Goro-Goro Endas

 

Goro-Goro Endas



Sebagai santri yang ngenger, kerja apapun dilakukan oleh Bapak, asalkan bisa makan dan tidak mengganggu proses belajarnya. Mulai dari kerja sekedar membersihkan lingkungan rumah, sampai membantu bekerja di sawah dan lainnya.

Bapak adalah tipe orang yang mau bekerja apa saja tanpa meremehkan setiap pekerjaan. Bagi beliau asal halal dan tidak merendahkan martabat dengan meminta-minta/mengemis, semua pekerjaaan itu tetap mulia. Hanya saja memang ada sebagian orang yang menganggap pekerjaan lain sebagai pekerjaan rendah, misalnya karena dianggap mengotori badan, baju dan sebagainya. Tetapi, sesungguhnya semua pekerjaan itu asal halal dan tidak membuat “cacat diri” adalah pekerjaan mulia.

Bapak sangat dekat dengan keluarga Mbah Baijuri karena keluarga ini telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Mereka makan dan minum bersama sebagaimana keluarga. Perekonomian pada saat itu yang masih serba sulit menyebabkan Mbah Baijuri seringkali juga membagi makanan yang ada supaya semua keluarga bisa makan, termasuk bapak.

Cerita menarik disampaikan oleh Bude Nur (demikian biasanya saya menyapa), salah satu putri Mbah Baijuri yang saat ini tinggal di daerah Badut Kota Malang. Saat beliau ta’ziyah, belliau menceritakan betapa sabarnya bapak. Bapak tinggal di rumah Mbah Baijuri selama kurang lebih 8 tahun. Hal yang mungkin tidak akan pernah ditemukan pada santri di masa sekarang. Bekerja membantu keluarga Mbah Baijuri tanpa dibayar hanya makan dan minum saja. Bapak telah dianggap sebagai keluarga sendiri sampai pada akhirnya di “mantu” oleh Mbah Baijuri.

Salah satu cerita menarik adalah saat makan lauk gerih dan sejenisnya, hampir-hampir bapak selalu kebagian “endas”-e/kepalanya. “Supoyo kui sabar banget, biyen jaman melu Bapak, nek maem gerih utowo liyane pokok bapakmu mesti bagian endase. Engko sing daginge yo aku, Zubaidah, Mud, pokok bapakmu mesti kari endase. Tapi yo, bapakmu sabar banget pokoke. Ra sabar piye wong melu Bapak ono 8 tahun. Tapi yo kui, goro-goro mangan endas, bapakmu diangkat dadi lurah pondok”, kata Bude Nur.

Bapak memang orang yang sabar. Itu terbukti dari keuletannya dalam menjalani setiap proses hidupnya yang penuh liku-liku. Gegara sering makan kepala, bapak diangkat sebagai lurah pondok kala itu.

Entah, apakah hal itu memang sudah menjadi takdir dari bapak. Saya masih ingat betul, hampir setiap bapak ikut hajatan di rumah-rumah tetangga, lauk yang didapatkan adalah kepala. Jarang sekali bapak dapat lauk daging saat ada kenduri, tahlil dan sejenisnya. Tentu, hal yang tidak akan kita temukan di masa sekarang.

Orang hajatan di masa sekarang, umumnya kepala, kaki dan yang sedikit dagingnya tidak lagi diikutkan. Maklum, sekarang sudah murah “sandang pangan”, beda dengan dulu. Untuk makan nasi beras saja, menunggu kalau ada orang punya hajatan.

Kepala menjadi symbol bagi kepemimpinan. Dan memang bapak seringkali dipercaya untuk memegang amanat di jam’iyyah-jam’iyyah di desa, baik yasinan, khatmil qur’an dan sejenisnya. Semoga hal itu menjadi pertanda baik, bahwa bapak menjadi seorang yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Semoga ilmu beliau dan amalnya diterima Allah dan Dia menempatkan beliau di tempat terbaik di sisi-Nya. aamiin.

Komentar