Akal dan Agama
Sebagian orang menganggap bahwa agama itu tidak masuk akal. Tidak jarang
saat memperdebatkan sesuatu yang bersifat ilmiah, dalil agama dianggap sebagai
hal yang tidak relevan. Yang relevan hanyalan akal, karena akal adalah sumber
pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan. Sebaliknya, agama dianggap
sebagai sebuah doktrin kebenaran yang dipaksakan, hingga seringkali dinomer
sekiankan.
Ya, boleh jadi pendapat di atas memiliki unsur kebenaran. Namun,
tidak seratus persen benar. Ada sebagian dari doktrin agama yang memang
merupakan doktrin yang harus kita percayai. Akal seringkali tidak dapat
menjangkau hal – hal tersebut. Memang hal – hal tersebut bukan wilayah akal,
tetapi wilayah iman. Iman artinya percaya. Percaya dengan sepenuh hati tanpa
harus mempertanyakan sama sekali.
Hal – hal ghaib semisal surga, neraka, alam barzakh, kiamat dan
seterusnya, adalah wilayah – wilayah yang memang tidak akan pernah mampu
dijangkau oleh akal. Sehebat apapun seseorang, secerdas apapun, tidak akan
mampu menjangkau wilayah ini. Wilayah – wilayah ini termasuk wilayah ghaib yang
harus diimani. Secara tegas Allah berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah
(2); 3:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3)
Artinya: (Muttaqin) yaitu orang – orang yang beriman kepada yang
ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang telah Kami
rizkikan kepada mereka. (Q.S. al-Baqarah (2); 3)
Orang muttaqin adalah mereka yang mau beriman kepada yang ghaib,
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang diberikan Allah kepada
mereka. Nah, memang ada hal – hal yang tetap harus diimani meskipun hal tersebut
nampaknya tidak masuk akal. Tidak masuk akal, belum tentu tidak benar, boleh
jadi benar, hanya saja akal belum mampu menjangkaunya. Akal itu memiliki
keterbatasan. Akal hanya mampu menjangkau hal – hal yang menjadi ranahnya,
sehingga diluar ituu semua harus diimani.
Sebagai bukti akan keterbatasan akal adalah kemampuan akal yang
berbeda antara seorang yang satu dengan yang lain. Bila saja akal itu tidak
terbatas, tentu semua orang memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Nyatanya semua
orang memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda. Perbedaan itu pula yang
menyebabkan mereka memiliki pemahaman yang berbeda saat mendengar atau
mempelajari hal yang sama.
Pada dasarnya agama sangat menghargai peran akal. Bahkan salah satu
diantara tujuan syariat adalah menjaga akal. Hal ini menunjukkan betapa akal
sesungguhnya memiliki peran penting dalam kehidupan beragama. Dalam sebuah
hadits disebutkan:
الدين هو
العقل لادين لمن لا عقل له
Artinya: Agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang
tidak berakal.
Hadits ini banyak diriwayatkan dengan tanpa menyertakan sanad dan
perawinya. Namun, para ahli banyak memakainya karena memiliki kesesuain dengan
semangat al-Qur’an. Termasuk diantaranya adalah Harun Nasution yang mengutipnya
dalam bukunya, “Akal dan Wahyu dalam Islam”.
Agama adalah akal. Artinya nilai – nilai yang ada dalam ajaran
agama seringkali bersesuaian dengan apa yang dipikirkan oleh akal. Memang tidak
semuanya, tetapi sebagian besar sesuai. Karenanya seorang yang beragama tidak
dibenarkan jika menafikan peran akal dalam kehidupannya. Seorang yang taat
beragama semestinya berusaha untuk terus giat dalam belajar sehingga ia mampu
mempotensikan kekuatan akalnya secara maksimal.
Tanpa akal seseorang tidak memiliki agama. Bagaimana mungkin
seseorang akan mampu menjalankan kewajibannya sebagai makhluk berketuhanan,
bila ia tidak mampu menggunakan akalnya dengan baik? Tentu satu hal yang sulit
dipercaya oleh siapapun. Akal hampir – hampir menjadi unsur yang menentukan
dalam capaian kehidupan seseorang. Karenanya agama sangat menganjurkan umatnya
untuk memperhatikan akal. Buktinya perintah pertama yang turun kepada
Rasulullah, Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca. Bukankah membaca itu
adalah bagian dari upaya untuk memaksimalkan peran akal?
Nah, fakta ini kiranya cukup menjadi bukti bahwa agama dan akal
memiliki keterkaitan yang erat. Keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu
dengan lainnya. Tanpa akal, maka agama tidak sempurna. Sebaliknya tanpa agama
akal akan brutal tanpa mampu dikendalikan. Akal bisa jadi menjadi sumber dari
kebaikan dan hikmah, namun pada titik tertentu ia juga bisa menjadi sebuah
malapetaka. Agama yang akan menjadikan akal terarah sehingga menjadi sumber
kebaikan yang bermanfaat bagi semua umat manusia.
Mempotensikan peran akal secara maksimal sangat dianjurkan oleh
agama. banyak keterangan baik al-Qur’an maupun al-Hadits yang menunjukkan
perhatiannya pada peran akal. Akal yang dipotensikan secara maksimal akan
membawa perubahan besar dalam peradaban manusia. sebaliknya, bila peran akal
dikesampingkan, maka sudah bisa dipastikan bahwa kemunduran dari peradaban umat
manusia akan segera datang.
Begitu Islam datang di bumi Arab, masyarakat Arab dalam
keterpurukan. Keterpurukan dalam seluruh aspek kehidupan. Bahkan bangsa Arab
kala itu dikenal sebagai bangsa ummi. Bangsa yang tidak mengenal baca dan
tulis. Memang masih ada beberapa orang yang bisa membaca dan menulis. Tetapi jumlahnya
tidak seberapa. Mayoritas mereka tidak bisa membaca dan menulis. Bangsa ini
juga tidak dikenal oleh dunia. Tanahnya gersang dan nyaris tidak memiliki
peradaban yang bisa dibanggakan. Seringkali suku – suku yang mendiaminya
terlibat saling serang. Siapa kuat dia yang menang. Begitulah keberadaan bangsa
yang gersang dan terbelakang ini.
Diutusnya sosok Nabi Muhammad SAW kiranya menjadi “Sirajan Munira”,
lentera yang menerangi bangsa gelap gulita ini. Beliau mengajarkan baca dan
tulis. Al-Qur’an menjelaskan hal ini dalam Surat al-Jumu’ah (62); 3:
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ
كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (2)
Artinya: Dialah yang telah mengutus seorang Rasul kepada kaum
yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat – ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab
dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar – benar dalam kesesatan
yang nyata. (Q.S. al-Jumu’ah (62); 3)
Keberadaan bangsa Arab sebagai bangsa ummi menjadikan mereka berada
dalam kesesatan. Mereka berada dalam zaman jahiliyah. Pertikaian menjadi
kebiasaan. Hukum rimba berlaku. Yang kuat menindas yang lemah. Puncaknya mereka
merasa malu bila memiliki seorang anak perempuan hingga bayi perempuan yang
baru lahir akan dibunuh. Termasuk diantara sahabat yang pernah melakukan hal
tersebut sebelum akhirnya menerima kebenaran Islam adalah Umar Ibnu Khaththab.
Di utusnya Rasul bagi bangsa ini adalah untuk menyelamatkan mereka
dari kesesatan. Namun, Rasul tidak hanya di utus untuk kaum ummi ini, melainkan
bagi seluruh alam. Kedatangan Rasul menjadikan bangsa ummi ini mengalami
revolusi besar dalam sejarah perkembangannya. Bangsa yang dahulu tidak terjamah
oleh bangsa lain karena ketiadaan potensi alam dan peradaban yang bisa
diandalkan berubah menjadi bangsa besar.
Bahkan sejarah telah mencatat bahwa bangsa ini telah berhasil menumbangkan dua
negara adi daya sekaligus, yakni Persi dan Romawi. Sungguh satu sejarah yang
belum pernah diukir oleh bangsa manapun selain bangsa Arab.
Tidak hanya itu bangsa Arab juga berubah menjadi bangsa termaju
diantara bangsa dunia lainnya. Bahasanya saat itu telah menjadi bahasa
internasional. Ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang cepat melebihi kaum
yang lain. Pusat peradaban Islam berubah menjadi pusat peradaban dunia kala
itu. Semua itu terjadi manakala akal sebagai anugerah terbesar Tuhan
dipotensikan secara maksimal.
Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak belajar. Belajar bisa
dilakukan di mana saja dan kapan saja. Membaca adalah kuncinya. Membaca bisa
membuka cakrawala pemikiran. Dengan membaca wawasan akan semakin luas. Selain membaca
umat Islam juga harus menulis. Akal memiliki keterbatasan. Adakalanya ia tidak
mampu untuk mempertahankan pengetahuan yang telah dipelajarinya. Karenanya,
tulisanlah yang akan mengikat pengetahuan itu.
Dampak tulisan sangat dahsyat. Meski seseorang telah dikuburkan dan
jasadnya telah membusuk, ia tetap saja akan mampu melakukan perubahan
senyampang tulisannya ada dan masih dibaca. Bukankah kita mengenal sederetan
orang besar dari tulisannya? Imam al-Ghazali, Imam Syafi’I, Imam Hanafi, Imam
Bukhari dan sederetan nama besar lain. Semuanya tidak pernah kita jumpai, namun
kita mengenalnya melalui peninggalannya berupa tulisan. Lantas mengapa umat
Islam sekarang kurang bergairah untuk menulis? Ingat menulis adalah bagian dari
cara kita mensyukuri nikmat akal yang telah dianugerahkan untuk kita. Maka,
membacalah dan tuliskanlah.
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam....
Komentar
Posting Komentar