Cara Bapak Ibu Mendidik Kami

 

Cara Bapak Ibu Mendidik Kami



Terlahir di tengah keluarga sederhana dengan kondisi perekonomian yang minim, tentu banyak hal yang memerlukan perjuangan. Ini bukan hal yang mesti disesali ataupun dikeluhkan melainkan harus disyukuri karena di balik semua itu banyak hikmah dan pelajaran yang diajarkan Tuhan kepada kami.

Saat Rasulullah saw lahir, beliau lahir sebagai seorang yatim. Beliau tidak merasakan kasih sayang ayahnya sejak lahir. Bahkan diusianya yang masih kanak-kanak, 6 tahun kira-kira, ibunya wafat dan beliau diasuh oleh kakeknya. Namun, belum lama merasakan kasih sayang kakeknya, beliau juga ditinggal wafat sehingga diasuh oleh pamannya yang saat itu ekonominya kurang dan memiliki banyak anak. Nyatanya, tempaan itu menjadikan beliau pribadi yang dikagumi semua orang, bahkan mereka yang non muslim sekalipun.

Semenjak kecil bapak ibu mendidik kami dengan pola mereka. Bapak ibu hampir-hampir tidak pernah menyuruh kami memilih jajan di toko, atau membelinya sendiri. Bukan karena tidak sayang, tetapi ini merupakan pendidikan berharga bagi kami.

Saat punya uang bapak ibu membelikan jajan untuk kami, namun beliau berdua akan memberikannya saat telah tiba di rumah. Tidak menyuruh kami memilih, maupun membeli sendiri. Kami terbiasa makan jajan saat sudah berada di rumah tanpa berkesempatan memilih. Bagi sebagian orang mungkin akan menganggap hal ini kurang baik. Dan itu sah-sah saja, tetapi hal itu luar biasa bagi kami khususnya saya.

Anak-anak memiliki kemampuan menyerap segala sesuatu dengan cepat. Dengan membelikan jajan kami dan memberikannya di rumah, ada pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Urusan membeli jajan adalah hal yang sangat mudah dipahami oleh siapapun. Asal ada uang, kesempatan, siapapun bisa membelanjakan uang sesuka hatinya.

Bapak ibu mengajari pelajaran hidup yang berharga. Beliau berdua mengajarkan bahwa orang hidup tak selamanya bergelimang harta dan bisa membeli apa saja semaunya. Adakalanya kita punya uang, namun adakalanya kita kekurangan. Dengan demikian keduanya mengajari kami untuk bisa menerima kondisi dan keadaan. Kalau ada ya dimakan, kalau tidak ya siap menerima.

Dengan tidak mengajari anak memilih ataupun mengambil sendiri di toko, beliau mengajari agar kami memberikan yang terbaik buat kami. Mereka akan memilihkan jajanan apa yang kiranya baik untuk kesehatan, dan mana yang tidak. Tentu mereka akan memberikan makanan yang sehat dan baik untuk tubuh kami. Berbeda dengan jika kami memilih sendiri, maka control terhadap jajanan yang kurang/tidak baik bagi kesehatan tentu sulit dilakukan.

Dalam urusan belajar, bapak ibu mendidik kami dengan disiplin. Di rumah kami, televisi tidak boleh menyala kecuali setelah selesai belajar di malam hari. Pantangan bagi kami melihat televisi di pagi hari dan setelah sholat maghrib. Jika ada yang memutar televisi di jam itu, sudah bisa dipastikan akan mendapat marah dari ibu. Bapak ibu memiliki televise setelah saya kuliah di semester dua, (kalau tidak salah). Sebelumnya kami hanya numpang ke rumah Mbah yang berdekatan rumahnya.

Pagi hari kami harus belajar mencuci baju dan membersihkan lingkungan sekitar. Selesai itu baru bersiap-siap pergi ke sekolah. Khusus hari libur, maka kami diajari ke sawah sekedar membantu bapak dan ibu menggarapnya.

Selesai sekolah, jadwal kami (laki-laki) adalah mencari rumput. Semenjak masih TK (seingat saya) bapak membelikan kami “marmut” untuk dipelihara. Setelah memasuki bangku sekolah dasar kami membantu mencari rumput untuk kambing dan sapi peliharaan bapak. Begitulah kehidupan kami di masa kecil.

Setiap hari minggu kami diajak ke sawah. Padahal teman-teman seusia kami menjalani hari-harinya dengan bermain. Sempat suatu saat saya dan kakak protes, “Wong koncone ae podo dolanan karo delok tivi, mosok awake dewe panggah nyang sawah?” Bapak ibu hanya bilang, “Mbesok awakmu lek ngerti dewe”.

Selepas maghrib kami mengaji di madrasah. Bagi bapak ibu mengaji adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak alasan untuk tidak masuk ngaji, meski sedang ada ujian sekolah semisal Ebtanas.

Hal yang paling melekat dalam ingatanku adalah saat berpamitan mau melihat “tontonan”. Pada saat masih usia SD, MTsN, dan MA, masih sering digelar tontonan di desa seperti layar tancep, acrobat dan sejenisnya. Saat berpamitan mau nonton, bapak selalu bilang, “Oleh ndelok, pokoke moco sholawat disek ping satus”.  

Waktu itu kami hanya melaksanakan begitu saja. Namun, setelah saya dewasa saya menyadari betul apa yang dimaksud bapak. Bapak ingin mengajarkan kepada kami untuk tetap berada di jalur agama meski gelombang arus dunia mengajak sebaliknya.

Komentar

  1. Balasan
    1. Terima kasih,

      Semoga bermanfaat dan mohon dukungannya..

      Hapus
  2. "tetap berada di jalur agama meski arus dunia mengajak sebaliknya" nggak mudah ini..

    BalasHapus

Posting Komentar