinya terang bagaikan cermin yang dapat terlihat di
dalamnya hal-hal yang ghaib daripada selainnya Dia, dan sinar hatinya tiada
lain kecuali cahaya iman dan cahaya yakin. Maka atas sekadar kekuatan imannya,
maka bersinarlah nur hatinya. Dan atas kadar kekuatan imannya, hatinya bisa
berdialog dengan Tuhan dan atas kadar kekuatan musyahadah maka dapatlah ia
berma’rifah dengan nama-nama Allah, sifat-sifat Allah. Dan atas kadar kekuatan ma’rifatullah dengan keduanya itu
makadapatlah ia mencapai ma’rifah dzat Allah Yang Maha Agung.[14]
F.
MA’RIFAH DALAM PANDANGAN MENURUT AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
Ma’rifah
adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada
hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan kedalam hati
seorang sufi. Dengan demikian ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan).
Didalam Al- Qur’an dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan
sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan. Misalnya ayat yang berbunyi,
وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ
نُوْرًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرٍ (QS. An-Nur: 40)
Artinya:
“Dan barang siapa yang diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia
mempunyai cahaya sedikitpun.”
اَ
فَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلْاِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُوْرٍ مِنْ رَّبِّهِ (QS.
Az- Zumar: 22)
Artinya:
“ Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama
Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membantu hatinya )”.
Dua
ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut
ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang
mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup,
sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan
hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya.
Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam dan
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Selanjutnya
di dalam hadits kita jumpai sabda Rosul yang berbunyi:
كُنْتُ خَزِيْنَةً خَا فِيَةً اَحْبَبْتُ
اَنْ اُعْرِفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَفُوْنِيْ
Artinya:
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka Aku cipt kanlah makhluk. Oleh karena itu, Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku.” (Hadits
Qudsi).
Hadits
tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal
oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini
menunjukkan bahwa ma’rifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan agama
Islam.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kata
ma’rifah berasal dari kata “”Al-Ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawuf maka
istilah ma’rifah disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam
dalam tasawuf.
Dari
beberapa definisi para pakar bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan dengan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh
ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Dalam
literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini
yaitu Al-Junaid, Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Dalam pandangan Al-Junaid
(w. 381 H), ma’rifah dianngap sebagai hal, sedangkan dalam Risalah Qusyairiyah
ma’rifah dianggap sebagai maqam. Sementara Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin memandang ma’rifah
datang sebelum mahabbah.
Imam
Syathibi dalam kitabnya Iqazd al-Himmah telah menyebutkan ciri-ciri mendapatkan
ma’rifah yaitu orang yang hatinya terang bagaikan cermin yang dapat terlihat di
dalamnya hal-hal yang ghaib daripada selainnya dia, dan sinar hatinya tiada
lain kecuali cahaya iman dan cahaya yakin. Maka atas sekadar kekuatan imannya,
maka bersinarlah nur hatinya. Dan atas kadar kekuatan imannya, hatinya bisa
berdialog dengan Tuhan dan atas kadar kekuatan musyahadah maka dapatlah ia
berma’rifah dengan nama-nama Allah, sifat-sifat Allah. Dan atas kadar kekuatan ma’rifatullah dengan keduanya itu
makadapatlah ia mencapai ma’rifah dzat Allah Yang Maha Agung.
Ma’rifah
adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada
hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan kedalam hati
seorang sufi. Dengan demikian ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan).
Di dalam Al- Qur’an dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan
sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.
Dua
ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut
ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang
mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup,
sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan
hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya.
Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam dan
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Selanjutnya
di dalam hadits kita jumpai sabda Rosul yang berbunyi:
كُنْتُ خَزِيْنَةً خَا فِيَةً
اَحْبَبْتُ اَنْ اُعْرِفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ
فَعَرَفُوْنِيْ
Artinya:
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu, Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku.” (Hadits
Qudsi).
Hadits
tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal
oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini
menunjukkan bahwa ma’rifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan agama
Islam.
B.
SARAN
Saran dari penyusun terutama ditujukan bagi
orang-orang yang hendak mempelajari ilmu ketuhanan secara mendalam. Dalam
keinginan yang baik tersebut, tentunya modal kuat harus dimiliki. Modal
tersebut tidak lain mental yang kuat dan konsistensi menjalankan perintah Tuhan
dan menjauhi larangan-Nya.
[1] Agus Wahyudi, Rahasia
Kesempurnaan Makrifat Para Wali Jawa, (Sleman: Lingkaran, 2009), hal. 78
[2] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia,
1997), hal. 251
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2011), hal. 219-220
[4] Mustofa, Akhlak..., hal. 251-252
[5] Nata, Akhlak..., 220
[6] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002), hal. 104
[7] Ibid., hal. 105
[8] Mustofa, Akhlak..., h. 254
[9] Margaret Smith, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 123-124
[10] Nata, Akhlak..., 221
[11] Asmaran, Pengantar ..., hal.
106
[12] Ibid., hal. 107
[13] Nata, Akhlak...,hal. 221
[14] Nata, Akhlak..., hal. 228-229
[15] Abuddin nata, Akhlak..., hal.
229-230
Komentar
Posting Komentar