Di Balik Mujahadah 40 Hari


Di Balik Mujahadah 40 Hari

Bagi para pengamal shalawat wahidiyah, tentu istilah mujahadah 40-an bukan perkara asing. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka yang telah mengamalkan shalawat wahidiyah pernah mengamalkan mujahadah 40-an, setidaknya di awal mereka mulai ikut serta mengamalkan shalawat wahidiyah. Jika para pengamal tersebut konsisten, pasti mereka tidak akan pernah melewatkan moment mujahadah 40-an yang biasanya dilaksanakan dua kali dalam setahun, yakni menjelang mujahadah kubro muharam dan mujahadah kubro rajab sebagaimana yang dimulai pada tadi malam.

Ya, shalawat wahidiyah merupakan amalan shalawat yang dita’lif oleh ulama asli Indonesia, dari bumi Kediri, tepatnya di Desa Bandari Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Shalawat ini dita’lif oleh Mbahk KH. Abdoel Madjied Ma’roef, Qs. Wa Ra., seorang kyai kharismatik pengasuh pondok pesantren Kedunglo yang saat ini dikenal dengan nama Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadhdharah.


Shalawat ini dita’lif pada kisaran tahun 1963, setelah beliau mendapatkan ‘isyarah’ agar turut serta memperjuangkan nasib umat,-terutama dalam hal keimanan, melalui ru’yah al-shalihah. Singkat cerita beliau mena’lif shalawat wahidiyah ini dalam kondisi yang dipenuhi dengan ‘tawajjuh’ kepada Allah Swt. wa Rasulihi Saw.

Shalawat wahidiyah ini,-sebagaimana tertulis di lembaran wahidiyah, berfaidah untuk menjernihkan hati dan ma’rifat billah. Para pengamal shalawat wahidiyah diajak untuk senantiasa ‘tadzallul’, merasa hina dihadapan Allah Swt. wa Rasulihi Saw., dengan mengakui banyak dosa. Namun, selain itu mereka diajarkan agar tetap memiliki harapan, ‘raja’, kepada Allah Swt. Ini didasarkan karena seperti apapun kesalahan yang dimiliki oleh manusia, seberapa pun banyaknya, rahmat dan kasih sayang Allah masih lebih luas darinya. Singkatnya, di dalam shalawat wahidiyah diajarkan sikap ‘khauf’ dan ‘raja’ sekaligus.

Sesuai dengan keterangan yang ditulis di lembaran shalawat wahidiyah, shalawat ini bisa diamalkan oleh siapa saja tanpa pandang bulu dan golongan, baik tua maupun muda, bahkan juga boleh diamalkan oleh orang yang diluar agama Islam. Tentu, hal ini menarik. Mengapa? Sederhana saja, semua orang mempunyai hak untuk merasakan ‘kesadaran’ kepada Allah Swt. wa Rasulihi Saw.

Salah satu di antara hal yang perlu diketahui adalah bahwa mereka yang ingin mengamalkan shalawat wahidiyah, terlebih dahulu harus mengamalkan mujahadah 40 harian. Yakni mujahadah yang dilaksanakan selama 40 hari berturut-turut, sesuai dengan aurad/bilangan yang tertulis di lembaran shalawat wahidiyah. Selanjutnya baru mereka mengamalkan mujahadah yaumiyyah,-harian, usbu’iyyah,-seminggu sekali satu kampung/lingkungan, syahriyyah,-bulanan satu kecamatan, rubu’ussanah,-empat bulan sekali satu kabupaten/kota, nishfusanah,-setengah tahun sekali satu provinsi, dan puncaknya mujahadah kubro yang digelar dua kali setahun di bulan muharam dan rajab.

Salah satu hal yang perlu untuk dilakukan perenungan dan menurut,-penulis, menarik untuk dicermati dan ditelaah adalah mujahadah 40 harian. Apa sesungguhnya istimewanya angka ini sehingga dijadikan sebagai salah satu rangkaian mujahadah yang,-tentunya, tidak boleh dilewatkan.

Jika kita mencoba untuk menelusuri sejarah, maka banyak diantara para ulama yang menggunakan angka 40 sebagai ‘angka kunci’. Orang yang sedang menuntut ilmu di pondok misalnya, kali pertama mereka belum boleh ‘sambang’ sebelum genap 40 hari. Orang yang sedang menjalankan riyadhah misalnya dianjurkan untuk mengamalkan riyadhahnya paling tidak 40 hari. Dulu, ada keyakinan bahwa sebelum usia 40 tahun, seseorang belum boleh mengikuti thariqah tertentu misalnya. Jadi ada sesuatu yang menarik untuk dipikirkan, direnungkan dan untuk dipetik pelajaran tentunya dari angka 40, termasuk mujahadah 40 harian.

Pertama, saya memaknai bahwa 40 ini bukan sekedar simbol angka, melainkan sebuah komitmen. Komitmen bahwa seseorang benar-benar memiliki i’tikad kuat dan sungguh-sungguh di dalam menjalani satu hal. Dengan menjalani sesuatu secara istiqamah selama 40 hari menunjukkan bahwa para pelakunya serius untuk benar-benar mendalaminya, mengamalkannya dan selanjutnya memetik buah dari apa yang diusahakannya.

Kedua, saya memaknai 40 hari sebagai bentuk kesabaran. Tidak ada usaha yang instan dan langsung menuai hasilnya. Setiap bentuk usaha, apapun itu membutuhkan proses agar ia bisa diterima, dikenal, dan selanjutnya dirasakan manfaatnya. Tanpa kesabaran, mustahil seseorang bisa menuai kesuksesan dalam usahanya, mustahil pula seseorang bisa merasakan apa yang sedang dijalaninya. Kalau toh muncul ‘rasa’ di awal perjalannya, maka ‘rasa’ itu sesungguhnya merupakan ‘rasa semu’ yang belum sampai pada ‘esensi rasa’ itu sendiri.

Ketiga, saya memaknai 40 itu merupakan keyakinan. Seorang yang tidak yakin dalam menjalani aktifitasnya, tentu tidak akan mau untuk melakukan sesuatu selama itu. Apalagi tatkala kesusah payahan telah dilakukan dan ‘titik terang’ belum juga nampak. Agaknya sulit rasio bisa mempercayainya. Keyakinanlah yang mendorong seseorang untuk istiqamah menjalani sesuatu hingga mencapai waktu yang cukup lama, setidaknya 40 hari untuk menjalani suatu amalan khusus,-bisa disebut lama. Keyakinan itulah yang nantinya akan membuahkan berbagai manfaat yang nantinya bisa dipetik oleh pelakunya.

Keempat, ada satu riwayat hadits yang menyebutkan, “Barangsiapa yang beramal ‘ikhlas’ karena Allah, empat puluh hari, maka Allah akan menampakkan sumber-sumber hikmah di hatinya, yang nampak dari lisannya.”  Ini merupakan hal luar biasa yang jarang dipahami oleh banyak orang. Hadits ini dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam kitab risalah al-ladunniyah-nya.

Hal ini tentu menjadi sangat menarik, bahwa siapa saja yang beramal ikhlas semata karena Allah Swt. bukan karena yang lain selama 40 hari, terbuka baginya pintu-pintu hikmah di dalam hatinya. Sebagian orang memahami hikmah sebagai filsafat, ilmu dan pengetahuan. Namun, di dalam risalahnya, al-Ghazali menyatakan bahwa hikmah bukanlah filsafat, namun ia lebih tinggi dari itu karena hanya dicapai oleh seorang yang telah mencapai martabat ‘ladunniy’.

Pertanyaanya adalah lantas bagaimana ikhlas itu? Inilah yang sesungguhnya membutuhkan banyak pemikiran, analisa dan telaah yang mendalam sehingga tidak terjadi kekacauan di dalamnya. Keikhlasan tidak sekedar simbol lisan yang selesai saat lisan berkata, ‘Aku ikhlas lillahi ta’ala’. Mengenai keikhlasan Insya Allah saya akan membahasnya dalam artikel yang lain. Sudahkan anda memulai mujahadah 40 an???

Komentar

Posting Komentar