Masa Kecil Bapak
Terlahir di daerah terpencil di wilayah
pegunungan pada kisaran tahun 1950-an, bisa diperkirakan bagaiamana bapak
menjalani masa kecilnya. Daerah yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota yang
penuh dengan glamour. Daerah yang masih sulit aksesnya, mengandalkan hasil
buminya untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya.
Bapak sering cerita bahwa si Mbah hanya petani
biasa dengan sepetak sawah. Selain itu juga menjalani kerja serabutan bila ada
orang yang meminta untuk membantu pekerjaannya. Mbah sering ikut kelompok “ketoprak”
sehingga kata Bapak, Si Mbah banyak menghafal cerita-cerita dan tokoh-tokoh
pewayangan.
Karena kondisi perekonomian yang serba terbatas, sekedar bisa makan saja sudah alhamdulillah, seringkali makanan yang ada dibagi langsung oleh Mbah putri agar semua keluarga bisa turut serta makan. Jangan dibayangkan jika makanannya seperti sekarang. Untuk sekedar makan nasi beras saja, mesti menunggu ada orang hajatan. Bahkan tidak jarang di masa itu, orang yang punya hajat menggunakan nasi “ampok” ataupun “ampok campur nasi/gronjol”.
Bapak menghabiskan masa kecilnya dengan penuh
perjuangan. Mencari rumput untuk ternak dan juga ikut membantu Mbah ke sawah
maupun di rumah. Pada waktu itu di daerah dekat Bapak tinggal belum ada sekolah
yang mewadahi anak-anak usia sekolah untuk belajar. Hanya ada satu sekolah yang
cukup jauh jarak tempuhnya setingkat SD, yang kebetulan saat itu miliknya
saudara “nashoro”.
Bapak pernah cerita, bahwa di tahun-tahun itu,
di daerah bapak tinggal, masih jarang orang yang sholat. Baru banyak orang
sholat setelah meletusnya G30-S PKI. Bapak juga pernah cerita bahwa saat
mengikuti pembelajaran di SD itu, beliau pernah dijadikan “Imam Sholat
(Nashoro)” kala itu.
Menurut bapak, meskipun saat itu beliau
sekolah di tempat saudara nshoro, namun ketika bapak mendengar kata “Allah”
disebut, ada rasa senang dan tenang di hatinya. Beliau tidak tahu mengapa,
tetapi itulah yang dirasakannya saat mendengar kata “Allah” disebut, yang
kebetulan saat itu, pengetahuan mengenai agama Islam belumlah beliau dapatkan,
kecuali minim sekali.
Bapak juga cerita bahwa pengajian pertama
didapatkan adalah dari seorang kyai di dekat rumah bapak. Namanya Bapak Kyai “Jayus”.
Saya tidak tahu nama lengkap beliau. Tetapi, sepertinya sosok beliau banyak
menginspirasi kehidupan bapak juga. Terbukti, bapak sering bercerita mengenai
beliau termasuk amalan yang sering beliua tularkan. Salah satu diantaranya yang
masih ingat yang pernah disampaikan beliau saat selesai tarawih di bulan
Ramadhan, saat membaca wirid “يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك ” supaya posisi kaki dan jari jempolnya tetap.
Dengan demikian insya Allah kita akan diberikan keistiqamahan dalam iman,
islam, ihsan dan menjalankan agama Allah.
Selain belajar dari kyai Jayus, bapak juga
belajar di madrasah diniyah yang jaraknya lumayan jauh, yakni di daerah “Mendongan”.
Saya kurang tahu tepatnya ada di arah mana dari tempat tinggal bapak. Bapak mesti
berjalan kaki bersama dengan teman-temannya dari desa untuk menuju ke tempat
ngaji ini.
Saat ngaji bapak cerita bahwa beliau adalah
sosok yang tidak mau kalah dari yang lainnya. Bapak selalu giat belajar dan
tidak mau kalah nilai dari temen-temennya. Pernah beliau cerita, nilainya
pernah kalah dengan seorang anak putri, kalau tidak salah namanya “Maesaroh”. Mengetahui
hal itu, bapak panas hatinya dan belajar lebih giat lagi dan alhamdulillah di
ujian berikutnya nilai bapak lebih baik darinya.
Begitulah, sepenggal kisah masa kecil bapak
saat bersama keluarga di Poncoruso. Beliau menghabiskan hari-harinya dengan
penuh bahagia, meskipun berada dalam banyak “keterbatasan”. Si Mbah yang memang
bukan orang “mapan” mesti berjuang dengan segenap kemampuannya untuk menghidupi
keluarga. Dan alhamdulillah, nyatanya hal itu berhasil dan semua hidup dengan
penuh bahagia dan rukun.
Memang dinamika kehidupan seringkali berseberangan
dengan apa yang kita inginkan. Hal itu merupakan bagian dari sunnatullah untuk menempa setiap
pribadi hamba-hamba-Nya, agar menjadi seorang yang lebih matang, dewasa dan
kuat di masa depannya.
Banyak fakta yang membuktikan bahwa orang yang hidup dalam tempaan
alam, pada akhirnya menjadi sosok pribadi yang kuat, bijak dalam menyikapi
setiap persoalan hidup dan pada akhirnya menuai kegemilangan di akhir masa
kehidupannya.
Sebaliknya, mereka yang banyak hidup di bawah “ketiak orang tua”,
justru akan mengalami keterpurukan hidup, tergilas oleh roda kehidupan di saat
yang mereka “banggakan” telah lebih dahulu kembali menghadap-Nya.
Bersyukur dan selalu menerima segala apa yang diberikan-Nya dengan
ikhlas, tetap menjalankan ibadah meski dalam kondisi sulit, adalah kunci
seseorang memperoleh kehidupan bahagia. Bahagia di dunia lebih-lebih di akhirat
saat kembali menghadap-Nya.
Sangat menginspirasi ustadz,
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan mampir. semoga bermanfaat dan jangan lupa terus ikuti artikel berikutnya ya...
Hapus