Mondok Sambil Kasab Lan Ngenger

 

Mondok Sambil Kasab Lan Ngenger



Sebagai santri pondok tugas utama bapak adalah belajar dan mengaji. Mempersiapkan dengan sebaiknya kualitas diri agar sepulang dari pondok bisa bermanfaat dan memberikan warna bagi kehidupan masyarakatnya. Hal ini semestinya ada dalam pribadi tiap santri yang sedang menempa diri di pondok.

Dalam bahasa Arab pondok diistilahkan dengan kata معهد yang merupakan bentuk isim makan, bisa juga isim zaman. Jika dianggap sebagai isim makan, maka maknanya adalah tempat berjanji, sedangkan bila disebut sebagai isim zaman maknanya adalah waktunya berjanji/masa berjanji.

Pondok merupakan tempat berjanji seorang murid untuk patuh, taat pada ustadznya serta tempat megikat janji pada dirinya, keluarga, masyarakat dan ustadznya untuk menuntut ilmu sebaik-sebaiknya. Meluangkan sebagian besar waktunya untuk mengkaji kitab suci serta seluruh kitab-kitab agama untuk mendapatkan pemahaman yang benar mengenai tuntunan hidup yang sesungguhnya. Pondok bukan sekedar tempat untuk berpindah tidur dan makan. Sekedar mencari tempat “melek-an” tanpa muthala’ah dan hafalan.

Masa di pondok juga masa perjanjian. Perjanjian antara seorang santri dengan dirinya, keluarganya, masyarakatnya dan para murabbinya. Masa dimana ia harus lebih banyak mengekang dirinya, menekan segala ego yang ada dan menempatkan posisinya pada tempat serendah-rendahnya agar ilmu yang disampaikan bisa mengalir deras pada dirinya. Sebagaimana kata penyair bahwa ilmu itu musuh bagi pemuda yang sombong sebagaimana air tidak akan mengalir ke tempat yang tinggi.

Air hanya mengalir pada tempat yang posisinya rendah. Begitu juga ilmu. Ilmu hanya akan mengalir pada santri yang meletakkan pada posisi yang rendah. Posisi dimana ia tidak akan menentang segala bentuk kebijakan gurunya, bahkan saat ia “mungkin” diperlakukan kurang elok oleh gurunya. Boleh jadi perlakuan tersebut sesungguhnya merupakan wujud “kasih saying” yang dibalut dengan perbuatan yang kurang disukai untuk menempa pribadi santri yang menjadi pribadi yang berkualitas dan unggul. Bukankah Gototkoco menjadi sakti dan tidak mempan segala macam senjata setelah ia ditempa di “Kawah Candrodimuko?”.

Sebagai santri, bapak menempatkan posisinya di temapt yang rendah. Beliau juga meluangkan banyak waktunya untuk belajar dengan tekun. Namun, oleh karena bapak bukan anak orang kaya dan ke pondok hanya bermodalkan “cengkir”, bapak mesti berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari di pondok.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, bapak kerja serabutan ke tetangga-tetangga pondok. Turut serta kerja di sawah, lading, kebun atau di rumah mereka. Berbagai pekerajaan dijalani bapak demi mengejar cita-citanya, asalkan hal itu tidak mengganggu proses tholabnya.

Beberapa kali bapak “ngenger” di rumah tetangga pondok. Ngenger waktu itu,-kata bapak, ikut orang dan membantu semua pekerjaan di rumah orang tersebut tanpa upah hanya sekedar makan dan minum. Bapak pernah ngenger ke penjual getuk, Mbah Giyem namanya. Setiap pagi bapak membantu membawakan getuk, sore membantu proses pembuatannya dan seterusnya. Namun, karena sesuatu dan lain hal, bapak tidak kerasan sehingga memutuskan untuk mencari tempat ngenger lain.

Tempat ngenger bapak yang paling lama adalah di rumah “Mbah Baijuri dan istrinya Mbah Diyanah”. Rumahnya adalah di dukuh Sukosari Desa Sukorejo sebelah selatan pondok ke timur. Bapak ngenger di sini hingga akhirnya menikah dan yang mantu adalah Mbah Baijuri ini. Bapak ngenger di keluarga ini kurang lebih selama 8 tahun.

Keluraga Mbah Baijuri adalah kelaurga yang religius. Selain itu keluarga ini sangat senang dengan anak-anak yang mengaji di pesantren. Di depan rumah Mbah Baijuri terdapat bangunan Mushalla yang hingga saat ini masih berdiri dengan tegak.

Bapak sangat akrab dengan seluruh keluarga Mbah Baijuri hingga seperti keluarga sendiri. Barakah dari kecintaan keluarga ini dengan para penuntut ilmu, seluruh putra-putrinya menjadi orang sukses. Beberapa diantaranya menjadi diambil mantu oleh kyai pesantren dan melahirkan para ulama. Bu Zubaidah diperistri oleh KH. Rouf al-Hafidz pondok pesantren Yanba’ul ‘Ulum, Karang Tengah Pikatan, Abah dari KH. Ala’ Pengasuh Pondok Tahfidz Mantenan Udanawu. Pak Bud al-Hafidz (saya kurang tau lengkapnya) menjadi pengasuh pesantren di Jawa Barat, Bu Nur seorang guru di Malang, Bu Laila diambil menantu oleh keluarga pesantren Balong, Ringen Rejo Kediri.

Keluarga ini juga menganggap bapak sebagai bagian dari keluarganya. Terbukti mereka sangat peduli kepada bapak selama nyantri di pondok. Bahkan setelah bapak menikah dan memiliki banyak anak, tidak jarang keluarga ini juga memberikan banyak bantuan bagi keluarga bapak.

Mungkin inilah makna dari qaul yang mengatakan, bahwa banyak saudara yang tidak terlahir dari rahim ibu yang sama. Orang lain, namun disatukan oleh Allah dalam ikatan ukhuwah islamiyyah.

Masa di pondok, menjadi masa yang terlalu manis untuk dilupakan. Getir pahit perjuangan menuntut ilmu perlu dan seharusnya diceritakan pada anak-cucu. Bukan untuk mengenang “pilu” atau “pamer” keuletan belajar melainkan sebagai pemicu semangat agar kiranya mereka memiliki “semangat yang menggebu”. Semangat untuk berburu ilmu, bukan sekedar berburu harta dunia yang fana.

 

Komentar