Nopo Bade Dados Tiyang Mriki?
Perjalanan hidup bapak selama mondok di Pesantren Mamba’ul ‘Ulum
penuh dengan lika-liku. Banyak hal yang harus dilalui demi untuk menggapai
cita-citanya belajar ilmu agama. Ilmu yang diminatinya semenjak masih kecil.
Karena berangkat dengan segala keterbatasan, bapak banting tulang
untuk mempertahankan hidup, sekedar untuk mengganjal isi perut dengan
bekerja/kasab di tetangga pondok, dan terakhir “ngenger” di kediaman Mbah
Baijuri.
Bapak mau kerja apapun asal halal dan tidak menggannggu jam “ngaji”
di pondok. Jika ada benturan dengan jam ngaji bapak lebih baik meninggalkan
pekerjaan itu meskipun sangat membutuhkannya. Ini menjadi prinsip yang tertanam
di hatinya karena tujuan utamanya adalah belajar ngaji di pondok, bukan untuk
bekerja mencari uang.
Bapak juga pernah cerita bahwa beliau sangat eman kalau tidak masuk
madrasah, meskipun sedang sakit. Prinsip bapak yang pernah diceritakan adalah “جاء زيد”, jika mau datang pasti bertambah. Prinsip ini melekat
pada diri beliau dan ditularkannya pada anak-anaknya.
Dawuh bapak, “Pokok teko yo tambah, senajan
ora paham saiki, mboh kapan wektune insya Allah bakale paham”. Bapak seringkali
bilang ke saya untuk memotivasi belajar saya waktu itu. Bahkan saat turun
hujan, -asal tidak deras-deras amat, bapak tetap berangkat ke pondok meski
tanpa mantel dan hanya mengendarai sepeda pancal kala itu. Saya masih ingat
betul waktu masih kecil beliau berangkat ke pondok meski sudah dilarang oleh “Emak”
karena hujan dan tidak punya mantel. Bapak bilang, “mesakne bocah-bocah sing
ngenteni”.
Itulah bapak yang kerap kali dianggap “keras
kepala” karena prinsipnya yang kuat. Saat di pondok, bapak sangat disiplin
termasuk dalam hal “sambang”, menilik orang tua di rumah. Bapak pulang setahun
sekali katanya. Itupun tidak lama. Bapak selalu kembali ke pondok sebelum
pembelajaran di madrasah mulai. Itu wajib hukumnya bagi bapak.
Saat teman-temannya “sambang” di musim
liburan, Mbah Sukinem (Mbah Putri) seringkali riwa-riwi ke rumah temen-temen
bapak di daerahnya untuk menanyakan kabar bapak dan juga perihal apakah bapak
tidak pulang. Ya, maklum, orang tua selalu merasa rindu dengan anak-anaknya. Jangankan
setahun, sehari tidak melihat anaknya saja si ibu biasanya kepikiran terus
dengan anaknya. Itu pula yang nampaknya dialami oleh Mbah Putri kala itu.
Tetapi, mungkin idealisme bapak yang masih
muda waktu itu tidak begitu memahami perihal tersebut. Bapak tetap saja fokus
pada “ngaji”nya. Belajar dengan tekun dan giat, tanpa banyak berfikir tentang
selainnya.
Keadaan seperti ini terus saja berulang hingga
setelah bapak tamat dari pondok. Entah karena kehausannya terhadap ilmu atau
hal lain, bapak tetap saja lebih awal ke pondok. Hanya tinggal sebentar di
rumah dan kembali ke pondok lagi.
Semenjak bapak mondok, belum sekalipun Si Mbah
sambang ke pondok. Pada akhirnya setelah tamat dan melihat gelagat putranya
tetap saja seperti tidak mau meninggalkan pondok, Si Mbah mengikuti ke pondok
dan sowan Mbah KH. Bishri.
Saat sowan Si Mbah Karsin matur ke Abah Kyai, “Nyuwun
sewu Kyai, putro kulo niku kok mboten keraos wonten griyo nopo bade dados
tiyang mriki?”. Mendengar itu Abah Kyai Bishri ngendiko, “Wo
inggeh, niki jodone pon wonten”.
Inilah sepenggal
kisah bapak mengawali babak baru dalam hdiupnya. Dijodohkan oleh
kyai dengan seorang gadis (ibu) dan hanya matur, “Kulo ndherek kemawon”. Kondisi yang
hampir-hampir tidak ditemukan apalagi di era santri zaman now.
Mumtaaaz.....🔝🔝🔝
BalasHapusSyukran ya ustadziii....
Hapus