IAIN Tulungagung
Membangun Kampus Dakwah dan
Peradaban
IAIN Tulungagung Membangun Dakwah dan Peradaban |
Tidak ada hal yang paling membahagiakan bagi seorang penulis
melebihi keberhasilannya menyelesaikan sebuah artikel, mempublikasikannya,
dikonsumsi oleh banyak orang dan
diterbitkan. Memang, ada sebagian penulis yang memiliki profit oriented dalam
aktifitasnya. Akan tetapi, hampir bisa dipastikan bahwa kesemuanya lebih senang
dan bahagia manakala karyanya dibaca dan mendapat apresiasi dari para
pembacanya.
Satu lagi buku yang menjadi karya dari para dosen IAIN Tulungagung
terbit. Buku itu berjudul “IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan
Peradaban”. Al-hamdulillah kiranya saya patut bersyukur bisa ikut berkontribusi
dalam buku ini. Ya, harus tetap saya akui, dari sisi kualitas, saya paling
belakang. Tetapi setidaknya, buku ini cukup memberikan motivasi lagi bagi saya
khususnya untuk lebih banyak belajar lagi, utamanya dalam dunia tulis –
menulis. Dunia yang menuntut adanya proses ketelatenan, keuletan, ketekunan dan
keistiqamahan. Rangkain kata – kata yang mudah diucapkan, namun sulit untuk
dilakukan. Karenanya menulis perlu diperjuangkan.
Suara IAIN Tulungagung sebagai kampus dakwah dan peradaban saat ini
telah booming ditengah kehidupan masyarakat, khususnya Tulungagung. Tetapi
apakah benar IAIN telah menjadi kampus dakwah dan peradaban dalam arti yang
sebenarnya? Baik secara de facto maupun de jure nya? Jawabannya secara tegas
tentu belum. Tetapi bukan pula tidak mungkin. Bukankah semua hal bisa saja
terjadi di dunia ini?
Pada kenyataannya, memang ada pro kontra mengenai wacana yang
diusung oleh Rektor IAIN Tulungagung, Dr. Maftukhin, M.Ag. ini. Sebagian di
antaranya ada yang menaruh harapan besar, bahwa ke depan kampus ini akan
menjadi pusat dari peradaban. Sebagian yang lain ada yang masih meragukan dan
bahkan mungkin menganggap bahwa hal itu hanya sebatas utopia belaka. Lantas
bagaimana seharusnya?
Gagasan besar Rektor ini memang luar biasa. Karena luar biasanya
maka muncul berbagai tanggapan berkaitan dengannya, baik tanggapan positif
maupun negative. Semua itu saya rasa adalah sebuah kewajaran. Semua ide dan
gagasan pasti akan mendapatka ujian. Ujian itu sesungguhnya bukan hanya sekedar
untuk menguji keabsahannya saja. Lebih dari itu ujian itu juga berfungsi untuk
menempa ide dan gagasan itu agar lebih kuat dan menjadi hal yang patut untuk
dipertahankan.
Memang untuk menjadikan kampus IAIN sebagai kampus dakwah dan
peradaban bukan hal yang mudah. Perlu waktu dan proses yang panjang untuk
menuju kesana. Rektor sendiri juga menyampaikan hal tersebut dalam beberapa
kesempatan. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa puluh tahun kedepan untuk menjadikan kampus ini
sebagaimana yang diinginkan. Untuk itu sinergi dari seluruh sivitas akademika
sangat dibutuhkan guna mensukseskan hal itu.
Tanpa hal itu maka semuanya hanya berakhir pada utopia belaka.
Sebagai kampus yang baru saja beralih status dari STAIN ke IAIN
tentu banyak hal yang harus dibenahi dan ditata sedemikian rupa untuk menjadi
lebih baik dari sebelumnya. Masa transisi selalu saja ada hal – hal yang
kurang. Tetapi tidak mengapa, toh seiring perjalanan waktu semua itu akan bisa
diperbaiki, asalkan semua bahu membahu dalam memajukan kampus ini.
Sebenarnya upaya untuk memperbaiki citra IAIN baik secara kuantitas
maupun kualitasnya sudah semenjak dahulu terus dilakukan. Tetapi sekali lagi
semua itu bukan kerja ‘entengan’ se-‘enteng’ membalikkan telapak tangan. Banyak
orang mampu dan lihai mengkritik, tetapi mereka juga tidak mampu memberikan
solusi saat dibutuhkan. Kalaupun memberikan solusi ya, hanya sekedar teori
belaka. Teori yang berada di atas menara gading yang sulit diterjemahkan oleh
mereka yang memiliki keterbatasan dalam pemikiran. Jika demikian, maka tak
ubahnya mereka bagaikan pegadaian, “Menyelesaikan masalah, tambah
masalah”.
Saat Rasul mendapatkan isyarat bahwa kelak suatu ketika Romawi akan
tunduk pada kekuasan Islam, mungkin saat itu semua orang menganggap hal itu
adalah utopia belaka. Bagaikan mimpi disiang bolong. Bagaimana mungkin
sekelompok bangsa terbelakang, kecil dan tidak diperhitungkan sama sekali oleh
bangsa manapun, bisa menumbangkan rezim yang saat itu menjadi negara adi daya
di dunia. Sungguh suatu hal yang mustahal ibnu mustahil. Akan tetapi, keimanan
yang terpatri dalam sanubari muslim, ditambah dengan semangat membara untuk
meninggikan agama Allah, telah memberangus segala bentuk keraguan itu hingga
umat Islam mengalami kemenangan yang gemilang dan Romawi tunduk dalam kekuasaan
Islam.
Keimanan seringkali dipandang sebelah mata. Banyak orang sering
mengasumsikan bahwa iman hanyalah urusan mereka yang berada nun jauh dari dunia
modernitas. Ia hanyalah milik kaum kolot, klasik, terbelakang dan jauh dari
pusat peradaban. Berada di pojok pesantren dengan budaya tirakat, uzlah dan
seabrek image yang ditujukan kepadanya. Ya, bolehlah sebagian orang
berpandangan sinis semacam itu, tetapi ingat, bahwa diakui maupun tidak imanlah
yang nyata – nyata telah mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Gaung IAIN Tulungagung sebagaimana disuarakan oleh Rektor IAIN
kiranya tidak perlu diperdebatkan lagi. Yang terpenting sesungguhnya bukan
persoalan siap, layak atau tidak, dan mungkin atau tidak mungkin. Yang
terpenting, -menurut saya setidaknya ada sebuah penegasan tentang rancangan
bangunan kedepan. Rancangan itu akan meluruskan tujuan setiap sivitas akademika
yang ada di dalamnya untuk kemudian berjibaku dalam mewujudkannya. Tanpa sebuah
penegasan, nampaknya arah kedepan kurang bisa tertata dengan sedemikian
mungkin. Mampukah?
Jika kita bertanya antara mampu dan tidaknya, semua akan kembali
pada setiap individu yang ada di dalamnya. Adakah kemauan dan keyakinan untuk
berusaha mewujudkannya. Sekali lagi, iman memegang peranan penting di dalamnya.
Tanpa keimanan, langkah itu akan terseok – seok untuk kemudian terjatuh dan
tersungkur ke dalam kubangan lumpur tak bertepi. Semangat untuk membawa IAIN
menjadi kampus dakwah dan peradaban harus terus disuarakan. Sinergi sivitas
akademika diperlukan untuk mewujudkan cita – cita besar ini.
Diantara cara yang semestinya ditempuh untuk mewujudkan hal
tersebut adalah dengan menyuarakan literasi. Gerakan literasi kampus perlu
disuarakan dengan keras kepada setiap sivitas akademika yang ada di kampus ini.
Banyak orang yang pandai dalam bahasa komunikasinya, namun mereka lemah dalam
menulis. Hal ini sungguh disayangkan, padahal ide dan gagasan mereka sangat
brilliant. Akibatnya, ide dan gagasan itu hanya bisa dinikmati dan diikuti oleh
mereka yang ikut terlibat dalam perdiskusian bersamanya, sementara saat mereka
berpisah atau orang yang tidak ikut serta dalam perdiskusian itu tidak akan
pernah mendengar, mengetahui apalagi memahami ide dan gagasan brilliant
tersebut.
Lain halnya dengan mereka yang menuangkan ide dan gagasannya
melalui tulisan, baik di medsos, maupun karya tulis dalam bentuk buku. Pemikiran
mereka akan lebih abadi dan lebih bisa dinikmati oleh banyak pembaca. Bahkan tulisan
mereka bisa dibaca oleh mereka yang berada di zaman yang jauh dari zaman
mereka. Tentu ini bukan sekedar bualan, ini adalah kenyataan.
Tidak berlebihan kiranya, apabila Pramoedya Ananta Toer mengatakan,
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian”. Demikian tulisnya.
Jika IAIN Tulungagung ingin menjadi kampus pusat dakwah dan
peradaban, tentu semangat literasi harus digaungkan. Besarnya dunia akademik,
bukan karena bangunannya yang megah, akan tetapi seberapa banyak karya yang
bisa diberikan oleh masyarakat yang ada di dalamnya untuk kemudian memberikan
kontribusi bagi masyarakat menuju kehidupan yang lebih beradab. Banyaknya karya
tulis masyarakat dalam suatu kampus akan menjadi tolok ukur bagi kemajuan ilmu
dan pengetahuan yang ada di dalamnya.
Kehadiran buku antologi, “IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah
dan Peradaban”, adalah salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh IAIN
Tulungagung untuk mewujudkan cita – cita besar yang sedang dirintis oleh kampus
ini. Tantangan dan hambatan selalu ada, namun keyakinan dan keimanan yang
mengakar kuat dalam sanubari setiap sivitas akademika yang bersinergi
mewujudkan semua itu suatu ketika Insya Allah akan mendapat ijabah-Nya.
Dua Buku Antologi yang Saya Ikuti |
Terima kasih saya sampaikan kepada LP2M, khususnya kepada Dr. Ngainun
Naim, M.H.I yang terus bersemangat dalam menyuarakan “Literasi” di kampus
tercinta ini. Semoga saja saya bisa mengikuti langkahnya untuk menulis. Ya,
mohon maaf bila masih terlalu jauh dari kata ‘berkualitas’. Semoga PR saya dari
beliau segera terselesaikan. Setidaknya kehadiran dua buah buku antologi, “Inspirasi
dari Ruang kelas dan IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban”, yang
saya ikut berkontribusi di dalamnya, menjadi pemicu semangat untuk lebih
menekuni dunia tulis menulis.
Semoga Bermanfaat....
Allahu A'lam....
Komentar
Posting Komentar