Tanggapan KH. Djazuli Yusuf Terhadap Surat KH. Mahrus Ali





            Dengan hormat perkenankan dengan surat ini saya sampaikan  kehadapan Bapak, untuk maksud sebagai ganti shilatur rohmi pribadi saya kepada Bapak. Sehubungan beberapa waktu yang lalu tepatnya tanggal 21 April 1985 saya telah menerima kiriman selembar foto copy surat yang berkop “PENGASUH PONDOK PESANTREN LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR” yang di sudut bawah sebelah kanan tertulis dengan huruf cetak “KH. Mahrus Ali” dan pada sudut kanan atas tertulis “28 Desember 1984”, surat ini saya terima dari salah seorang teman warga NU di Jawa Tengah yang ketepatan sebagai pengamal Sholawat Wahidiyah. Dan saudara tersebut meminta kepada saya supaya mau menanggapi isi foto copy surat yang dikirimkan itu dan selanjutnya supaya disampaikan kepada Bapak KH Mahrus Ali sesuai dengan bunyi kop surat dan tulisan cetak seperti saya sebut di atas.
            Setelah saya pelajari foto copy surat tersebut isinya memang cukup mengejutkan saya yang ketepatan juga sebagai warga NU yang ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Bahkan kalau boleh saya katakan sangat menyinggung perasaan saya. Dan insya Allah juga perasaan warga NU di manapun yang ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Sebab di dalam foto copy surat itu pada pokoknya menyalahkan kepada amalan Sholawat Wahidiyah bahkan dikatakan bahwa bahwa ajarannya bertentangan dengan syari’at Islam dan lain sebagainya.
            Oleh karena itu saya merasa terpanggil untuk mengabulkan permintaan saudara tersebut di atas untuk menanggapi surat yang dimaksud demi menghindarkan keresahan umat Islam pada umumnya dan khususnya dikalangan warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Mengingat warga NU yang ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah tidak sedikit jumlahnya baik yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan bahkan yang di luar Jawa sekalipun.
            Sebagai kelanjutan surat saya ini perkenankan saya ingin memetik (menukil) beberapa kalimat yang pada foto copy surat yang saya disebut di atas dan langsung saya nukil dengan menggunkan bahasa Indonesia sekalipun aslinya bahasa Jawa.
Di dalam foto copy surat itu disebut-sebut sebagai berikut :
1.      “Bahwa Sholawat Wahidiyah itu dibuat-buat oleh KH Abdoel Madjid Ma’ruf sendiri dengan  tidak ada isnad minal adillah dan Ulama-ulama Kediri khususnya Ulama NU tidak ada yang  mengamalkan”.
Sebagai tanggapan saya dalam masalah tersebut :
a.       Sholawat Wahidiyah memang betul ta’lifan (disusun) oleh Beliau KH Abdoel Madjid Ma’ruf. Dan apabila yang dikehendaki oleh Bapak dengan dibuat-buat itu dengan maksud lain  sebagai meremehkan hasil karya seseorang, itu adalah hal yang tidak terpuji untuk dilakukan atau diucapkan oleh seorang Ulama besar seperti Bapak. Hal itu sama sekali tidak mendidik, bahkan menunjukkan berkecemuknya beberapa perasaan yang bertentangan dengan diri Bapak (hasud)
b.      Pada kalimat“tidak ada isnad minal adillah”…
Apabila yang Bapak Maksudkan dengan isnad minal adillah itu silsilah yang muttashil kepada Rosulullah SAW, maka saya perlu memberikan penjelasan kepada Bapak agar Bapak lebih memahami masalah tersebut; Bahwa Sholawat itu tidak perlu dan tidak disyaratkan adanya isnad minal adillah. Karena sanadnya langsung kepada Rosulullah Saw.hal itu sebagaimana tersebut di dalam Hasyiyah Showi ‘alal Djalalaini  juz III surat Al Ahzab sebagai berikut :
وَبِالجُمْلَةِ فَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْىِ وَسَلَّمَ تُوْصِلُ إِلَى اللهِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ لِأَنَّ الشَّيْخَ والسَّنَدَ فِيْها صَاحِبُهَا لِأَنَّهَا تُعْرَضُ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُوْصِلُ عَلَى المُصَلِّى بِخِلاَفِ غَيْرهَا مِنَ الأذْكَارِ فَلاَبُدَّ فَيْهَا مِنَ الشَّيْخِ العَارِفِ وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَّيْطَانُ فَلاَ يَنْتَفِعُ صَاحِبُهَا بِهَا. وَصِيَغُ الصَّلاةِ كَثِيْرٌ لاَتُحْصَى وَأَفْضَلُهَا مَا ذُكِرَ فَيْهَا لَفْظُ الآلِ وَالصَحْبِ فَمَنْ تَمَسَّكَ بِأَيِّ صِيْغَةٍ مِنْهَا حَصَلَ لَهُ الخَيْرُ العَظِيْمُ.
c.       Dan apabila yang Bapak maksudkan isnad minal adillah itu dasar dan qo’idah syar’iyah itu pun perlu saya berikan penjelasan; sebab semua Sholawat baik yang ma’tsuroh (Sholawat yang langsung diajarkan oleh Rosulullah SAW) maupun yang ghoiru ma’tsuroh (selain dari Rosulullah SAW) seperti yang disusun oleh para ulama As Sholihin seperti Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Badr, Sholawat Wahidiyah dan sebagainya. Isnad minal adillahnya langsung dari Al Qur’an dan Al Hadits seperti Firman Allah SWT dan sabda Rosulullah SAW tersebut dibawah ini :
قَالَ تَعَالَى : يَااَيُّهاالّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلَّمُوْا تَسْلِيْمًا (الأحزاب)
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا (رواه مسلم)
Atas dasar ayat Al Qur’an dan Al Hadits di atas, semua Sholawat dengan tidak terkecuali mempunyai kedudukan yang sama, sekalipun maziyah dan kegunaannya berlainan. Sebagaimana disebut dalam kitab Sa’datud Daroini halaman 373 sebagai berikut :
لِاَنَّ النّبِيِّ صَلَّى أَخْبَرَنَا بِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ ذَالِكَ فَاعِلُ مُطْلَقِ الصّلاَةِ وَلَمْ يُقَيِّدُ ذَالِكَ الإِسْتِحْقَاقِ بِكَوْنِ الصَّلاَةِ المَفْعُوْلَةِ هِىَ الصَّلاَةُ الَّتِى عَلَّمْنَا وَلَيْسَ مَعْنَى مُطْلَقِ الصَّلاَةِ المَذْكُوْرَةِ فِى الآيَةِ وَالأَحآدِيْثِ مُجْمَلاً حَتَّى يَتَوَقَّفُ عَلَى البَيَانِ. وَقَالَ بَعْدَمَا ذكر دلّ مَا تَقَدَّمَ عَلَى أَنَّ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَيِّ صِيْغَةٍ كَانَتْ مِنْ صيغ الصَّلاَةِ المَأْثُوْرَةِ أَوْ غَيْرهَا يَسْتَحَقُّ الأتى بِهَا الأجر المَوْعُوْد الوارِد فِى الأَحآدِيْثِ الصَّحِيْحَةِ
d.      Pada kalimat Ulama-ulama Kediri khususnya Ulama NU tidak ada yang mengamalkan”
Bapak hendaknya sadar, bahwa Kediri warga NU yang ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah tidak sedikit jumlahnya bisa juga sampai ribuan bahkan puluhan ribu. Apakah diantaranya sekian ribu itu tidak mungkin terdapat Ulamanya ?
Di samping itu Bapak perlu mengingat kembali tokoh dan Ulama  besar NU seperti beliau Al Mukarrom Bapak KH. Wahab Hasbullah dimana pada waktu diadakan peringatan hari ulang tahun Sholawat Wahidiyah yang pertama di Pondok Kedunglo Kodya Kediri, beliau dalam pidato sambutannya antara lain menyebutkan :قَبِلْتُ إِجَازَتَكَ  kepada bapak Al Mukarrom KH. Abdoel Madjid Ma’ruf. Berarti Belaiu menerima ijazah Sholawat Wahidiyah dari Al Mukarrom KH. Abdoel Madjid Ma’ruf dan beliau menyetujui Sholawat Wahidiyah dijadikan amalan disamping amalan-amalan yang lain. Perlu Bapak Ketahui juga bahwa Beliau Al Mukarrom Al Marhum KH.Jazuly Pengasuh Pondok Pesantren Ploso Mojo Kediri Jatim.Beliau juga menerima Sholawat Wahidiyah dan semasa hidupnya juga ikut mengamalkanSholawat Wahidiyah bahkan beliau menganjurkan kepada para santrinya untuk ikut mengamalkan bukankah beliau-beliau itu Ulama-Ulama NU.
2.      Disebut juga dalam foto copy surat tersebut di atas “bahwa di Pondok Pesantren Lirboyo para santri diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah sebab ajarannya bertentangan dengan syari’at yaitu KH.Abdoel Madjid Ma’ruf telah menanggung, barang siapa yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 41 hari ditanggung besuk hari Qiyamat masuk surga sampai anak keturunannya. Ini namanya ujub bil amal dan itu termasuk minal kabaair”.
Kalimat-kalimat di atas perlu saya berikan beberapa tanggapan :
a.       Pada kalimat “Ajarannya bertentangan dengan syari’at, yaitu KH. Abdoel Madjid Ma’ruf …… dst”.
Di sini Bapak menuduh seseorang dengan tanpa menunjukkan bukti. Dari mana Bapak dapatkan, sehingga Bapak berani berfatwa seperti itu ? Tuduhan kepada seseorang tanpa menunjukkan bukti adalah fitnah والفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ القَتْلِ . Hal yang demikian mestinya tidak boleh terjadi pada seorang muslim, lebih-lebih yang bertitel Ulama besar yang berpengaruh.
b.      Sedang ajaran Wahidiyah pada intinya adalah LILLAH dan BILLAH yang dimaksud adalah SYARI’AT dan HAKIKAT (periksa dalam lembaran Wahidiyah). Dan masalah ini bukan masalah baru dalam Islam. Sebab dalam  kitab Kifatul Atqiya’ halaman 9 sebagai berikut :
الشَّرِيْعَةُ وُجُوْدَ الأَفْعَالِ لِلَهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدَ الأَفْعَالِ بِاللهِ
Padahal orang yang beramal dengan tidak menerapkan LILLAH dan BILLAH terkecam dan amalnya tidak diterima di sisi Allah SWT. Hal ini sesuai denga keterangan dalam kitab Hikam Lil Ibni ‘Ibad Juz II sebagai berikut :
كُلُّ عَمَلٍ لاَ إِخْلاَصَ فِيْهِ لَيْسَ بِاللهِ وَلاَ لِلّهِ مَرْدُوْدٌ عَلَى صَاحِبِهِ وَمَضْرُوْبٌ بِهِ وجْهِهِ وَبِهذا يَتَبَيَّنَ لَكَ غُرُوْر اكْثرِ الخَلْقِ فَى عُلُوْمِهِمْ وَاَعْمَالِهِمْ إِلاَّ مَنْ رَحِمَهُ اللهُ
c.       Seterusnya Bapak menyebut-nyebut dengan kalimat “zaman  41 hari” …….
Dari sini menunjukkan bahwa Bapak belum pernah tahu Sholawat Wahidiyah. Sebab sepanjang yang saya ketahui selama + 21 tahun saya ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah, belum pernah saya menenui bilangan hari pengamalan 41 hari seperti yang Bapak sebut itu. Yang ada ialah 40 hari.Pada hal di dalam lembaran-lembaran Sholawat Wahidiyah yang berear di masyarakat luas bilangan itu tetap dicantumkan. Berarti Bapak hanya menerima berita kata orang (قِيْلَ وَقَالَ) . Sabda Rosulullah SAW sebagai berikut :
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ... وكره قيل وقال (رواه البخارى)
Tapi aneh sebelum Bapak mengetahui permasalahan secara detail, Bapak telah berani menjatuhkan fonis hukumnya, yaitu dengan kalimat “malah santri Lirboyo ……. Diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah.”. Padahal menurut Kitab Sullam Taufiq mengharamkan sesuatu yang tidak haram menjadi MURTAD. Bapak mengharamkan pengamalan Sholawat Wahidiyah seperti tersebut di atas, jelas tidak berdasar kepada data yang konkrit, yang bisa dipertanggung jawabkan dan dengan dasar dalil syar’I dan hujjah yang wadlihah. Semata-mata hanya dengan khobar qila waqola (قيل وقال)  dan ditunjang dengan rokyu Bapak. Alangkah bahayanya ?seperti disebut dalam Hadits berikut ini :
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَالَ فِى الدِّيْنِ بالرأي فَقَدْ اتهمنى. (رواه أبو نعيم عن جابر بن عبد الله) .قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَعْمَلُ هَذِهِ الأُمَّةَ بُرْهَنَةُ بِكِتَابِ اللهِ ثُمَّ تَعْمَلُ بِسُنَّةِرَسُوْلِ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَعْمَلُ بِالرَّأْيِ فَإِذَا عَمِلُوْا بِالرَّأْيِ فَقَدْ ضَّلُوْا وَأَضَلُّوْا (رواه أبو نعيم عن أبى هريرة)

3.      Selanjutnya dalam surat tersebut Bapak menuliskan dua buah Hadits untuk dasar bahwa Rosulullah SAW tidak bertanggung jawab kepada keluarganya, lebih-lebih selain Rosulullah SAW. baiklah disini untuk lebih jelasnya hadits itu saya tulis kembali :
وَفِى الحَدِيْثِ : لَنْ يجنى أحدكم عمله قَالُوْا وَلاَ أَنْتَ يَارَسُوْلُ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ تَغَمَّدَنَى اللهُ بِرَحْمَتِهِ . وَفِى الصَحِيْحَيْنِ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ أَنْزَلَ عَلَيْهِ وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الأَقْرَبِيْنَ. فَقَالَ يَامعشر قُرَيْشٍ اشْتَرَوْا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللهِ لاَأَغْنَى عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا يَا بَنِى عَبْدِ مَنَاف لاَأَغْنَى عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا يَاعَبَّاس عَمَّ رَسُوْلِ اللهِ لاَأَغْنَى عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا يَاصَفيَّة عَمَّة رَسُوْلِ اللهِ لاَأَغْنَى عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا يَافَاطِمَة بِنْت رَسُوْلِ اللهِ سَلِيْنِى من مالى ما شِئْتِ لاَأَغْنِى عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا (إرشاد العباد : 116)
Pengertian Bapakseperti tersebut diatas, perlu saya berikan tanggapan yaitu pada  Hadits yang pertama dan kedua adalah dasar untuk HAQIQOTUL AMRI, bukan seperti rokyu Bapak tersebut diatas. Adapun masalah syari’at atau lahiriyah seseorang tetap akan menerima balasan amalnya. Hal ini banyak disebutkan dalam Al Qur’an sebagai berikut :

فَمْنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَه وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَره (الزلزلة : 7-8)
إِنَّ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتُ النَّعِيْمِ (لقمان : 8)

Pada hadits kedua, kalau hanya sekedar kita baca leterleknya (lafadz-maknanya) seperti pemahaman Bapak itulah jadinya.Untuk itu marilah kita telaah kembali beberapa kitab yang mengupas makna hadits tersebut. Seperti di dalam Kitab Syawahidul Haq oleh Syaikh Yusuf Bin Ismail an Nabhani pada hal 496 beliau memberikan penjelasan sebagai berikut :

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلّ نَسَبٍ وَسَبَبٍ يَنْقَطِعُ يَوْمَ القِيَامَةِ إلاَّ نَسَبِى وَسَبَبِى (رواه بن عساكر عن ابن عمر وَقَدْ قَالَ تَعالَى (وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى) ولايرضيه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الا سعادة اقاربه الأَقْرب فالأقْرب وَإِنَّمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ "لاَأَغْنَى عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا" تَعْظِيْمًا لِجَانِبِ الحَقِّ تَعَالَى.

Dan di dalam Tafsir Syowi dijelaskan mengenai Hadits tersebut sebagai berikut :

وَأَمَّا مَا مَرَّ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِفَاطِمَةِ بِنْتِهِ أَنَا أَغْنِى عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا فَهُوْ تَحْذِيْرٌ لَهَا مِنَ الكُفْرِ الَّذِى بِهِ تَنْقَطِعُ الأَنْسَابُ (حاشية لصاوى على الجلالين ثالث, لقمان)

Pada dasarnya Rosulullah SAW tetap bertanggung jawab dan mensyafa’ati kepada umatnya, lebih-lebih kepada keluarganya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits sebagai berikut :

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : شَفَاعَتِى لأَهْلِ الكَبائرِ مِنْ أُمَّتِى (رواه احمد ونساء وابن حبان فى صحيحه والحاكم عن جابر)
Pengarangan Kitab Syawahidul Haq memberikan penjelasan dalam masalah tersebut sebagai berikut :

كَيْفَ وَهُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَعْطَى الشَّفَاعَةَ فِى سَائِر النَّاسِ فَيَشْفَعُ فِى الأَبْعَدِيْنَ وَيَتْرُكُ قرباءه المؤْمِنِيْنَ ؟ هَذا مِمَّا لاَيَكُوْنُ وَلاَيَتَصَوَّرُهُ عَاقِل (شواهد الحق ص 497)

Sedang selain Rosulullah SAW dapat mensyafa’ati kepada selainnya. Seperti tersebut dalam hadits di bawah ini :

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيَدْخُلُ الجَنَّةَ بِشَفَاعَةِ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى أَكْثَرُ مِنْ بَنِى تَمِيْم (رواه احمد ونسائى وابن حبان فى صحيحه والحاكم عن عبد الله )

Lebih-lebih Rosulullah SAW sebagai Sayyidul Anbiya’ wal mursalin wa Sayyidul kholqi ajma’in, apakah masih perlu diragukan syafa’at beliau ?na’udzubillahi min dzalik.
Untuk kalimat selanjtnya dalam foto copy itu saya tidak akan menanggapi,  sebab pada dasarnya hanya merupakan kaitan dari kesimpulan yang Bapak ambil dari beberapa keterangan di atas. Ketidak ketelitian Bapak dalam menganalisa sesuatu permasalahan dan kurang cermatnya Bapak dalam menerapkan dalil terjadilah kesimpulan yang tidak tepat itu.

Komentar