Diam Adalah Emas
Sudah
menjadi kodrat manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Makhluk yang tidak
bisa lepas dari yang lainnya. Selalu saja mereka membutuhkan satu dengan
lainnya, baik dalam urusan mencari nafkah hingga sekedar berbagi cerita atau
bahkan menebar gosip yang sedang hangat di tengah komunitas masyarakat.
Seorang
yang memiliki kepekaan sosial tentu tidak akan mengabaikan apa yang ada di
sekelilingnya. Dia akan merespon semua yang terjadi di sekelilingnya bahkan dia
aktif dan berusaha untuk menjadikan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya
memiliki nilai guna bagi dirinya, keluarga, lingkungan dan masyarakat. Itulah
jiwa sosial yang kental di tengah kehidupan masyarakat khususnya mereka yang
tinggal di area pedesaan.
Seiring
perjalanan waktu, terjadilah pergeseran-pergeseran di tengah masyarakat.
Pergeseran ini sebagian bernilai positif, sehingga bisa mengangkat taraf hidup
masyarakat, memajukannya dan pada akhirnya membawa manusia pada puncak
peradaban. Taruhlah sebagai contohnya adalah penemuan berbagai alat-alat
canggih dalam bidang iptek. Cepatnya arus informasi yang bisa kita akses
sewaktu-waktu tanpa terbatas oleh ruang dan waktu.
Tembok-tembok
kokoh yang menjadi batas wilayah rumah, desa, kabupaten, profinsi, negara dan
dunia tidak lagi mampu membendung derasnya informasi yang datang. Banyak di
antara remaja yang terjebak uforia derasnya laju kemajuan ini. Mereka terbuai
dengan berbagai kecanggihan yang ada hingga melupakan tugas utama belajarnya.
Menempa diri dengan berbagai ketrampilan agar dikemudian hari mereka mampu
menjadi pengendali dari leju perkembangan zaman.
Di
sisi lain, kemajuan-kemajuan itu juga membawa dampak negative. Semakin
merajalelanya arus kriminalitas, budaya kebarat-baratan yang menjamur di tengah
kehidupan remaja, minum-minuman keras dan seterusnya. Jiwa sosial yang dulunya
kuat tertanam di dalam relung masyarakat sedikit demi sedikit memudar. Banyak
pemuda yang tidak lagi mengindahkan tatakrama dan sopan-santun saat bercakap
dengan yang lebih tua. Bahkan sekedar “undang-undang” merekapun tak
mampu sehingga diganti dengan selembar kertas untuk undangan “kenduri”.
Inilah
fenomena yang benar-benar terjadi di tengah derasnya arus informasi. Secara
fisik, boleh jadi kita dekat, namun sesungguhnya kita jauh. Komunikasi telah digantikan
oleh whatsap, twitter, facebook dan sejenisnya. Banyak remaja yang
terjebak dalam suasana seperti ini. Mereka asyik di dunia maya, namun bermuram
durja di tataran realitasnya.
Artikel
ini sesunguhnya berawal dari pertanyaan yang diajukan seorang mahasiswa. Dia
bilang, “Ustadz pepatah bilang, Diam itu emas. Lantas bagaimana sikap kita
sebagai mahasiswa saat di kelas. Apakah sebaiknya kita diam saat diskusi di
kelas atau bagaimana?”
Memang,
ada peribahasa yang mengatakan bahwa diam itu emas. Tetapi yang harus
diperhatikan adalah apakah itu berlaku secara keseluruhan dalam semua hal?
Tentu jawabnya adalah tidak. Ada saat di mana kita lebih baik diam, ada pula
saat di mana suara kita harus di dengar.
Saat
anda berada di ruang kuliah dan diskusi bersama teman-teman anda, tentu suara
anda sangatlah dibutuhkan. Anda harus aktif memberikan tanggapan, baik untuk
sekedar bertanya, lebih baik lagi memberikan tawaran solusi yang disertai
dengan argument yang diperkuat dengan rujukan. Bukan hanya sekedar “Sing
penting omong”.
Ini
namanya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika anda hanya diam saat kuliah,
justru anda sedang dlalim, karena anda dibutuhkan suaranya. Sebaliknya, jika
teman, atau dosen anda sedang menjelaskan materi, maka anda harus diam. Jangan
malah membuat forum di dalam forum. Inilah yang disebut adil. Adil itu mampu
meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Dalam
peribahasa Arab disebutkan ungkapan yang senada dengan hal ini, yaitu:
السكوت سلامة
Artinya:
“Diam itu selamat”.
Apa
maksut ungkapan ini? Banyak maksud yang terkandung dalam ungkapan ini. Jika
anda sedang berada dalam komunitas yang di dalamnya diperbincangkan gosip
tentang seseorang misalnya. Artinya anda berada di lingkungan yang sedang
melakukan ghibah, maka diamlah. Itu lebih menyelamatkanmu. Itu jika kamu
sedang tidak mampu untuk menghentikannya. Karena saat kamu menghentikan
barangkali kamu takut di cap begini dan begitu. Maka diam lebih baik bagimu dan
itu akan menyelamatkanmu. Menyelamatkanmu dari celaan temanmu dan menyelamatkan
dari dosa ghibah. Bukankah ghibah itu perbuatan dosa? Allah Swt
berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Hujurat (49); 12:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Hujurat (49); 12)
Di
saat yang lain, seorang bodoh mengajak anda untuk berdebat. Anda tahu secara
pasti bahwa perdebatan dengannya hanya akan menyisakan persoalan, karena dia
tidak akan pernah mau untuk menerima hujjah dalam bentuk apapun. Yang
diinginkannya hanyalah kemenangan atasmu dalam debat itu. Maka diamlah, karena
diammu menyelamatkanmu. Diam adalah jawaban terbaik bagi si “bodoh” yang
terjangkit penyakit “ngengkel”.
Ada
saatnya juga datang kepadamu suatu informasi yang kamu tidak tahu secara pasti
kebenarannya ataupun ketidakbenarannya. Maka dalam kondisi tersebut sebaiknya
anda diam karena hal itu lebih menyelamatkanmu dari jatuhnya dirimu ke kubangan
“fitnah”. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Agar dirimu tidak
terjebak dalam dosa besar tersebut, maka lebih baik anda diam saja. Besarnya
dosa fitnah telah diingatkan pula oleh al-Qur’an dalam Surat al-Baqarah (2);
191:
وَاقْتُلُوهُمْ
حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ
أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى
يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ
الْكَافِرِينَ
Artinya:
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai
mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan
fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi
mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika
mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah
balasan bagi orang-orang kafir.(QS.
Al-Baqarah (2); 191)
Di sisi lain saat kita dituntut untuk berbicara, maka kita harus
berbicara. Jangan hanya diam saat anda dituntut untuk berbicara. Katakanlah
yang haq meski itu pahit rasanya. Bahkan kalau kita mencermati apa yang
termaktub di al-Qur’an, orang-orang yang diam saat ada kemaksiatan yang
tersebar, orang-orang itu justru dilaknat oleh Allah, sebagaimana orang-orang
kafir dari bani Israil. Perhatikan ayat berikut:
لُعِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ
مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ كَانُوا لا
يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Artinya:
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel
dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu
mereka perbuat itu. (QS. Al-Maidah (5);
78-79)
Diam memang menyelamatkan, dan emas nilainya di saat yang benar.
Namun, di saat yang lain, diam justru bisa menjadi pemicu dilaknatnya
seseorang. Karena itu yang terpenting adalah tempatkan sesuatu pada tempatnya,
dan tetaplah menjadi seorang yang berlaku lurus. Siap berbicara di saat
dibutuhkan dan mampu diam disaat yang benar.
Subhanallah ngeh ustad
BalasHapusSemoga Allah jadikan kita semua termasuk orang-orang yang adil. Aamiin...
Hapus