Membawa Bekal dari Rumah
Membawa
bekal dari rumah atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah “mbontrot”
adalah satu tradisi orang dheso. Maklum, namanya juga orang ndeso. Jarang
pegang rupiah, yang ada hanya nasi dan sayur ala kadarnya, yang biasanya merupakan
hasil dari sawah atau kebun yang ada disekitar rumah. Untuk urusan lauk, bagi
orang ndeso mungkin adalah hal yang istimewa. Lebih sering mereka makan nasi
dan sayur seadanya tanpa lauk, bahkan kadang sayur itu juga sayur kemarin.
Istilah dhesonya, “BLENDRANG”.
Ya,
memang mbontrot identik dengan budaya orang dheso. Tetapi jangan salah, justru
sebenarnya banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari budaya mbontrot ini.
Lebih – lebih kaitannya dengan pola hidup sederhana dan hidup sehat. Saya
pikir, budaya mbontrot ini bisa jadi menjadi solusi untuk pola hidup sehat dan
sederhana.
Mungkin
ada anda akan dibilang katrok, tetapi tak apalah. Biarkan saja bila ada orang
yang mengatakan anda katrok, ndeso, dan seabrek lebel yang disematkan untuk
anda karena membawa bekal dari rumah. Kakean rengkek, ra jaman, ra efisien dan
seterusnya. Ok, biarkan saja. Pakai aja peribahasa, anjing menggonggong kafilah
tetap berlalu. Selesai, bukan begitu?
Semenjak
saya kuliah, saya termasuk orang yang tidak begitu mengenal dunia warung dengan
berbagai variannya. So, maaf kalau ada yang tanya, warung kuliner yang
rekomended menurut anda yang ada di daerah mana? Atau pertanyaan lain yang
semisal. Maaf, jawaban saya, “Saya kurang tau”. Ya, sekali lagi karena bukan
penggemar wisata kuliner.
Ya,
sesekali memang saya juga pernah ke warung,-kalau kepepet. Tapi lebih sering
saya membawa bekal dari rumah. Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari
tradisi mbontrot menurut saya.
Pertama,
dengan membawa bekal dari rumah, apa yang kita makan jauh lebih terkontrol.
Artinya, dari sisi pemerolehannya, proses pengolahan, kebersihan dan sebagainya
lebih bisa kita kontrol. Makanan yang masuk tubuh secara otomatis akan menjadi
darah, daging dan berbagai zat lain yang kesemuanya akan berpengaruh dalam
kehidupan kita. Bila yang masuk jelas, maka insya Allah semuanya akan berefek
baik. Sementara kalau kita pergi ke warung, kita tidak tahu dari mana bahan
yang diperoleh, bagaimana cara memprosesnya, bersih atau tidaknya, dan apa saja
bahan yang dicampurkan ke dalam makanan yang kita makan. Tentu, jika hal itu
berasal dari hal yang kurang atau bahkan tidak dibenarkan secara hukum, efeknya
juga akan negative, meski fiqih tetap mengatakan halal.
Kedua,
dengan membawa bekal dari rumah, rumah tangga akan semakin tentram. Mungkin
anda tidak setuju, tapi tak mengapa. Ini kan pendapat saya. Mengapa demikian?
Karena dengan membawa bekal dari rumah, ada perasaan yang berbeda dari masing –
masing pasangan. Ada rasa saling menghargai dan tanggung jawab, ada perasaan
dihargai saat hasil kerjanya dinikmati orang lain. Istri akan semakin sayang
pada suami karena ia lebih menyukai masakannya daripada masakan orang lain.
Sebaliknya suami merasa lebih diperhatikan oleh istrinya. Suasana yang semakin
menambah ketentraman dan keharmonisan dalam rumah tangga. Bayangkan saja, bila
suami tidak pernah merasakan masakan istri atau sebaliknya, suami tidak mau
memakan masakan istrinya. Hedehhh… bisa jadi malapetaka…
Ketiga,
bekal dari rumah itu lebih nikmat dan barakah. Kok bisa? Ya bisa dong. Bekal
dari rumah itu lebih nikmat dan barakah. Mengapa? Karena dimasak dengan penuh
cinta dan kasih sayang. Yang bikin nikmat itu sesungguhnya adalah karena cinta
dan kasih sayangnya. Karenanya bagi anda para istri yang merasa bahwa suaminya lebih
sering makan diluar daripada di rumah, coba saja dikoreksi bagaimana cara anda
masak. Apakah anda memasak masakan untuk keluarga anda dengan ikhlas, penuh
cinta dan kasih sayang atau keterpaksaan. Jika karena keterpaksaan, pantas saja
suami dan anak – anak anda lebih suka makan di luar. Hehehe…
Keempat,
bekal dari rumah itu sehat. Makanan dari rumah lebih sehat daripada di warung.
Mungkin anda akan bilang, lebih enak makan di warung. Boleh jadi, tetapi ingat,
orientasi penjual itu adalah laba. Laba akan diperoleh apabila banyak orang
yang mengunjungi warungnya. Mereka tidak peduli dengan kesehatan pengunjungnya,
yang penting banyak laba yang di dapatkan. So, mereka mungkin saja menggunakan
bahan – bahan penyedap berlebih yang kurang baik atau bahkan tidak baik untuk
kesehatan. Nah, akhirnya, masa tua penikmat kuliner banyak dihabiskan dengan
perjuangan melawan penyakit – penyakit kronis yang disebabkan karena berbagai
makananm dengan penyedap yang berlebih.
Kelima,
dengan membawa bekal dari rumah kita lebih bisa berhemat. Untuk makan di warung
sekali saja, mungkin kita harus merogoh Rp. 10.000,-, mungkin itu juga masih
jauh dari kata kenyang bagi yang terbiasa porsi ganda. Kelihatannya ndak
seberapa, tetapi kalau kita kalkulasikan selama satu bulan , tentu hasilnya
cukup lumayan. Ya, ndak seberapa bagi mereka yang jumlah penghasilannya ‘gede’,
tapi bagi mereka yang pas – pasan. Bisa jadi anaknya tidak kebagian uang jajan.
Hehehe…. Beda ceritanya kalau kita bawa bekal dari rumah. Mungkin sekitar
separunya saja sudah berlebih dan kenyang. Nah, dari sisi ini mbontrot, juga
mempunyai kelebihan. Bisa mengajarkan kita hidup hemat.
Keenam,
lebih menghargai waktu. Kenapa begitu? Mungkin sebagian orang akan bertanya
demikian. Tetapi itulah kenyataannya. Mereka yang biasa nongkrong di warung,
tentu lebih banyak membuang waktunya. Untuk apa? Sekedar menunggu pemilik
menyiapkan makanan, menyiapkan minum, menunggu lebih dinginnya es, atau agar
kopinya sedikit tidak terlalu panas. Belum lagi bila marungnya berjamaah -heheee
tidak hanya shalat ya yang jamaah itu, bisa jadi berjam – jam untuk
menghabiskan kopi atau rokok karena mesti banyak senda gurau dan ngobrol kesana
dan kemari. Hehehe… itu menurut pengamatan saya. Itu sekali nongkrong, bila dua
kali atau banyak kali? Nah, tinggal kalkulasi saja. Nah, pepatah “A time is
money”, kurang berlaku bagi mereka, apalagi, “Al-waktu atsmanu minadzdzahab”.
Ketujuh,
membawa bekal dari rumah bisa mengurangi peluang kemaksiatan. Saya bilang
begitu karena di warung seringkali dikunjungi banyak orang baik lelaki maupun
perempuan. Tidak jarang, diantara mereka ada yang menarik untuk sekedar
dipandang. Ya, semua kan tergantung pada orangnya brow…. Benar, tetapi tetap
saja setiap orang memiliki nafsu ketertatirkan kepada lain jenis, selama ia
masih orang yang normal. Lain ceritanya kalau ia bukan orang normal. Nah, ini
lah yang saya katakana sebagai peluang untuk melakukan kemaksiatan. Karenanya
membawa bekal dari rumah bisa meminimalisir seseorang berlaku maksiat.
Kedelapan,
Sembilan, sepuluh dan seterusnya silahkan anda cari dan analisa sendiri. Yang
jelas masih banyak lagi kalau kita mau mencari lagi. Sekarang semua kembali
pada diri kita sendiri – sendiri. Apakah kita akan bertahan pada tradisi ndeso
yang terbelakang, atau kita akan merubah diri kita dengan gaya hidup yang lebih
ngetren dan keren.
Ndeso
memang seolah berkonotasi negative, tetapi nyatanya kalau kita mau mencermati
kehidupan ndeso lebih nyaman dan menjanjikan. Kehidupan ndeso juga lebih sehat
bila dibandingkan dengan kehidupan orang kota. Tetangga juga lebih banyak,
teman dan handai tolan juga selalu siap menjadi tempat bersandar saat
kecapaian. Hehehe…
Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar