Pembagian Nikmat
Semua manusia menyadari bahwa nikmat Allah yang diberikan kepada
umat manusia tak terbilang jumlahnya. Andai umat manusia hendak menghitung
jumlah nikmat itu, niscaya ia tidak akan mampu menghitungnya. Secara tegas
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat Ibrahim (14); 34:
وَإِنْ
تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
(34)
Artinya: Dan jika kalian hendak menghitung nikmat Allah, maka
kalian tidak akan mampu menghitungnya, sesungguhnya manusia itu banyak berbuat
dlalim lagi banyak kufurnya. (Q.S. Ibrahim (14); 34)
Nikmat adalah segala sesuatu yang disenangi oleh manusia saat
mereka mendapatkannya. Jumlah nikmat yang diberikan Allah tak terbilang
sebagaimana ayat di atas. Akan tetapi semua nikmat itu wajib disyukuri. Tidak
dibenarkan jika ada di antara manusia kufur terhadap nikmat yang diberikan
Allah kepadanya. Lantas apakah mungkin seseorang mampu mensyukuri nikmat bila
menghitung saja mereka tidak mampu?
Untuk mensyukuri nikmat secara keseluruhan yang jumlahnya tidak ada
seorangpun yang tahu, nampaknya cukup sulit. Akan tetapi agar semua itu menjadi
mudah untuk disyukuri, para ulama membaginya menjadi dua macam nikmat, yaitu
nikmat ijad dan nikmat imdad.
Nikmat ijad artinya adalah nikmat diwujudkan oleh Allah SWT. Pada
awalnya kita tidak ada, kemudian di adakan oleh Allah SWT. Keberadaan kita di
dunia ini sesungguhnya adalah karena diwujudkan dan diadakan oleh Allah.
Seandainya saja Allah tidak berkehendak mwujudkan kita, maka kita tetap berada
dalam ketiadaan. Karenanya wujud kita dan seluruh makhluk ini disebut mumkinul
wujud. Artinya mungkin keberadaannya, bukan wajib. Sebaliknya Allah adalah
wajibul wujud, artinya wajib adanya. Tanpa adanya Allah mustahil seluruh dunia
beserta isinya ini akan ada.
Adapun nikmatul imdad adalah nikmat kita dipelihara oleh Allah SWT.
Hakikat dari imdad adalah berkumpulnya nikmat ijad Allah. Sekali saja kita
dihindari oleh nikmat ijad, maka otomatis kita akan ‘adam, tidak ada. Maka kewajiban
umat manusia adalah bersyukur terhadap kedua nikmat yang diberikan oleh Allah,
yakni nikmat ijad dan imdad.
Dunia dan isinya adalah satu anugerah yang diberikan oleh Allah
kepada seluruh manusia. Alam beserta isinya sesungguhnya diciptakan oleh Allah
untuk manusia. Keberadaan manusia di muka bumi ini, tiada lain sebagai
khalifah, pengganti Allah di muka bumi. Sebagai pengganti, maka sudah menjadi
tugas manusia untuk memelihara keseimbangan alam dan mempitensikan seluruh isi yang
ada di dalamnya sesuai dengan kehendak dan keinginan penciptanya. Karena itulah
Allah membekali manusia dengan akal.
Akal diciptakan oleh Allah agar manusia menggunakannya untuk
berpikir dalam mengelola sumber daya alam yang ada di dunia. Oleh karena itu
sudah seharusnya manusia terus belajar dan menempa diri agar mampu menjadi
seorang pribadi yang mampu mengemban amanah Allah sebagai khalifah. Puncak dari
amanah itu adalah pengabdian diri kepada Allah atau yang lazim disebut dengan
ibadah.
Ibadah sesungguhnya memiliki pengertian menghambakan diri. Menghambakan
diri sebagai makhluk Allah yang harus selalu taat kepada-Nya tanpa ada
pengingkaran sedikitpun terhadap-Nya. Ibadah tidak melulu dengan mengasingkan
diri di dalam kamar, shalat, mujahadah, wiridan dan memutar tasbih. Akan tetapi
semua hal yang kita lakukan asal bukan hal yang dilarang oleh Allah, sesungguhnya
adalah sebuah media dalam rangka menghambakan diri kepada-Nya, asalkan dalam
pelaksanaannya diniati dengan niat ibadah, ikhlas lillahi ta’ala.
Nah, dengan ibadah itulah syukur bisa diraih. Syukur di artikan
sebagai sharfu ni’am fiima yurdli bihi al-mun’im, artinya menggunakan nikmat
sesuai dengan apa yang diridlai oleh yang memberi nikmat. Karenanya dengan
pembagian nikmat menjadi dua bagian, ijad dan imdad, mensyukuri semua nikmat
yang diberikan oleh Allah menjadi satu keniscayaan.
Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam bi Shawab...
Komentar
Posting Komentar