Kafir Di Dalam Ketaatan


Kafir Di Dalam Ketaatan

Artikel ini terisnpirasi dari kitab al-Hikam, “Sesiapa saja yang melihat wujud alam raya ini, tetapi tidak melihat Yang Maha Benar di sana, maka sesungguhnya dia belum mendapatkan cahaya, dan awan-awan jejak wujud-Nya masih menghijabnya, menghalanginya untuk melihat matahari pengetahuan tentang hakikat-Nya.”

Mutiara hikmah Ibnu Athaillah memiliki makna yang mendalam bagi siapa saja yang mau berpikir, tafakkur, merenungkan tentang kandungan isinya. Tuhan/Allah merupakan perbendaharaan yang terpendam, yang tidak seorang pun mengenal-Nya. Tetapi, Ia tidak selamanya ingin tetap berada dalam kerahasiaan-Nya. Dia ingin dikenal dan diketahui, karenanya Ia menciptakan makhluk dan segala bentuk ciptaan agar ia dikenal.


Wujud dunia beserta seluruh isinya, merupakan cara Dia memperkenalkan dan menunjukkan eksistensi-Nya. Dia ingin agar semua makhluk-Nya mengenal-Nya melalui perantaraan seluruh ciptaan-Nya. Namun, sayangnya banyak ciptaan-Nya yang justru terhijab/terhalang dari mengenal-Nya, sebagai hakikat kebenaran Tunggal di dunia.

Kafir artinya tertutup dari kebenaran. Terhalang dari melihat kebenaran dengan “K” besar. Kebenaran dalam arti yang hakiki dan sesungguhnya, bukan sekedar kebenaran yang bertumpu pada asumsi, dan dzan semata.

Mereka yang beriman adalah orang-orang yang tersingkap hatinya untuk menerima kebenaran dari Yang Maha Benar. Kebenaran yang kerap kali tidak memerlukan dalil argumentasi ilmiah yang cenderung bermuara pada kekuatan yang sangat terbatas berupa akal.

Syaikh Ibnu Athaillah menerangkan, “Sesiapa saja yang melihat wujud alam raya ini, tetapi tidak melihat Yang Maha Benar di sana, maka sesungguhnya dia belum mendapatkan cahaya, dan awan-awan jejak wujud-Nya masih menghijabnya, menghalanginya untuk melihat matahari pengetahuan tentang hakikat-Nya.” Maknanya, siapa saja yang nampak dalam pandangan matanya, segala wujud ciptaan Allah berupa alam raya, lengkap dengan segala isinya, keteraturannya, dan keindahannya, namun dia tidak menyaksikan Tuhan/Allah di sana, maka sesungguhnya di belum mendapatkan cahaya.

Cahaya itulah Kebenaran, dengan “K” besar. Kebenaran dalam arti yang sesungguhnya. Keindahan alam telah menutupi hati orang tersebut dari melihat Yang Haq. Dia terjebak dalam buaian alam raya yang memaksanya terpesona dengan materi dan ciptaan. Orang yang seperti ini sejatinya masih berada dalam wilayah “kafir”, dalam pandangan kaum sufi. Mengapa?

Alam raya diciptakan untuk menunjukkan eksistensi Allah sebagai pencipta, bagaimana mungkin, ciptaan-Nya, menutupi eksistensi-Nya? Padahal segala sesuatu diciptakan untuk menunjukkan keberadaan-Nya.

Pantas saja banyak orang yang terjebak dalam formalitas ibadah, sering menyalahkan dan mengkafirkan orang lain, karena sesungguhnya mereka sedang terjebak dalam formalitas ibadahnya. Ia merasa lebih baik dari yang lain karena menganggap ibadahnya telah menjadikannya sebagai orang yang berhak mengklaim yang lainnya dengan just “kafir”nya.

Dalam salah satu syair dikatakan, “Akeh kang apal Qur’an haditse seneng ngafirke marang liyane, kafire dewe gak digatekne, yen isih kotor ati akale, yen iseh kotor ati akale”.

Setidaknya, syair ini bisa mengingatkan kita untuk lebih arif dan bijak lagi dalam mensikapi persoalan yang berkembang di tengah kehidupan keagamaan masyarakat. Lebih banyak melakukan koreksi diri bukan mengoreksi orang lain. Jangan-jangan di dalam shalat, puasa, haji, shadaqah dans seabrek ketaatan yang kita lakukan, kita terjebak pada “kekafiran” diri karena terhalang dari menemukan hakikat sejati. Pantaslah ketaatan terasa hambar, maksiat tetap berjalan, dan berbagai bentuk kejahatan masih meraja lela. Padahal di dalam “KTP” nya tertera agama “Islam”.

Komentar