Supoyo, Bapakku

 

Supoyo, Bapakku



Supoyo bin Ahmad Karsin dan Sukinem putri  dari Mbah Mesiem. Lahir di Desa Poncorusa Abarawa Jawa Tengah pada kisaran tahun 1954. Kapan tanggal lahir pastinya bapak sendiri juga tidak ingat. Yang jelas saya menemukan dua tanggal dan tahun yang berbeda di KTP-nya. Tetapi tidak mengapa, memang orang-orang tua dulu tidak begitu menganggap penting tanggal lahir sebagaimana generasi sekarang. Yang penting ingat neton-nya, yakni selasa pahing.

Bapak memiliki empat orang saudara. Saudara pertamanya bernama Pakde Kuswo (masih sugeng), Pakde Miyarto (almarhum), Bapak Supoyo (almarhum) dan Bulek Ipah (masih sugeng). Mereka semua adalah orang-orang terdekat bapak tentunya yang seringkali diceritakan bapak pada anak-anaknya.

Poncoruso dulu sepengetahuan saya adalah wilayah pegunungan yang jauh dari pusat peradaban. Masyarakatnya hanya mengandalkan pertanian dan peternakan sebagai upaya menopang kebutuhan ekonomi sehari-harinya. Daerahnya masih sangat minim, bahkan akses jalan menuju ke rumah Mbah sangat sulit karena jalannya berupa bebatuan “macadam” yang menanjak. Butuh perjuangan untuk bisa sampai di rumah Mbah.

Selain itu, struktur tanah pegunungan yang didominasi oleh tanah liat, seringkali menyebabkan sandal tertancap di tanah karena licin dan lengket saat datangnya musim penghujan. Namun, daerahnya melimpah air. Saya ingat betul saat masih kecil berkunjung ke rumah Mbah selalu mandi di “Pancuran Sawah”. Masa yang sangat indah menurut saya.

Tetapi, Poncoruso saat ini sudah banyak mengalami perubahan. Jalan-jalannya sudah beraspal dan bagus. Banyak pabrik dan home industry di sana. Perekonomian masyarakatnya juga meningkat pesat. Di sebelah utara rumah Mbah, yang dulu berupa sawah dan perkebunan cengkeh telah berubah menjadi pemukiman warga dan juga “Kandang Kuda” yang luas. Poncoruso yang berada di lereng “Gungung Kendali Sodo”, telah mengalami evolusi besar-besaran. Ya, itulah tempat lahir bapak yang indah.

Nama bapak sangat singkat, hanya satu kata “Supoyo”. Kata ini merupakan kata berbahasa jawa yang sepadan artinya dengan kata “supaya” dalam bahasa Indonesia. Nama singkat yang terkadang dipertanyakan oleh sebagian orang, mengingat bahwa “asmo kinaryo jopo”, nama merupakan do’a.

Saya ingat, pada suatu saat bapak pernah cerita ke saya perihal namanya. Awalnya bapak dulu juga bertanya-tanya mengapa Mbah memberi nama kepadanya “Supoyo”. Saat itu bapak bilang, “Aku disek yo angen-angen, nyangopo kok aku dijenengke “Supoyo” ki, basan tak angen-angen, eee…Bapak kip inter lek gawe jeneng. Karepe aku kon nerusne dewe pengenku opo. Lek pengen pinter berarti supoyo pinter yo sinau, yen pengen sugih yo nyambut gawe, yen pengen sholeh yo ngaji….”

Bapak merasa bahwa nama yang diberikan oleh Mbah merupakan bentuk keleluasaan pikiran Mbah agar anaknya bisa menjadi dirinya sendiri dan bukan orang lain. Banyak orang tua yang memaksakan kehendaknya kepada anaknya, mendidiknya dengan ketat, memberikan les ini dan itu yang sesungguhnya bukan kemauan anaknya, namun kemauan orang tuanya. Berbeda dengan Mbah. Saya masih ingat cerita bapak waktu Mbah ke pondok bapak pertama kalinya. Tidak ada paksaan agar bapak pulang ke kampung halamannya, sama sekali tidak. Tetapi, Mbah memberikan kebebasan pilihan pada bapak, anak yang sudah tentu dicintai dan disayanginya.

Bapak pernah cerita juga kalau namanya diganti oleh Kyai-nya. Nama yang diberikan adalah “Husaini”. Akan tetapi, rupanya nama pemberian Mbah telah menyatu dalam diri bapak, sehingga sampai akhir hayatnya beliau tetap menyandang nama “Supoyo”. Ya, Supoyo itulah nama bapakku. Bapak yang selalu kucintai dan kusayangi sepanjang hayatku serta penyemangat dalam setiap langkahku. Bapak yang selalu dan selalu kubanggakan.

 

Komentar