Wujud
Yang Bercahaya
Tahukah
anda, jka sebenarnya manusia merupakan wujud yang bercahaya? Atau, selama ini
kita hanya menjalani apa yang mesti dijalani tanpa sesekali melihat dan
menghayati serta mencoba untuk mengenali hakikat dari diri?
Masyhur
di tengah para ulama, qaul yang mengatakan bahwa ‘Siapa yang mengenal
dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya’. Sepele kelihatannya qaul ini,
namun jika kita mau menggali, mencermati, serta melakukan analisa lebih
mendalam, maka terdapat banyak rahasia di dalamnya, yang boleh jadi sampai
kapanpun kita tidak mampu memecahkannya, hingga Ia sendiri yang
memberitahukannya.
Syaikh
Ibnu Athaillah di dalam kitabnya, al-Hikam, menyatakan, ‘Orang-orang yang
masih dalam tahap perjalanan menuju Tuhan, mendapatkan jalan menuju kepada-Nya
melalui cahaya “tawajjuh”, cahaya “menghadap”. Sementara mereka yang telah
sampai kepada Tuhan, mendapatkan jalan kepada-Nya dengan cahaya “muwajahah”,
cahaya “berhadap-hadapan”. Yang satu sedang mencari cahaya, yang satunya lagi
cahaya selalu menyertai mereka. Sebab mereka, golongan yang kedua itu, seluruh
dirinya hanya untuk Tuhan, bukan untuk yang lain. “Katakan: Tuhan saja! Lalu tinggalkan
mereka tenggelam dalam permainan.” (QS. 6:91)’.
Di
dalam menjalani kehidupan ini, manusia harus mendapatkan cahaya agar ia bisa
sampai pada kebenaran yang sejati. Yakni kebenaran yang sesungguhnya yang tidak
lagi diragukan dan tidak terbantahkan oleh argumentasi apapun. Seorang yang
tidak mendapatkan cahaya, mustahil ia bisa menjalankan kebenaran dalam arti
yang sesungguhnya.
Kerap
kali dalam kehidupan ini, kita menjumpai berbagai peristiwa yang kerap kali
menuntut kita berpikir panjang, berpikir secara mendalam untuk mendapatkan
solusi-solusi yang mengeluarkan kita dari ‘resah tak bertuah’ dan ‘gundah
gulana’, tanpa arah. Namun, banyak orang yang ketika menjumpai kegundah
gulanaan tersebut, justru terjebak dalam ‘jurang’ gundah gulana mendalam akibat
keterburannya dalam memutuskan persoalan. Mencari solusi instan yang
sesungguhnya akan berujung pada penyesalan abadi selama-lamanya. Misalnya pada
narkoba, serta perilaku menyimpang yang dianggap menenangkan.
Setiap
orang pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan dengan bekal potensi ‘cahaya’ yang
menuntunnya pada kebenaran yang sejati. Hanya saja persoalannya, apakah ia mau
merawat cahaya yang diberikan itu, sehingga pendar cahayanya kian menerangi
diri, atau sebaliknya, ia membiarkannya redup dan akhirnya mati.
Potensi
cahaya yang diberikan oleh Tuhan tersebut menurut Syaikh Ibnu Atahillah dibagi
menjadi dua macam, yakni cahaya tawajjuh dan cahaya muwajahah. Sepintas
agaknya kedua istilah ini asing dan rumit untuk dijelaskan. Namun, secara
sederhana Gus Ulil menguraikannya dengan pengertian berikut.
Pertama,
cahaya tawajjuh merupakan cahaya yang ada dalam diri manusia yang
mendorongnya untuk merasakan rindu dan ingin memperoleh kebenaran. Kerinduan akan
kebenaran yang menuntunnya pada jalan yang lurus, yang menyelamatkan hidupnya
di dunia dan akhirat. Cahaya ini merupakan fitrah yang semenjak lahir telah ada
dan melekat pada diri manusia, tanpa pandang bulu, golongan, dan dari orang tua
mana ia dilahirkan.
Cahaya
ini dimiliki oleh seorang yang masih dalam tahap berupaya untuk menggapai
kebenaran. Melakukan perjalanan untuk menuju kepada Tuhan atau dalam istilah
thariqah dikenal dengan salikin. Cahaya ini bersifat alamiah dan setiap
orang memilikinya. Tinggal, bagaimana dia bisa memahaminya, teliti terhadap
cahaya yang dikirimkan Tuhan tersebut, sehingga ia mau mengikutinya dan bukan
malah mengabaikannya.
Keyakinan
tentang adanya cahaya yang melekat pada diri manusia ini, terdapat pula di
dalam ajaran Kristen. Baik Islam maupun Kristen, sama-sama meyakini adanya
pemahaman “spiritual” bahwa manusia diciptakan dalam citra Tuhan, Imago Dei,
wanafakhtu fiih min ruuhii, (Qs. 15; 29).
Dengan kata lain, dalam diri manusia ada Tuhan,-Tuhan yang melekat pada
jiwa manusia dalam bentuk cahaya. Itulah yang disebut dengan cahaya tawajjuh.
Kedua,
cahaya muwajahah, yaitu cahaya pengetahuan tentang kebenaran sejati yang
telah dicapai oleh manusia setelah ia menempuh perjalanan menuju kepada-Nya. Cahaya
yang khusus diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, yang telah
berhasil dalam menundukkan ‘keinginan syahwatiyah basyariyahnya’ hingga
kehidupannya hanyalah semata untuk Tuhan.
Orang
yang telah mampu mengendalikan hawa nafsunya, sehingga nafsunya tenang, muthmainnah,
akan berhasil menyalakan cahaya ‘muwajahah’ dalam dirinya. Orang yang
telah berhasil menyalakan cahaya ‘muwajahah’ dalam dirinya, mampu
menerangi orang-orang yang berada di sekelilingnya, menariknya untuk kembali
mengabdikan diri kepada Allah, “Fafirru Ilallah”.
Hatinya,
adalah hadhrah-Nya Allah, siapa saja yang mendekat kepadanya dengan pendekatan
yang sesuai dengan pangkat/kedudukannya, maka terbukalah baginya pintu hadhrah.
Di tengah ulama sufi masyhur qaul yang mengatakan, “Qalbu al-Arifi
Hadhratullah, wahawasuhu abwabuha, faman taqarraba ilaihi bil qurbil mula’im
futihat lahu abwabul hadhrah”, hatinya seorang yang telah ma’rifat billah
itu adalah hadhrah-Nya Allah, dan panca indranya adalah pintu-pintu hadhrah,
barangsiapa yang mendekat kepadanya dengan pendekatan yang sesuai,-dengan
pangkat dan kedudukannya, maka terbukalah pintu-pintu hadhrah.
Komentar
Posting Komentar