Kehidupan Awal Setelah Menikah

 

Kehidupan Awal Setelah Menikah



Di awal pernikahannya bapak dan ibu hidup dengan penuh perjuangan. Mereka tinggal bersama di rumah Mbah Misdi (ayah dari ibu). Kendati tinggal serumah, namun bapak dan ibu telah memasak sendiri karena memang Mbah waktu itu juga harus merawat saudara-saudara seayah dari emak.

Bapak dan ibu hidup seadanya, hanya dengan modal “manjing” dan buruh di rumah orang. Bapak dan ibu gigih berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi demi menyambung hidupnya. Berangkat petang, pulang tengah hari dan berangkat lagi hingga menjelang petang sudah menjadi makanan sehari-hari. Letih-lelah dijalani bersama demi bahtera rumah tangga baru yang sedang dibangunnya.

Ibu sering cerita, tidak jarang mereka menahan lapar karena memang tidak ada yang dimakan. Mereka juga enggan untuk meminta ke Mbah, karena takut merepotkan. Yang jelas semua liku-liku hidup yang penuh perjuangan dilewati bersama.

Meski hidup serba kekurangan di awal pernikahan, namun hal itu tidak menyurutkan semangat bapak untuk tetap mengabdi di pondok. Malam hari bapak memanfaatkan waktunya untuk mengabdikan diri di pondok sebagai guru ngaji.

Bapak tidak pernah patah semangat, bahkan hingga hari tuanya. Bapak selalu bekerja dan tidak mau berpangku tangan apalagi menengadahkan tangan, meminta sedekah anak-anaknya. Belum pernah bapak meminta uang sekalipun ke saya. Prinsip beliau “Nek iso nguweki anak, ojo njaluk anak”. Sebelum sakit, bapak mengisi hari-harinya dengan “ngantong”, istilah yang digunakan oleh para pekerja buruh di pembibitan cabai dan sejenisnya di desa kami.

Bapak dan ibu memanfaatkan sepetak lahan sempit di belakang rumah untuk membuat bibit Lombok di polibek untuk kemudian dijual ke petani. Setiap hari dihabiskan di situ, berangkat pagi pulang pada saat waktu sholat dzuhur tiba dan kemudian berangkat lagi sampai asar.

Pernah ibu bilang ke saya, “Yo ngene iki mung minongko doyo-doyo, mumpung awake sik iso tandang. Yo sak isone, timbang mung jagakne anak. Engko ngrusuhi anak yo mesakne, wong anak duwe butuh dewe. Mengko anake iso ngewangi, ikhlas menehi wong tuwo, neng kan yo ora ngerti piye sisihe”.

Apa yang disampaikan bapak dan ibu saat saya “jagong  bersama keduanya di “tampaan”/tempat pembibitan, menjadi hal yang mengesankan bagi saya. Bapak dan ibu sosok inspiratif dalam hidup saya yang selalu membangkitkan semangat di saat saya sedang berada dalam keterpurukan.

Saya ingat, saat saya menghadapi masalah bapak dan ibu selalu memotivasi dan menyemangati. Beliau selalu menasehati yang terpenting adalah berusaha, sementara hasilnya harus dipasrahkan kepada-Nya.

Pesan bapak dan ibu yang sering disampaikan supaya kami semua/anak-anaknya selalu rukun, saling membantu dalam menjalani hidup. Ibu bilang, “Wong urip kui kudu ngati-ngati, kadang awake dewe wes berusaha ngapiki uwong, neng wong kuwi mau ora seneng karo awake dewe. Kadang nek ngarepe apik, ning nek burine ngelek-ngelek, yo ngono kuwi urip ki. Ora usah kaget”.

 Karena itu sessama saudara harus rukun dan saling mendukung. Kalau bukan saudara siapa lagi yang bisa diharapkan. Hidup tidak selamanya berada dalam keber-adaan, karena itu jangan lalai saat berada di atas, namun jangan pula berlebihan dalam keterpurukan saat berada di bawah.

Komentar