Slow Aja


Slow Aja

Saya memulai artikel ini dengan kata mutiara Syaikh Ibnu ‘Athaillah dalam kitab al-Hikam, “Buatlah dirimu santai, tak dirisaukan oleh urusan tadbir (bekerja/berusaha). Sebab apa yang sudah dikerjakan oleh orang lain, tak ada gunanya engkau mengerjakannya sendiri untuk dirimu”.

Kata mutiara Ibnu Athaillah ini membicarakan tentang tadbir, yakni istilah yang sering dihadapkan/dipertentangkan dengan tajrid dalam tradisi kaum sufi. Jika tajrid merupakan kondisi di mana seseorang telah disibukkan melulu dengan urusan ibadah tanpa perlu melakukan kerja karena semua telah tercukupi dan terjaminkan oleh kehendak-Nya, maka beda halnya dengan tadbir.


Tadbir merupakan kondisi yang disepadankan dengan maqam kasab, di mana untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang mesti melakukan sebab. Dia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan jika ia meninggalkannya, tidak ada jaminan baginya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia harus bekerja, bekerja, dan bekerja agar kebutuhannya bisa terpenuhi paling tidak selayaknya dalam pandangan orang pada umumnya.

Melalui kata mutiara tersebut, Ibnu ‘Athaillah hendak memperingatkan kepada para santrinya, atau siapa saja yang membaca buku yang ditulisnya serta meyakininya untuk kemudian mengamalkannya untuk berlaku slow, santai dalam kehidupan ini. Sesekali mengistirahatkan diri, pikiran dan mentalnya untuk tidak memaksakan sesuatu yang bukan menjadi bidangnya.

Manusia diciptakan beragam dan penuh dengan perbedaan. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak mungkin ada seorang yang menguasai seluruh bidang kehidupan. Selalu saja terdapat sisi di mana seseorang merasa lemah dan bahkan tidak mampu menyelesaikannya tanpa bantuan dari orang lain.

Karena seseorang tidak mampu menyelesaikan semua urusannya sendiri, maka ada baiknya dia mempercayakan urusan tersebut kepada mereka yang ahli dalam bidangnya, bukan memaksakan diri menyelesaikannya. Istilah lainnya mungkin, “Hendaknya sesseorang tahu di mana batasannya”.

Persoalan yang sering timbul dan kerap kali berujung pada hal negatif yang tidak diharapkan adalah seseorag tidak mengetahui batasannya. Ia merasa bahwa dirinya mampu melakukan apapun dan menyelesaikannya lebih baik dari siapapun. Akibatnya, timbul rasa di dalam dirinya ketidak percayaan pada orang lain. Ujungnya, selalu saja muncul rasa curiga, curiga dan curiga yang berujung pada kondisi buruknya kinerja seseorang karena merasa tidak dipercaya. Hal ini juga bisa berujung pada “stress” berlebih pada diri pelakunya.

Karena itu penting untuk dimengerti agar seseorang berlaku santai dan tidak ngoyo dalam kehidupannya. Ikhtiar dan usaha memang satu keharusan, tetapi memerhatikan waktu, kemampuan dan kemungkinan adalah hal yang tidak terelakkan. Jangan memaksakan diri hingga melupakan batas-batas kewajaran, meninggalkan kewajiban manusia sebagai seorang hamba, melupakan waktu istirahat yang menjadi hak badan dan seterusnya. Ketidak seimbangan selalu berujung pada kehancuran, entah fisik maupun mental.

Ibnu ‘Athaillah ingin mengajak kita untuk bersikap realistis dalam menjalani kehidupan ini. Tidak perlu ngoyo dan nggege, memaksakan diri dan ingin segera melihat hasil dari apa yang diusahakan. Memang naluri manusia pada umumnya adalah ingin segera melihat hasil, jika perlu tanpa usaha hasil sudah diraih. Itulah nafsu.

Keinginan nafsu selalu menggebu-gebu dan selalu saja menginginkan hal yang instan dalam kehidupan ini. Jika manusia tertipu oleh muslihatnya, dan menuruti keinginannya, maka keterpurukan sudah hampir bisa dipastikan. Sebaliknya, siapa saja yang bisa mengendalikan dan mengarahkannya sesuai dengan jalan yang diinginkan-Nya, ia akan sampai pada tujuan yang diharapkan. Kebahagiaan kekal bersamanya. Istirahatkan dirimu, dari mengatur apa yang telah menjadi urusan selainmu. Keinginanmu untuk mengatur sesuatu yang telah menjadi tanggung jawab orang lain, merupakan kondisi di mana dirimu terjebak dalam jebakan nafsu yang menjerat dan menjerumuskanmu ke lembah penyesalan selama-lamanya.

Komentar