Berkunjung
Ke Kota Gudeg
Jum’at,
10 Januari 2020, menjadi moment berharga bagi saya. Saya yang masih belum
terlalu banyak pengalaman melanglang buana mendapat kesempatan untuk
menginjakkan kaki di Kota Gudeg, Yogyakarta. Tentu, ini bukan kali pertama saya
menginjakkan kaki di bumi keraton, tetapi tujuan utamanya lah yang kali pertama
saya kunjungi, yakni UIN Sunan Kalijaga, salah satu kampus dengan nama besar di
deretan PTKIN.
Saya
berangkat beserta rombongan dari kampus tercinta, -IAIN Tulungagung yang
sebentar lagi menjadi UIN, pada pukul 00.00 wib dini hari. Kami berkumpul di
depan rektorat, untuk kemudian bersama dengan rombongan menuju ke kota Gudeg.
Pada
awalnya perjalanan ini direncanakan melalui jalur selatan, namun karena sesuatu
dan lain hal, dan karena pertimbangan lain, sopir mengalihkan jalur perjalanan
ke arah utara melalui jalur TOL. Husnudzan saja, bahwa ini adalah perjalanan
yang terbaik menurut-Nya.
Perjalanan
berjalan dengan lancar dan mengantarkan kami menjejakkan kaki di kampus UIN
Kalijaga. Kedatangan kami disambut dengan hangat oleh para kolega dari IAIN
Tulungagung yang sedang menempuh Studi di UIN Sunan Kalijaga ini, diantaranya
Mochamad Nasichin al-Mu’iz, Ainun Najib dan satu lagi dosen muda jebolan IAIN
Tulungagung, Sinung Restendy. Tentu, kesempatan ini menjadi semacam reoni
karena cukup lama tidak berkumpul bersama.
Kedatangan
kami adalah untuk menemba ilmu dari salah satu pakar studi al-Qur’an di kampus
ini, Ahmad Rofiq, S.Ag., MA, Ph.D. Kedatangan kami diterima dengan baik di
kampus ini.
Pada
pukul 10.00 wib kami masuk ke ruang Internasional class di lantai tiga, Gedung
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Di ruangan inilah, beliau banyak memberikan
wejangan, wawasan dan berbagai pengalaman kepada kami.
Di
antara beberapa hal yang beliau sampaikan berkenaan dengan studi al-Qur’an
adalah bahwa studi al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari tema besar studi Islam
dan studi Islam tidak bisa dilepaskan dari studi agama. Saat mempelajari al-Qur’an
sesungguhnya kita sedang mempelajari kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan
sebagai pedoman bagi umat manusia pada umumnya, yakni sebagai hudan li
al-na>s, petunjuk bagi manusia.
Yang
perlu dipahami, bahwa al-Qur’an sebagaimana yang kita ketahui saat ini, yang
termaktub di dalam mushaf, pertama kali di bukukan pada masa khalifah Abu Bakar
al-Shiddieq, yang selanjutnya di sempurnakan di masa Khalifah Utsman bin Affan.
Pada awalnya kitab suci ini merupakan
sistem bunyi, artinya disampaikan dan disebarkan kepada umat manusia melalui
bahasa lisan/bahasa tuturan dari lisan satu ke lisan yang lain. Baru setelah
terjadinya perang riddah yang menyebabkan syahidnya banyak huffa>z,
atas usulan Umar bin Khaththab, al-Qur’an kemudian di kumpulkan dalam satu
mushaf.
Oleh
karena al-Qur’an pada awalnya adalah sistem bunyi yang disampaikan melalui
bahasa tuturan,-menurut beliau, para orientalis sering menggunakannya sebagai
senjata untuk mengkritik ke-otentikan al-Qur’an. Sebagaimana diketahui bahwa
seringkali di kehidupan keseharian kita banyak menjumpai seorang informan yang
memberikan informasi kepada orang lain dengan menambahkan kata, informasi dan
sebagainya. Hal ini bukan masalah saat sama-sama disampaikan dengan bahasa
lisan, karena pasti akan terjadi konfirmasi saat muncul ketidak fahaman. Masalahnya,
saat sistem bunyi itu telah berupa teks yang tertulis barulah muncul
persoalan-persoalan berikutnya, menyusul munculnya beragam interpretasi.
Sebagai
contoh kecil adalah saat memahami teks. Secara umum orang menggunakan
pendekatan analisis isi,-content analysis, sebagai alat untuk memahami
teks dalam bentuk apapun. Metode ini,-menurut beliau, merupakan metode dalam
memahami media. Ketika metode ini ditarik untuk meneliti al-Qur’an,-yang disatu
titik bisa dianggap sebagai teks, maka tidak ada masalah di dalamnya. Para pemeluk
agama, tidak mempermasalahkan hal tersebut karena dianggap sebagai sesuatu yang
wajar.
Masalah
berikutnya muncul saat al-Qur’an di teliti dengan pendekatan hermeneutik.
Banyak orang yang kemudian menentang hal ini, mengapa? Sederhana
alasannya,-menurut beliau. Karena metode ini erat kaitannya dengan bible,
kitab suci bagi umat nashrani. Apa maknanya? Maknanya bahwa sentimen keagamaan
ternyata turut mewarnai di dalam proses perkembangan keilmuan, termasuk di
dalamnya adalah dalam upaya memahami al-Qur’an.
Selanjutnya,
bahwa ternyata saat kita mempelajari al-Qur’an, al-Qur’an bisa dilihat dari
sudut pandang keyakinan. Apa artinya? Keyakinan orang terhadap teks kitab suci
berpengaruh terhadap cara mereka memperlakukan kitab suci. Sebagai contoh,
bagaimana cara masyarakat tertentu ketika ia membawa kitab suci, memperlakukan
kitab suci setelah dibaca, cara meletakkannya, cara merawat kitab suci yang
rusak,-robekan dari kitab suci misalnya, dan sebagainya. Karena itu keyakinan
seseorang terhadap al-Qur’an bisa membentuk perilaku tersendiri dalam mensikapi
al-Qur’an.
Berikutnya
adalah bahwa ternyata saat kita mempelajari al-Qur’an kita tidak bisa
melepaskannya dengan konteks isu yang berkembang di masa turunnya al-Qur’an. Saat
turunnya al-Qur’an,-menurut beliau, di barat saat itu sedang ramai gerakan yang
disebut dengan iconoclasm. Iconoclasm merupakan gerakan penolakan
terhadap simbol patung yang pada akhirnya memunculkan kelompok kristen
protestan. Perbedaan antara kristen katolik dan protestan adalah pada bentuk
salibnya. Katolik menyertakan simbol patung yesus yang disalib sementara
protestan tidak.
Ini
artinya, penolakan terhadap simbol-simbol berhala di Makkah saat turunnya
al-Qur’an, ternyata tidak semata merupakan pure teologis, tetapi ada
unsur-unsur lain yang turut mewarnainya yakni isu/wacana global mengenai
paganisme.
Oleh
karena itu, Islam tidak lahir dari ruang kosong, melainkan ia datang
bersentuhan dengan agama-agama lain, isu wacana global, adat istiadat dan
seabrek hal lain yang turut menyertainya. Karena itu studi al-Qur’an tidak bisa
mengesampingkan hal-hal tersebut untuk sampai pada pemahaman yang lebih
mendekati kebenaran.
Selain
itu, budaya-budaya Islam yang terbentuk juga tidak bisa dilepaskan dengan
budaya-budaya lainnya. Sebelum islam datang ada tradisi di semenanjung arab
yang disebut sebagai iranus semitik, yakni tradisi iran yang melekat
pada masyarakat rumpun semit, termasuk di dalamnya Arab, Makkah. Karena itu
tidak aneh jika di Makkah, Madinah banyak orang melakukan tahannuts. Tradisi
ini,-menurut beliau masuk dalam tradisi iranus semitik. Tahannuts ini
pula yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw saat beliau menerima wahyu pertama
Surat al-Alaq 1-5.
Al-Qur’an
sebagai objek dari kajian bisa didudukkan sebagai objek keyakinan, objek
berpikir dan objek perilaku. Karena itu, penting untuk memahami dari sisi mana
kita melakukan penelitian dan pengkajian terhadap al-Qur’an.
Setelah
selesai melaksanakan shalat jum’at kami berkesempatan mengunjungi perpustakaan
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk membaca dan
mencari beberapa literatur yang sesuai dengan kebutuhan.
Perjalanan
selanjutnya kami menyempatkan diri mengunjungi taman pintar dan jalan-jalan di
Malioboro. Para peserta rombongan menggunakan waktu ini untuk mencari buku,
menikmati kuliner khas jogya, membeli sekedar oleh-oleh untuk keluarga di rumah
dan sebagainya.
Rombongan
berkumpul di titik kumpul pada pukul 17.00 wib. Selanjutnya rombongan meluncur
ke kampus IAIN Tulungagung dan sampai di kampus tercinta pada kisaran pukul
01.30 wib. Semoga perjalanan ini membawa berkah dan manfaat serta menambah
semangat kami dalam mempelajari ilmu yang dihamparkan Allah di bumi-Nya.
Komentar
Posting Komentar