Syarat Taubat


Syarat Taubat

Beberapa saat yang lalu saya telah mengangkat tema tentang Istiqamah dalam bertaubat. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang mengupas tentang taubat. Taubat secara sederhana diartikan sebagai kembali dari hal-hal yang dibenci syara’ kepada hal-hal yang dipuji dan diridhai syara’. Taubat memiliki awal dan akhir sebagaimana pembahasan sebelumnya. Tulisan ini lebih akan membahas mengenai syarat-syarat taubat.

Orang-orang yang bergumul dalam wilayah “hakikat” dari para pencari jalan menuju kepada Allah Swt (salikin) menyatakan bahwa seorang yang merasa menyesal terhadap perbuatan dosa yang telah dilakukannya dan mengakui akan kesalahan yang dilakukan, telah sah taubatnya. Karena Allah Swt tidak menceritakan taubat Nabi Adam as melainkan pengakuan dan rasa penyesalan. Seandainya saja ada hal lain yang mesti ada dalam taubat, maka pastilah Allah Swt akan menambahkan cerita tersebut untuk umat manusia.

Menyesali kesalahan-kesalah yang telah dilakukan menjadi satu hal penting yang tidak bisa ditawar lagi bagi seorang yang menghendaki taubat di jalan Allah. Tanpa adanya unsure penyesalan, pastilah seseorang akan cenderung untuk mengulangi segala bentuk kesalahan dan dosa yang pernah dilakukannya. Ini sangat wajar, mengingat manusia diciptakan dengan dibekali potensi nafsu dan syahwat yang melekat dan tidak bisa dipisahkan darinya hingga maut menjemputnya.

Melekatnya syahwat dan nafsu yang biasanya disertai dengan hal-hal yang dilarang oleh syari’at merupakan salah satu bentuk tipu daya untuk menjerumuskan manusia dari jalan yang benar. Karena itu Rasulullah Saw mengingatkan umatnya dan menyatakan bahwa surga senantiasa dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci nafsu dan neraka dihiasi oleh hal-hal yang disenangi oleh nafsu. Sabda Rasulullah Saw:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ وَحُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنِي وَرْقَاءُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ

Artinya: (MUSLIM - 5049) : Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dan Humaid dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Surga diliputi hal-hal yang tidak menyenangkan dan neraka diliputi syahwat." Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Syababah telah menceritakan kepadaku Warqa` dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dari nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam seperِtinya. (HR. Muslim)

Surga senantiasa dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disenangi oleh nafsu sementara neraka dikelilingi oleh hal-hal yang disenangi nafsu. Karena itu hidup ini sesungguhnya adalah satu perjuangan. Perjuangan untuk menundukkan dan mengalahkan nafsu.

Tidak ada jaminan bahwa mereka yang berbadan tegap, berotot kuat bisa mengalahkan nafsunya, sementara mereka yang berbadan kerempeng dan berotot kecil selalu dikalahkan nafsunya. Kemampuan dalam mengekang dan mengendalikan nafsu adalah satu anugerah yang diberikan Allah Swt oleh karena seseorang senantiasa istiqamah dalam taubatnya. Karena itulah istiqamah menduduki posisi penting bagi seorang salik saat menuju Allah Swt.

Para ulama menyatakan bahwa taubat mempunyai dua syarat, yaitu mencabut kesalahan yang telah dilakukan dan berniat untuk tidak kembali mengulangi kesalahan yang sama. Para mengambil dua syarat ini dengan dalih bahwa seorang yang menyesali kesalahan yang pernah dilakukan secara otomatis akan mencabut kesalahan yang telah dilakukan. Sebagai misal bila seseorang melakukan kebohongan, lantas dia bertaubat, tentulah dia akan mencabut pernyataan yang sebelumnya disampaikannya dan menyatakan bahwa hal tersebut adalah kebohongan yang dibuat-buatnya untuk selanjutnya berjanji untuk tidak kembali mengulangi kesalahan yang sama.

Setiap anak cucu Adam pernah melakukan kesalahan. Seorang yang baik, bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah, akan tetapi seorang yang baik adalah orang yang mau menjadikan kesalahan sebagai pelajaran untuk tidak kembali melakukan kesalahan yang sama dan bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mau belajar dari kesalahan dan menjadikan kesalahan sebagai batu tumpuan menuju keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Aamiin.




Komentar