Bapak Pamit Mondok
Kecintaan bapak pada ilmu telah muncul semenjak kecil. Terbukti,
setiap kali nilainya kalah dengan yang lain, ada rasa kecewa dalam hatinya yang
kemudian memicunya untuk lebih keras lagi belajar sehingga mampu mengimbangi
bahkan melampaui.
Sebagaimana sebelumnya telah saya tulis, bahwa masyarakat di daerah
bapak tinggal waktu itu masih jauh dari pusat peradaban. Masyarakatnya masih
minus baik dalam hal pendidikan, terlebih masalah agama. Satu-satunya sekolah
pun yang terjangkau adalah milik saudara nashoro yang tentunya memiliki corak,
tipe dan karakteristik yang berbeda dengan pendidikan Islam.
Kecintaan pada nuansa agama juga telah muncul dalam diri bapak di usianya yang masih kecil, saat sekolah di jenjang SD. Jenjang sekolah formal yang melekat pada diri beliau hingga akhir hayatnya tiba. Ya, lulusan SD yang memiliki semangat membara yang mesti diikuti oleh anak cucunya di kemudian hari. Semangat belajar yang tak pernah luntur hingga nafas terakhir berpamitan kepadanya.
Semangat keagamaan bapak, nampaknya juga melekat pada dirinya
semenjak kecil. Terbukti, meski masih berusia kanak-kanak beliau merasa senang
dan bahagia ketika mendengar nama “Allah” disebut di dekatnya. Nama yang saat
itu masih belum begitu dikenal dan dipahaminya sebagai “Tuhan” pencipta seluruh
kehidupan.
Jauhnya jarak, tidak menjadi halangan dan hambatan baginya untuk
berjalan mencari ilmu. Meski harus menempuh jalanan yang sulit, berbatu, dan
terjal, tetap saja beliau lalui untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu agama,
mengaji di madrasah.
Singkat cerita, ketertarikan bapak pada ilmu dan ngaji mendorongnya
untuk matur kepada Si Mbah perihal keinginannya untuk ngaji di pondok. Tradisi yang
belum pernah ada sebelumnya di keluarga besar bapak.
Mendengar itu, bukannya mendapat sambutan baik, namun Si Mbah/putri
justru menangis, merasa berat melepas putranya. Hal itu juga dilakukan oleh
saudara-saudara Mbah. Bukan tanpa alasan tentunya, karena rasa saying dan berat
untuk berpisah dengan putranya.
Disamping itu, kehidupan perekonomian keluarga yang serba minim
kala itu menambah berat lagi untuk melepas kepergian putranya mondok. Terlebih saat
mendengar pilihannya mondok adalah di Jawa Timur. Entah mengapa, bapak tidak
menceritakan alasannya. Bahkan Jawa Timur mana yang dituju, daerahnya mana,
nama pondoknya apa, bapak juga belum tahu. Yang penting saat itu beliau ingin
mondok di Jawa Timur. Tempat yang jauh dari daerah di mana bapak tinggal. Apalagi,
bapak itu “sobone adoh pitik”, tidak jauh dari tempat di mana beiau
tinggal. Bahkan, bapak sempat bilang, sampai usianya tua, beliau belum pernah
tahu kota Semarang, kota di mana beliau tinggal di salah satu pojok wilayahnya.
Namun, kebulatan tekad bapak untuk mondok mendorongnya untuk
berargumentasi kepada Si Mbah, yang agaknya masih tetap ngotot untuk tidak
mengizinkan bapak mondok, karena memang kondisi ekonomi, dan tujuannya yang
tidak jelas ke mana. Bapak kemudian matur ke Si Mbah, “Wong kang Kus di
penjara mawon saget urip, mosok kulo mondok, gadah niatan sae mboten saget urip”.
Bapak cerita bahwa saudara tuanya Bapak Kuswo pernah dipenjara
gegara sekali pernah ikut “ngumpul-ngumpul” sama PKI. Namun, Alhamdulillah
beliau masih bisa pulang dengan selamat, meski banyak seangkatannya yang tidak
kembali. Pakde pernah ikut kumpulan hanya sekali, namun “naas”-nya, dia dicatat
sebagai anggota meskipun tidak pernah mendaftarkan diri sebagai anggota partai
tersebut.
Karena niatan bapak mondok yang kuat itulah, Si Mbah akhirnya
mengizinkan bapak untuk mondok di Jawa Timur. Dengan berbekal “Cengkir”,
kencenge piker bapak berangkat menuju ke Jawa Timur mengikuti seorang
tetangganya yang waktu itu juga merantau ke Jawa Timur. Singgahan pertamanya
adalah di sebuah Masjid di Wilayah Ringenrejo Kediri waktu itu, yakni perempatan
Desa Sambi ke Timur, tepatnya saya kurang tau. Namun, karena bapak tidak merasa
nyaman dengan pembelajaran dan situasinya, bapak lantas meninggalkan tempat itu
dan berjalan ke sebelah selatan timur hingga bertemu dengan satu pesantren
kecil (waktu itu) yang bernama “Mamba’ul Ulum” di wilayah Sempu Desa Sukorejo
Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar.
Kebulatan tekad memang menjadi modal utama bagi siapa saja yang
ingin menggapai cita-citanya. Entah itu cita-cita di kehidupan dunianya ataupun
cita-cita di kehidupan kekal akhirat. Semua membutuhkan tekad agar seberapapun
badai besar menerpa, layar yang dibentangkan tidak lagi bisa dihempaskan.
Cerita bapak, berpamitan kepada Si Mbah untuk berangkat mondok ke
Jawa Timur, tempat yang belum sekalipun pernah diinjaknya, belum pernah
diketahui daerah mana yang dituju, menunjukkan betapa keseriusan beliau untuk
menuntut ilmu. Meski belum menentukan pilihan pondok, tapi hatinya yakin bahwa
Jawa Timur waktu itu bisa menjadi tempat yang tepat baginya untuk memenuhi
kehausannya akan ilmu agama.
Kondisi yang masih serba sulit, akses jalan juga masih ala
kadarnya, telepon tidak ada, saudara di tempat barupun juga tidak ada. Jika niatan
tidak kuat, sudah bisa dipastikan di rumah lebih menjanjikan. Apalagi sekedar
untuk mengumpulkan pundi-pundi uang.
Bapak sangat kuat pendiriannya, besar tekad belajarnya, semangat
itulah yang selalu dibisikkan di telinga putra-putrinya. Meski harus saya akui,
bahwa kami/putra-putrinya masih belum bisa meniru semangat belajar bapak yang “tetap
menyala”.
Muntaaz......🔝
BalasHapusSyukran ustadz, berkenan mampir di blog saya. Sering2 mampir ustadz... hehehe
Hapus