Cerita Awal Mula di Pondok
Perantauan mencari pondok yang sebelumnya tidak jelas setelah
beberapa kali singgah di beberapa tempat pada akhirnya membuahkan hasil. Pilihan
bapak jatuh pada pesantren yang kala itu masih belum seberapa ramai di tempat
yang masih agak sepi dengan jalanan yang ala kadarnya. Pondok Pesantren Mamba’ul
Ulum/Doktrenmu Sempu yang lebih populer dengan nama Pondok Sempu.
Menurut riwayat pondok ini dulunya ada di wilayah desa Mangunan,
tetapi karena sesuatu dan lain hal, pondok ini dipindahkan di daerah yang kemudian
diberi nama Sempu, masuk ke Desa Sukorejo Udanawu. Nama sempu diambil dari nama
pohon sempu yang saat itu ada di tempat dimana pesantren ini dibangun.
Pondok ini didirikan oleh salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Hal ini ditengarai oleh adanya Pohon Sawo yang dianggap sebagai tanda dari para pengikut Diponegoro. Menurut cerita yang saya dengar pondok ini diasuh pertama kali oleh KH. Bashir, yang dilanjutkan oleh putranya KH. Bishri dan saat ini diasuh oleh K. Agus Mahmud al-‘Atho’ dan KH. Zainal Arifin.
Saat bapak tiba, bangunan pondok masih alakadarnya. Maklum di
tahun-tahun itu memang keadaan masih serba sulit. Pondok di asuh oleh KH.
Bishri dan dibantu oleh KH. Muhammad Yasin Manshur (masih sugeng). Dua figur
yang juga sangat besar pengaruhnya pada pribadi bapak.
Tiba di pesantren, bapak langsung masuk di kelas 2 Tsanawiyah
dengan materi kitab al-Ajurumiyyah pada ilmu nahwunya. Sebagai santri baru,
tentu bapak memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan situasi pondok, system pembelajaran,
materi pembelajaran dan sebagainya, yang tentunya tidak sama dengan
materi-materi yang sebelumnya di dapatkan oleh bapak saat belajar di madrasah
diniyyah di desa.
Untuk materi ilmu nahwu, bapak sebelumnya tidak mendapatkan pengajaran.
Maklum di madrasah diniyyah desa umumnya menyesuaikan dengan kemampuan para
asatidz yang mengampu. Ada banyak asatidz di desa yang bersemangat untuk
berjuang dan mengajar di madrasah, namun kemampuannya masih kurang. Ini lebih
disebabkan karena memang pada masa itu belum banyak pesantren yang bertebaran
sehingga sumber ilmu agama masih minim, apalagi daerah bapak adalah daerah
pegunungan yang jauh dari keramaian, belum ada listrik yang masuk ke
wilayahnya.
Bapak pernah cerita, di awal masuk pesantren beliau dimarahi oleh
ustadznya lantaran disuruh mengi’rabi satu kalimat dalam bahasa Arab dan bapak
tidak bisa. Kalau tidak salah kalimatnya adalah زيد
قائم. Tetapi
karena memang bapak belum pernah mendapatkan pelajaran ini sebelumnya beliau
tidak bisa menjawabnya. Kata bapak, “Goro-goro kon ngi’rabi kalimat زيد قائم , bapak ndak iso wektu kui, bapak
dilok-lokne, ‘Pekok men to, wong meng ngi’rabi ngono ae ra iso’. Neng ati aku
panas, ‘Yo ra popo pancen aku jek anyar ko’. Sesok nek iso’.”
Meski dimarahi dan merasa panas dihati bukan
berarti hal itu memicu kerenggangan antara beliau dan ustadz, sebaliknya hal
itu menjadi pemicu bagi bapak untuk lebih belajar dengan giat lagi. Itulah karakter
bapak yag haus akan ilmu dan pengetahuan.
Bapak ditakdirkan memiliki semangat belajar
yang tinggi. Beliau cerita, selama di kelas beliau tidak mau ketinggalan dengan
temannya yang lain. Karena itu, waktu yang ada beliau maksimalkan untuk belajar
dan terus belajar.
Untuk hafalan bait-bait nadzam, bapak pernah
cerita, tidak sekedar menghafalkan nadzamnya saja. Akan tetapi, saat menghafal
nadzam beliau juga mengahafalkan ma’na perkatanya sekaligus/di pesantren ma’na
gandul per kalimatnya. Menurut beliau hal itu sangat membantu untuk mengingat
nadzam yang dihafal sekaligus menambah pemahamannya.
Komentar
Posting Komentar