Ilmu Bagaikan Binatang Buruan
Menuntut
ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan. Kewajiban ini
dimulai semenjak manusia berada di alam arwah dalam rahim ibunya sebelum
dilahirkan. Semua umat Islam megetahui dan meyakini hal ini, tetapi sedikit
sekali di antara mereka yang benar-benar mau untuk melaksanakan perintah
tersebut. Buktinya, masih banyak orang Islam yang memandang bahwa pengetahuan
itu tidak penting, bahkan masih ada juga yang berpikir yang penting bisa
bekerja dan menghasilkan uang.
Menurut
saya, ada baiknya kita sejenak berpikir dan mencermati pentingnya ilmu
pengetahuan bagi manusia. Seseorang bisa bertahan hidup oleh karena pengetahuan
yang dimilikinya. Mungkin saja orang tuanya tidak mewariskan harta berlimpah,
namun karena ilmu yang diwariskan kepadanya saat orang tua berjibaku dengan
beratnya kehidupan, sang anak bisa bertahan hidup meski di tengah besarnya
tekanan.
Nah,
menurut para ulama ilmu itu layaknya binatang buruan. Untuk mendapatkan
pengetahuan seseorang tidak bisa mendapatkannya secara langsung dengan mudah. Perlu
adanya banyak usaha dan perjuangan untuk mendapatkan pengetahuan. Terkadang jatuh
dalam kubangan, terkadang harus mendaki bukit yang tinggi, kadang pula harus
menuruni lembah dan ngarai. Itulah gambarannya sama dengan orang yang berburu.
Saat
anda berburu, tentu anda akan menyiapkan peralatan lengkap yang bisa
melancarkan aktifitas berburu anda. Taruhlah sebagai contohnya anda berburu
kijang. Saat anda berburu kijang, anda akan menyiapkan anak panah, pisau,
tampar atau bahkan senapan lengkap dengan pelurunya untuk melancarkan proses
berburu anda. Saat anda telah menemukan kijang yang anda lihat tentu anda tidak
akan membiarkannya begitu saja. Anda akan berusaha mencari tempat yang sesuai
untuk membidik sasaran anda, mengejarnya saat ia berlari, serta menjeratnya
jika ada kesempatan bagi anda untuk menjeratnya. Peluh bercucuran, nafas “ngos-ngosan”,
mungkin saja menyertai anda. Namun, saat kijang anda dapatkan semua lelah
terbayarkan sudah.
Begitu
juga dengan aktifitas anda mencari pengetahuan. Anda akan menjumpai banyak hal
yang boleh saja anda anggap sebagai penghalang. Namun, jangan pernah
menganggapnya sebagai penghalang. Saat anda menganggap hal tersebut sebagai
penghalang, tentu semangat anda akan memudar, kendor dan pada akhirnya berhenti
belajar. Sebaliknya anggaplah itu sebagai tantangan yang harus anda tundukkan.
Untuk
mendapatkan pengetahuan, besar perjuangan yang harus dilakukan. tetapi
yakinlah, bahwa semua akan terbayarkan saat anda meraihnya. Imam Al-Syafi’i
mengatakan:
العلم صيد والكتابة
قيده قيد صيودك بالحبال الواثقة
فمن الحماقة أن تصيد
غزالة وتتركها بين الخلائق طالقة
Artinya:
Ilmu itu bagaikan buruan dan tulisan itu sebagai ikatannya, ikatlah buruanmu
dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan adalah anda berburu kijang dan anda
meninggalkannya bebas di antara orang-orang (makhluk).
Imam
al-Syafi’i dalam bait-bait syairnya di atas mengibaratkan ilmu sebagaimana
buruan, sementara tulisan sebagai pengikatnya. Proses mencari ilmu itu berlikuu
dan penuh perjuangan. Banyak orang yang harus mengeluarkan banyak harta, waktu
dan kesempatan untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Pada akhirnya mereka
menjadi seorang yang alim di tengah-tengah masyarakatnya, dipandang dan
dihormati.
Tetapi
ingatlah! Seberapa banyaknya ilmu yang anda kumpulkan dan anda miliki, jika
anda tidak mengikatnya dengan menuliskan ilmu yang anda punya, maka lama-lama
ia akan hilang dan pada akhirnya tidak berbekas.
Sudah
menjadi sunatullah bahwa saat usia telah menua, banyak hal yang dulunya diingat
menjadi hilang. Kemampuan otak merekam dan menganalisis pengetahuan dan
informasi semakin berkurang. Al-Qur’an secara tegas menjelaskan mengenai hal
ini dalam Surat al-Nahl (16); 70:
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ ثُمَّ يَتَوَفَّاكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ
الْعُمُرِ لِكَيْ لا يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
قَدِيرٌ
Artinya:
Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu;
dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun),
supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Al-Nahl
(16); 70)
Semua
orang akan mengalami fase di mana fisiknya tak lagi sekuat masa muda, tangannya
tak sekokoh dulu dan nafasnya tak sepanjang dulu. Pun pula, masa-masa itu akan
diikuti dengan semakin melemahnya kemampuan akal untuk mengingat kembali apa
yang dulu diketahuinya. Ilmu yang dulu dipahami secara baik, hilang entah
kemana. Bahkan sebagian di antaranya akan “pikun”, hingga tidak mampu berbuat
banyak dalam hidupnya. Bahkan kadang-kadang sering lupa jalan kembali ke rumah
saat keluar.
Boleh
saja akal kita melemah, pengetahuan berkurang, tetapi ada peninggalan yang kita
bisa lihat kembali dan mengingat kita, yakni catatan dan tulisan yang kita
buat. Ya, menulislah, menulislah dan teruslah menulis. Berbagilah dengan orang
lain melalui tulisan yang anda torehkan, meskipun banyak orang yang mungkin
menganggap tulisan anda buruk. Tetapi, anda tidak tahu juga, bila ternyata di
sudut pandang yang lain orang sangat membutuhkan tulisan anda.
Menulis
bukan urusan mudah. Ya, semua orang bisa menulis. Tetapi hasil tulisan
seseorang tentu tidak akan pernah sama antara satu dengan lainnya. Ditambah disiplin
ilmunya yang berbeda dan seterusnya. Maka, seorang yang alim selayaknya
menuliskan ilmu yang dimilikinya. Ali Ibnu Abi Thalib pernah mengatakan:
سيف العالم القلم
Artinya:
Senjata seorang alim adalah pena
Seolah
Ali Ibnu Abi Thalib ingin mengatakan, menulislah. Orang alim harus menulis. Orang
intelektual harus menulis. Tulisanlah senjata yang mampu merubah dunia dalam
kurun waktu yang lama. Kita mengenal al-Ghazali dari tulisannya, Imam al-Syafi’i
dari tulisannya, al-Maraghi dari tulisannya dan seterusnya. Meski jasad mereka
sudah di dalam tanah, namun nama mereka masih harum tercium di antara milyaran
orang yang hidup di alam nyata ini.
Termasuk
kebodohan orang yang melepaskan buruannya tanpa ikatan di tengah-tengah
manusia, sama halnya dengan bodohlah mereka yang punya pengetahuan namun tidak
mau mengikatnya dengan tulisan. Demikian kiranya apa yang ingin disampaikan
oleh al-Syafi’i dalam bait-bait syairnya. Secerdas dan sealim apapun seseorang
yang berceramah dan berpidato di tengah-tengah masyarakatnya, kelak semua yang
diberikannya akan hilang, jika dia tidak mau menuliskannya.
Menulis
tidak harus dalam bentuk buku, jurnal dan media cetak yang terakreditasi,
apalagi di masa modern seperti saat ini. Anda bisa menulis di mana saja sesuai
dengan keinginan anda. Di berbagai media yang bisa dengan mudah anda dapatkan. Itulah
solusi bagi siapa saja yang ingin menulis, seperti blog yang saya kelola ini. Hehehe…
Komentar
Posting Komentar