Tawassul Kepenulisan
Saat pertama anda mendengar istilah tawassul, apa yang terlintas dalam pikiran anda? Pergi ke pekuburan, dzikir dan wirid di sana, melafadzkan berbagai do’a atau bid’ah, khurafat dan sesat? Ah, terserah anda mau memikirkan apa. Itu urusan anda. Saya juga tidak ampil pusing bila anda menganggap tulisan ini tidak penting. Tetapi, tidak ada salahnya meluangkan waktu sedikit untuk melirik tulisan ini, melirik saja. Nggak papa to? Eh… ngarep amat!
Memang kata tawassul selalu akrab dengan dunia pekuburan, ziyarah ke tempat – tempat yang dianggap memiliki keramat, pergi ke makam para auliya untuk tabarukan sembari memanjatkan do’a di dekat pesareannya. Atau kalau tidak demikian, mengirimkan hadiyah fatihah kepada para leluhur yang mendahului, terutama para anbiya’ mursalin, auliya, syuhada’, ulama salaf al-shalihin dan semisalnya.
Sebagian umat Islam yang sependapat dengan tawassul menganggap bahwa tawassul adalah suluk jalan terabas bagi seseorang yang hendak menuju pada Tuhannya. Jalan ini relative lebih mudah dan sangat dianjurkan kepada mereka yang bergelar kaum awam. Kaum yang dianggap sebagai sebagai kalangan kelas bawah, karena dianggap sebagai kaum yang miskin pengetahuan. Tentu pengetahuan yang dimaksudkan di sini adalah pengetahuan agama.
Secara sederhana saya memaknai tawassul sebagai upaya seseorang untuk sampai pada suatu tujuan dengan cara mendekatkan diri kepada seseorang yang dianggap pernah sampai pada tujuan tersebut. Maaf, saya tidak mengkhususkan pada hal yang berbau religi. Saya memaknai tawassul secara umum. Sebagai missal, seseorang yang ingin menghadap kepada seorang pejabat, entah bupati, gubernur ataupun presiden. Untuk bertemu pejabat, bagi kalangan umum tentu bukan soal yang gampang. Apalagi menemui pejabat sekaliber presiden. Karenanya perlu bantuan dari seseorang yang memiliki wewenang khusus yang dipercaya oleh pejabat tersebut sehingga memudahkan jalan menuju kesana. Lantas bagaimana hokum tawassul itu?
Bagi saya tawassul itu sah – sah saja, bahkan memang sangat diperlukan dan dianjurkan bagi mereka yang masih awam, dalam arti umum. Mengapa? Karena orang awam identik dengan kebodohan dan ketidak tahuan. Karenanya seyogyanya ia bertawassul agar segera mulus jalannya menuju tujuan yang diinginkan. Tentu, ini bagi yang sependapat, urusan yang tidak ya, monggo, itu hak anda. Perintah tawassul sesungguhnya juga termaktub dalam al-Qur’an, yang memerintahkan kepada kita untuk mencari perantara (wasilah) dalam menuju kepada-Nya. Ayat inilah yang kemudian dianggap sebagai dasar sah dan diperbolehkan tawassul dalam Islam.
Mereka yang kurang sependapat dengan konsep tawassul adakalanya memahami perintah dalam ayat tersebut adalah perintah bertawasul dengan amal yang shalih, bukan kepada auliya atau orang – orang shalih lainnya. Bagi mereka perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah, khurafat bahkan bisa jadi mengarah kea rah perbuatan syirik. Lho? Mengapa jadi membahas soal perbedaan ini? Bukankah yang ingin ditulis adalah tawassul kepenulisan?
Ok… baiklah saya akan mencoba sedikit membahas tentang tawassul kepenulisan. Apa yang saya ingin sampaikan dalam tulisan ini? Sederhana saja apa yang ingin saya curahkan di sini. Ya, tentang tawassul itu, tapi tawassul dalam bidang kepenulisan.
Kalau tawassul secara umum telah saya sampaikan di depan, tinggal saja menarik ke ranah kepenulisan. Tawassul kepenulisan saya artikan sebagai upaya untuk mendekat pada diri orang yang ahli dan lihai dalam bidang kepenulisan agar semakin dekat pada tujuan dalam bidang kepenulisan. Mereka yang dekat dengan penjual minyak wangi akan berbau wangi, mereka yang dekat dengan penjual minyak akan berbau minyak dan seterusnya. Ini adalah hukum alam yang tidak terbantahkan.
Konsep ini selain bersumber dari al-Qur’an, sesungguhnya juga sangat banyak bertebaran dalam hadits dan qaul para salaf shalih. Termasuk si antara adalah hadits yang terdapat dalam kitab “Khazinah al-Asrar” pada bab akhir yang artinya “Bersamalah Allah, apabila engkau tidak bisa bersama Allah, maka bersamalah dengan orang yang bersama dengan Allah, sesunguhnya ia akan menghantarkanmu sampai kepada Allah apabila engkau bersamanya”.
Secara dzahir hadits ini tidak menunjukkan adanya perintah tawassul, akan tetapi perintah itru tersirat dalam perintah bersama dengan mereka yang selalu bersama Allah. Demikian halnya dengan mereka yang ingin memiliki kemampuan menulis yang baik. Tawassul dalam arti mendekatkan diri dan bergaul bersama dengan mereka yang memiliki kompetensi dalam bidang kepenulisan sangat dianjurkan, disamping tentunya terus berusaha menempa diri dengan terus membiasakan menulis, dan menambah pengetahuan dengan membaca, membaca dan membaca.
Penulis yang baik, haruslah pembaca yang baik, namun tidak sebaliknya. Bila kita ingin menjadi seorang penulis yang baik, -tentu saya masih jauh dari itu, membaca adalah hal yang tidak boleh ditawar lagi. Pak Naim mengatakan, membaca itu adalah gizi dalam menulis. Tanpa membaca tulisan yang dihasilkan akan terasa hambar, kehilangan daya tariknya dan pada akhirnya tidak ada seorangpun yang mau membaca.
Selain menulis dan membaca, saya kira hal terpenting bagi seorang penulis, -hampir – hampir saya katakan wajib, adalah tawassul kepenulisan itu. Banyak berkumpul dan mendekat kepada para penulis. Jangan salah pula mengartikan, tidak mesti berkumpul dan mendekat itu diartikan secara fisik, apalagi di zaman yang serba canggih seperti saat ini. Semua proses itu bisa dilakukan melalui media, entah Facebook, Whatshap, line atau yang lain.
Tawassul kepenulisan ini menjadi penting karena tidak jarang bagi seorang penulis pemula seperti saya, misalnya, mengalami kejenuhan pada titik tertentu. Bukan hanya itu boleh jadi di saat semangatnya membuncah, justru ia mengalami kegersangan ide dan gagasan yang hendak dituangkan. Atau kalau tidak demikian, bisa jadi saat asyik menulis, ia kehilangan ide sehingga tulisannyapun urung selesai. Bisa anda bayangkan betapa tidak enak rasanya, ibarat anda sedang kelaparan, naik motor kencang kerumah, berharap masakan emak yang lezat telah siap, namun, apa boleh dikata, ternyata sesampai dirumah begitu membuka ‘irek’, … hmm.. zonk hasilnya. Nyesek bukan????
Nah, disinilah tawassul diperlukan bagi seorang pemula untuk mematri kembali semangatnya yang mulai meredup, menyemai kembali ide yang lari, untuk kemudian bangkit dan menulis lagi. Tanpa bertawassul rasanya sulit untuk memulai kembali, apalagi jika jatuhnya lama. Tentu mematri kembali semangat yang telah hilang, bukanlah urusan yang gampang.
Jadi jangan salah mengartikan tawassul, jangan pula mengharamkan tawassul apalagi tawassul kepenulisan. Hehehe.. masih ragu untuk tawassul??? Yuk tawassulan!!
Lahum al-Fatihah…. 7x
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...
Saat pertama anda mendengar istilah tawassul, apa yang terlintas dalam pikiran anda? Pergi ke pekuburan, dzikir dan wirid di sana, melafadzkan berbagai do’a atau bid’ah, khurafat dan sesat? Ah, terserah anda mau memikirkan apa. Itu urusan anda. Saya juga tidak ampil pusing bila anda menganggap tulisan ini tidak penting. Tetapi, tidak ada salahnya meluangkan waktu sedikit untuk melirik tulisan ini, melirik saja. Nggak papa to? Eh… ngarep amat!
Memang kata tawassul selalu akrab dengan dunia pekuburan, ziyarah ke tempat – tempat yang dianggap memiliki keramat, pergi ke makam para auliya untuk tabarukan sembari memanjatkan do’a di dekat pesareannya. Atau kalau tidak demikian, mengirimkan hadiyah fatihah kepada para leluhur yang mendahului, terutama para anbiya’ mursalin, auliya, syuhada’, ulama salaf al-shalihin dan semisalnya.
Sebagian umat Islam yang sependapat dengan tawassul menganggap bahwa tawassul adalah suluk jalan terabas bagi seseorang yang hendak menuju pada Tuhannya. Jalan ini relative lebih mudah dan sangat dianjurkan kepada mereka yang bergelar kaum awam. Kaum yang dianggap sebagai sebagai kalangan kelas bawah, karena dianggap sebagai kaum yang miskin pengetahuan. Tentu pengetahuan yang dimaksudkan di sini adalah pengetahuan agama.
Secara sederhana saya memaknai tawassul sebagai upaya seseorang untuk sampai pada suatu tujuan dengan cara mendekatkan diri kepada seseorang yang dianggap pernah sampai pada tujuan tersebut. Maaf, saya tidak mengkhususkan pada hal yang berbau religi. Saya memaknai tawassul secara umum. Sebagai missal, seseorang yang ingin menghadap kepada seorang pejabat, entah bupati, gubernur ataupun presiden. Untuk bertemu pejabat, bagi kalangan umum tentu bukan soal yang gampang. Apalagi menemui pejabat sekaliber presiden. Karenanya perlu bantuan dari seseorang yang memiliki wewenang khusus yang dipercaya oleh pejabat tersebut sehingga memudahkan jalan menuju kesana. Lantas bagaimana hokum tawassul itu?
Bagi saya tawassul itu sah – sah saja, bahkan memang sangat diperlukan dan dianjurkan bagi mereka yang masih awam, dalam arti umum. Mengapa? Karena orang awam identik dengan kebodohan dan ketidak tahuan. Karenanya seyogyanya ia bertawassul agar segera mulus jalannya menuju tujuan yang diinginkan. Tentu, ini bagi yang sependapat, urusan yang tidak ya, monggo, itu hak anda. Perintah tawassul sesungguhnya juga termaktub dalam al-Qur’an, yang memerintahkan kepada kita untuk mencari perantara (wasilah) dalam menuju kepada-Nya. Ayat inilah yang kemudian dianggap sebagai dasar sah dan diperbolehkan tawassul dalam Islam.
Mereka yang kurang sependapat dengan konsep tawassul adakalanya memahami perintah dalam ayat tersebut adalah perintah bertawasul dengan amal yang shalih, bukan kepada auliya atau orang – orang shalih lainnya. Bagi mereka perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah, khurafat bahkan bisa jadi mengarah kea rah perbuatan syirik. Lho? Mengapa jadi membahas soal perbedaan ini? Bukankah yang ingin ditulis adalah tawassul kepenulisan?
Ok… baiklah saya akan mencoba sedikit membahas tentang tawassul kepenulisan. Apa yang saya ingin sampaikan dalam tulisan ini? Sederhana saja apa yang ingin saya curahkan di sini. Ya, tentang tawassul itu, tapi tawassul dalam bidang kepenulisan.
Kalau tawassul secara umum telah saya sampaikan di depan, tinggal saja menarik ke ranah kepenulisan. Tawassul kepenulisan saya artikan sebagai upaya untuk mendekat pada diri orang yang ahli dan lihai dalam bidang kepenulisan agar semakin dekat pada tujuan dalam bidang kepenulisan. Mereka yang dekat dengan penjual minyak wangi akan berbau wangi, mereka yang dekat dengan penjual minyak akan berbau minyak dan seterusnya. Ini adalah hukum alam yang tidak terbantahkan.
Konsep ini selain bersumber dari al-Qur’an, sesungguhnya juga sangat banyak bertebaran dalam hadits dan qaul para salaf shalih. Termasuk si antara adalah hadits yang terdapat dalam kitab “Khazinah al-Asrar” pada bab akhir yang artinya “Bersamalah Allah, apabila engkau tidak bisa bersama Allah, maka bersamalah dengan orang yang bersama dengan Allah, sesunguhnya ia akan menghantarkanmu sampai kepada Allah apabila engkau bersamanya”.
Secara dzahir hadits ini tidak menunjukkan adanya perintah tawassul, akan tetapi perintah itru tersirat dalam perintah bersama dengan mereka yang selalu bersama Allah. Demikian halnya dengan mereka yang ingin memiliki kemampuan menulis yang baik. Tawassul dalam arti mendekatkan diri dan bergaul bersama dengan mereka yang memiliki kompetensi dalam bidang kepenulisan sangat dianjurkan, disamping tentunya terus berusaha menempa diri dengan terus membiasakan menulis, dan menambah pengetahuan dengan membaca, membaca dan membaca.
Penulis yang baik, haruslah pembaca yang baik, namun tidak sebaliknya. Bila kita ingin menjadi seorang penulis yang baik, -tentu saya masih jauh dari itu, membaca adalah hal yang tidak boleh ditawar lagi. Pak Naim mengatakan, membaca itu adalah gizi dalam menulis. Tanpa membaca tulisan yang dihasilkan akan terasa hambar, kehilangan daya tariknya dan pada akhirnya tidak ada seorangpun yang mau membaca.
Selain menulis dan membaca, saya kira hal terpenting bagi seorang penulis, -hampir – hampir saya katakan wajib, adalah tawassul kepenulisan itu. Banyak berkumpul dan mendekat kepada para penulis. Jangan salah pula mengartikan, tidak mesti berkumpul dan mendekat itu diartikan secara fisik, apalagi di zaman yang serba canggih seperti saat ini. Semua proses itu bisa dilakukan melalui media, entah Facebook, Whatshap, line atau yang lain.
Tawassul kepenulisan ini menjadi penting karena tidak jarang bagi seorang penulis pemula seperti saya, misalnya, mengalami kejenuhan pada titik tertentu. Bukan hanya itu boleh jadi di saat semangatnya membuncah, justru ia mengalami kegersangan ide dan gagasan yang hendak dituangkan. Atau kalau tidak demikian, bisa jadi saat asyik menulis, ia kehilangan ide sehingga tulisannyapun urung selesai. Bisa anda bayangkan betapa tidak enak rasanya, ibarat anda sedang kelaparan, naik motor kencang kerumah, berharap masakan emak yang lezat telah siap, namun, apa boleh dikata, ternyata sesampai dirumah begitu membuka ‘irek’, … hmm.. zonk hasilnya. Nyesek bukan????
Nah, disinilah tawassul diperlukan bagi seorang pemula untuk mematri kembali semangatnya yang mulai meredup, menyemai kembali ide yang lari, untuk kemudian bangkit dan menulis lagi. Tanpa bertawassul rasanya sulit untuk memulai kembali, apalagi jika jatuhnya lama. Tentu mematri kembali semangat yang telah hilang, bukanlah urusan yang gampang.
Jadi jangan salah mengartikan tawassul, jangan pula mengharamkan tawassul apalagi tawassul kepenulisan. Hehehe.. masih ragu untuk tawassul??? Yuk tawassulan!!
Lahum al-Fatihah…. 7x
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar