Nafasmu Adalah Takdirmu


Nafasmu Adalah Takdirmu

Artikel ini bermula dari pernyataan Ibnu Athaillah dalam al-Hikamnya. Ia mengatakan, “Pada setiap nafas yang engkau hembuskan terdapat takdir/ketentuan Tuhan yang Dia selenggarakan pada saat itu juga”.

Pada setiap unit terkecil dalam hidup kita sesungguhnya ada ketentuan/takdir Allah yang turut menyertainya. Tidak satu makhlukpun di dunia ini yang bisa keluar dari ketentuan/takdir-Nya. Takdir itu telah ditetapkan-Nya, jauh sebelum makhluk tercipta di dunia ini.

Ini tidak berarti bahwa makhluk/manusia tidak memiliki peran sama sekali dalam hidu\pnya/majbur. Bukan itu yang diinginkan. Ya, benar memang segala sesuatu telah ditentukan oleh-Nya. Tetapi takdir-Nya ada yang bersifat mubram dan ada pula yang mu’allaq. Pada wilayah mu’allaq inilah manusia dituntut untuk memilih dan menentukan takdir-Nya sesuai dengan keinginannya.


Apa yang diinginkan oleh Ibnu Athaillah dengan kalimah hikmahnya ini? Ibnu Athaillah menginginkan agar kita senantiasa mawas diri, introspeksi diri serta tafakkur pada setiap hal yang nampaknya remeh-temeh dalam kehidupan, termasuk saat nafas keluar masuk dengan mudahnya dari hidung kita.

Keluar masuknya nafas yang hampir tidak pernah dipikirkan oleh manusia pada umumnya ternyata memiliki kandungan makna yang mendalam di kehidupan manusia. Kita bisa bayangkan jika saja nafas itu terhenti, tentu saat itu lah kita menyadari betapa pentingnya nafas ringan yang keluar masuk melalui hidung kita.

Karena itu, Ibnu Athaillah mengingatkan agar kita senantiasa memperhatikan setiap ketentuan yang direncanakan oleh Allah pada setiap kesempatan kehidupan ini. Sudahkan kita memanfaatkannya untuk hal-hal yang diridhai-Nya, sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, atau sebaliknya kita justru meremehkannya sehingga lalai pada setiap ketentuan yang akan terjadi karenanya.

Setiap kita akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang kita lukukan dalam hidup. Pun pula setiap nafas yang keluar masuk melalui hidung akan dimintai pertanggung jawabannya. Adakah kesempatan bernafas itu dimanfaatkan untuk mengabdi kepada-Nya, atau sebaliknya digunakan untuk maksiat kepada-Nya? Jika digunakan untuk kebaikan tentu harus disyukuri sehingga Allah melipat gandakannya. Sebaliknya, jika maksiat, maka taubatlah cara menghapuskannya.

Nafas itu bagaikan partikel-partikel kecil yang menyusun kehidupan. Tanpanya, kehidupan tidak akan berjalan. Dengannya, manusia bisa menjalani kehidupannya. Tanpanya kehidupan terhenti dan menghantarkan manusia pada alam berikutnya, Barzakh, alam penantian.

Ibnu Athaillah melalui mutiara hikmahnya ini, hendak mengingatkan kepada kita agar senantiasa menjalani kehidupan ini degan ikhlas. Mengapa? Karena pada setiap tarikan nafas dan keluarnya, ada takdir Allah yang harus diterima dengan “legawa”, “nrimo”, dan “pasrah”. Kehidupan ini sudah ada yang mengaturnya, jangan menyibukkan dirimu dengan membuat aturanmu sendiri. Jika engkau ridha pada aturan-Nya, Ia akan mengantarkanmu pada apa yang kau inginkan.

Keharusan untuk menerima takdir secara ikhlas, ringan, legawa itu bagaikan keluar masuknya nafas, yang karena ringannya, hampir semua orang lalai akan kenikmatan itu. Nafasmu adalah takdirmu. Jangan mengotori takdirmu dengan mengingkarinya. Siapa yang tidak ridha akan ketentuan-Nya, maka Dia memerintahkan, “Carilah Tuhan selain Aku”.

Jika kita mampu menerima semua ketentuan Allah dengan rileks, ikhlas, ridha terhadap segala takdir-Nya, hidup akan terasa ringan. Kebahagiaan akan kita dapatkan, pada akhirnya tujuan hidup yang kita inginkan akan tercapai, yakni berjumpa dengan A|llah dengan membawa, “Qalbin Salim”, hati yang selamat.

Komentar