Anjuran Belajar
Turunnya
wahyu pertama Surat al-Alaq (96); 1-5, merupakan satu tonggak sejarah revolusi
bangsa Arab. Bangsa Arab yang kala itu hidup dalam keterpurukan dalam mayoritas
aspek kehidupan. Saking terpuruknya bangsa Arab dikenal sebagai bangsa ummi,
yakni bangsa yang tidak mengenal baca tulis/buta huruf.
Kehidupan
bangsa Arab kala itu jauh dari kata “maju” dan “beradab”. Dari sisi
pemerintahan, tata kota, hingga ilmu pengetahuan hampir tidak ada yang
menunjukkan adanya kehidupan yang maju
dan beradab. Dari sisi kepercayaan bangsa Arab banyak yang menyembah berhala
yang mereka ciptakan sendiri. Diantanya adalah latta, uzza, manat dan hubal.
Dari
sisi sosiologis, bangsa Arab tidak menghargai kaum hawa, sebagai seorang yang
telah melahirkan dan merawat mereka saat masih kecil. Perempuan cenderung
dipinggirkan dan bahkan tidak segan-segan mereka membunuh dan mengubur bayi
perempuan hidup-hidup karena merasa malu. Sungguh satu kehidupan yang sangat
jauh dari kata “berperikemanusiaan”.
Islam
hadir dengan wahyu yang diturunkan pada diri Nabi Muhammad Saw yang menyapa
manusia pertama kalinya dengan perintah “iqra”, bacalah. Tentu turunnya
wahyu yang pertama dengan perintah “iqra”, bacalah mengandung makna
mendalam bagi bangsa Arab. Bangsa yang semula belum mengenal baca tulis, belum
mengenal huruf, dan tidak mampu dan bahkan tidak mau membaca semua kejadian dan
peristiwa yang ada di sekelilingnya, disentuh hatinya oleh al-Qur’an dengan
perintah “iqra”.
Bagi
mereka yang masih tetap dengan keyakinan primitifnya, tentu akan menolak,
karena hal tersebut dianggap sebagai hal tabu, tidak biasa dan seolah tidak
bermanfaat, karena tidak menghasilkan materi. Demikian itulah keyakinan
orang-orang yang masih dibelenggu oleh jeratan “jahiliyah” dalam
dirinya. Manfaat tidak diukur melainkan dengan seberapa banyak materi yang bisa
mereka kumpulkan dengannya.
Tentu,
proses pertama dalam seruan “iqra” mendapat banyak penentangan dari para
“jahilin” dan “juhala” yang notabenenya adalah para pemangku
kekuasaan dengan sederetan kekayaan yang tak terhitung jumlahnya. Mereka berusaha
membendung “semangat perubahan” yang disuarakan seorang pemuda yang
dulunya hanyalah penggembala kambing. Muncullah sederetan nama besar penentang
gerakan perubahan ini semisal Abu Lahab, Abu Jahal, Abu Sufyan dan sederetan
nama besar lainnya.
Semakin
sulit usaha yang mereka lakukan untuk membendung kekuatan besar arus perubahan
itu, sehingga mereka melakukan penetrasi besar-besaran dengan intimidasi baik
secara psikis maupun fisik. Pada akhirnya untuk menyelamatkan keimanan mereka
beberapa sahabat terpaksa harus hijrah ke Ethiopia sebanyak dua kali. Intimidasi
tidak berhenti sampai di situ hingga dilakukanlah sebuah konspirasi untuk
menghabisi Nabi Muhammad Saw. Namun Allah Swt menyelamatkannya dan
menghijrahkannya ke Madinah, untuk meneruskan dakwah dan melanjutkan semangat
perubahannya di tempat yang baru.
“Iqra” telah membawa dampak yang begitu luar biasa tidak hanya bangi
penduduk Makkah dan Madinah periode awal, namun juga masyarakat modern hari
ini. Bangsa Arab yang dahulu terpuruk dalam segala hal karena tidak pernah mau
membaca, telah berubah menjadi bangsa yang menjadi cikal bakal peradaban dunia.
Dengan
demikian Islam pada dasarnya sangat menganjurkan bagi umatnya untuk menuntut
ilmu. Kewajiban menuntut ilmu ini tidak hanya sebatas pada ilmu-ilmu yang
bersifat ukhrawi, atau ilmu agama semata. Namun, pada dasarnya umat
Islam juga sangat dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan dengan segala bentuk
variannya.
Islam
tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan. Sumber ilmu pengetahuan pada
dasarnya berasal dari dzat yang sama, yakni dari Allah Swt. Sebagai buktinya
adalah pada wahyu yang pertama kali turun, yakni al-Alaq (96); 4-5 disebutkan:
الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
عَلَّمَ
الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya:
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq (96); 4-5)
Allah lah yang mengar manusia dengan perantaraan qalam/pena. Mengajarkan
sesuatu yang bisa ditangkap oleh indera manusia, bisa dicerna oleh akal karena
ilmu pengetahuan tersebut bersifat saintific empiric yang bisa dijangkau
oleh indera dan akal manusia. Namun, saat kita telaah ayat berikutnya, Allah
memfirmankan, bahwa Dia telah mengajarkan kepada manusia pengetahuan yang ia
tidak ketahui.
Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh indera, dan bahkan akal
manusia. seperti pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib yang hanya mampu
dijangkau oleh beberapa orang yang teleh diberikan anugerah kepadanya. Orang yang
senantiasa terus mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah akan menganugerahkan
satu pengetahuan yang tidak diberikan-Nya kepada yang lain. Pengetahuan yang
bersifat spiritual dan transcendental yang hanya bisa dipahami
oleh orang yang dipilih-Nya.
Seorang yang telah mendapat anugerah ilmu dan pengetahuan dari
Allah Swt, meskipun dia masih muda, namun pada hakikatnya dia adalah orang
besar dan mulia. Mulia di sisi manusia dan di hadapan Allah Swt. Sebaliknya, mereka
yang tidak dianugerahi pengetahuan/orang-orang juhala’ adalah orang
kecil dan rendah yang tidak memiliki kedudukan di tengah-tengah manusia meski
usia mereka sudah menua. Petuah Arab mengatakan:
العالم كبير وإن كان
حدثا والجاهل صغير وإن كان شيخا
تعلم فليس المرء يولد
عالما وليس أخو علم كمن هو جاهل
وإن كبير القوم لاعلم
عنده صغير إذا التفت عليه المحافل
Artinya:
“Seorang pandai itu (berkedudukan) agung (mulia) meski dia masih muda,
sementara orang bodoh itu kecil (rendah) meski ia seorang tua. Belajarlah
karena tak seorangpun terlahir (dalam keadaan) pandai, dan tiadalah seorang
pandai itu sama dengan orang bodoh. Dan sesungguhnya keagungan kaum yang tidak
memiliki ilmu itu kecil (rendah) saat orang-orang berpaling darinya.”
Karena
itu belajar adalah kunci bagi semua umat Islam yang ingin meraih kesuksesan di
masa mendatang. Jangan pernah berhenti untuk belajar, karena belajar itu tidak
mengenal batas. Umat Islam berkewajiban untuk terus belajar selama nyawa masih
ada dan melekat dengan jasadnya. Tidak ada alasan untuk tidak belajar.
Belajar
akan membuka cakrawala pemikiran dan wawassan hingga seseorang mampu menjadi
seorang yang bijak. Menjadi seorang yang tidak mempersoalkan perbedaan, namun
menyadari perbedaan itu adalah anugerah yang telah diberikan Allah pada
ciptaan-Nya. Menjadikan manusia bijak dalam bersikap sehingga tidak mudah untuk
menyalahkan mereka yang berlainan keyakinan dengannya. Menjadikan manusia bijak
dengan tidak men-takfir-kan mereka yang berbeda paham dan keyakinan. Mereka
toleran dalam bersikap dan tetap berpegang pada jalan kebenaran. Jalan yang
diridhai Allah Swt.
Komentar
Posting Komentar