Jenis-Jenis Ulama
Keberadaan
ulama sebagai pewaris Rasul bukan hal yang diragukan lagi. Keterangan hadits
telah menjelaskan setegas-tegasnya bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Pewaris
dalam hal ilmunya, yang dengan ilmu tersebut ia menyelamatkan dirinya dan umat
yang lain dari segala bentuk kesesatan.
Namun
demikian, tidak lantas setiap ulama mendapat jaminan masuk surga. Sebagian di
antara mereka akan masuk surga dan sebagian lain, mungkin saja masuk ke dalam
neraka. Yakni, tempat di mana segala bentuk siksa yang tidak pernah disaksikan
dan dirasakan oleh siapapun ada di sana.
Berkaitan
dengan hal ini, Syaikh Imam Sufyan al-Tsauri rahimahullah, -seorang sufi dan
ahli hadits, membagi ulama menjadi tiga bagian berdasarkan pendapat para tabiin
yang termaktub pada kitab Sunan al-Darimi, yang menyebutkan:
العلماء ثلاثة: عالم
بالله يخشى الله وليس بعالم بأمر الله، عالم بالله وعالم بأمر الله يخشى الله فذاك
العالم الكامل، وعالم بأمر الله وليس بعالم بالله فذاك العالم الفاجر.(نقل من سنن
الدارمي جز 1، نمرة الحديث/الأثر 359)
Artinya:
“Ulama ada tiga macam: (Pertama) ulama yang memahami tentang ilmu billah
serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah.
(Kedua) ulama yang memahami tentang ilmu billah serta alim tentang ilmu-ilmu Allah,
dan ia takut kepada Allah. (Ketiga) ulama yang memahami hukum-hukum Allah,
tetapi tidak alim tentang ilmu billah, dan dialah ulama yang durhaka.”
(Dinukil dari Sunan al-Darimi, Jus 1, no hadits/atsar 359)
Berdasarkan
pada keterangan tersebut Syaikh Imam al-Tsauri Rahimahullah membagi ulama dalam
tiga kategori. Ulama yang pertama adalah mereka yang alim billah serta memiliki
rasa takut kepada Allah, namun tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Alim
billah artinya ulama ini benar-benar bisa menyadari sepenuhnya dalam rasa yang
tertanam di hatinya, bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
sesungguhnya adalah perwujudan dari kehendak-Nya yang tidak terbatas. Manusia semata
hanya menajalani apa yang menjadi ketentuan dari-Nya, baik ketentuan itu
bersifat baik maupun buruk.
Keyakinan
ini tertanam di dalam hati, bukan berarti seseorang lantas dengan seenak perutnya
berbuat sesuka hati dengan menyandarkan itu pada takdir kehendak-Nya. Manusia
sesungguhnya diberikan kemampuan untuk memilih dan menentukan apa yang akan
dilakukannya, namun demikian, semua itu hanya bersifat juz’iyyat, yang ketika
ia telah menentukan maka ia tetap saja ada pada rangkaian takdir yang telah
menjadi scenario-Nya. Hal itu nampak jelas dari apa yang dikatakan Umar bin
Khathab saat ia memutuskan untuk tidak memasuki satu wilayah karena sedang
terjadi wabah penyakit. Dengan berbagai pertimbangan, ia sampai pada satu
kesimpulan bahwa ia tidak akan memasuki kota tersebut. Lantas sebagian sahabat
mengatakan, “Apakah engkau hendak lari dari takdir Allah?”. Umar dengan tegas
mengatakan, “Ya, aku lari dari takdir Allah yang satu menuju takdir Allah yang
lain.”
Ulama
yang paham dan mengerti tentang ilmu billah akan tertanam dalam dirinya rasa
takut kepada Allah Swt. Hal itu mendorong dirinya untuk senantiasa melakukan
hal-hal yang utama dan menjauhi hal-hal negative yang bisa saja menjerumuskan
dirinya pada perilaku maksiat.
Adapun
pengetahuan mengenai hukum-hukum Allah yang dimaksudkan di sini adalah
hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan fiqhiyyat dan sejenisnya. Adakalanya
memang seorang yang alim billah tidak seberapa paham mengenai hal-hal yang
bersifat fiqhiyyah, namun ia hanya paham sekedar untuk dijalankan dalam
menegakkan syariat yang bersifat umum.
Ulama
kedua adalah seorang yang alim billah yang padanya terdapat rasa takut kepada
Allah dan paham mengenai hukum-hukum Allah. Ulama jenis ini adalah ulama yang
sempurna, karena dia mengetahui ilmu kesadaran kepada Allah (billah) serta
paham mengenai urusan-urusan hukum fiqih yang pelik. Mereka mampu menjadi imam
di tengah-tengah kehidupan umat dan mampu menyadarkan umat untuk kembali ke
jalan Allah (fafirru ilallah).
Adapun
ulama yang ketiga adalah ulama yang alim dalam urusan hukum-hukum Allah, namun
buta dengan ilmu billah. Kebutaan mereka terhadap ilmu billah menyebabkan
dirinya sering terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang Allah Swt. Mereka
adalah ulama-ulama yang durhaka. Tempat kembali mereka adalah neraka, kekal
mereka di dalamnya.
Berdasarkan
pada keterangan tersebut Syaikh Sufyan al-Tsauri Rahimahullah lantas
menyimpulkan bahwa ukuran waratsatul ambiya’ pada diri seorang ulama
bukan pada seberapa banyak ilmu yang mereka kumpulkan. Bukan pada seberapa
banyak kitab yang telah mereka karang. Ukuran waratsatul ambiya’ pada
diri seorang alim adalah seberapa takutnya mereka kepada Allah Swt.
Al-Qur’an
secara tegas menjelaskan mengenai hal tersebut pada Surat al-Fathir (35); 28:
وَمِنَ
النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya:
Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha
Pengampun. (QS. Al-Fathir (35); 28)
Komentar
Posting Komentar