Akar Maksiat
dan Taat
Perbuatan
baik memiliki dampak positif bagi kehidupan seseorang, yakni terciptanya rasa
tenang dan nyaman di hati. Sebaliknya, perbuatan buruk berdampak negatif yang
berujung pada resah, dan gundah gulana. Perbuatan baik itu, bentuknya berupa
ketaatan pada perintah Sang Khaliq, sementara keburukan itu bentuknya adalah
perbuatan maksiat kepada-Nya.
Persoalannya,
di dalam kehidupan ini banyak orang yang ingin meninggalkan perbuatan maksiat,
namun seringkali ia mengalami kegagalan dalam upayanya tersebut, ia terjatuh
bahkan lebih dalam lagi hingga kadang-kadang ia merasa berat untuk bangkit
kembali. Inti persoalan ini sebenarnya kembali pada akar masalah yang belum
diketahuinya, yakni akar dari perbuatan maksiat itu sendiri.
Syaikh Ibnu
‘At{a>illa>h al-Sakandari> dalam kitabnya al-H}ikam mengatakan, “Awal
segala bentuk pembangkangan kepada Tuhan (maksiat), kelalaian dan hasrat-hasrat
rendah (syahwat) adalah karena kita ridla dengan nafsu kita. Sementara asal-usul
segala ketaatan kepada Tuhan, kewaspadaan, serta ‘iffah (menjauhkan diri dari
perbuatan yang tak patut) adalah karena kita berani melawan nafsu kita.”
Seringkali
dalam kehidupan ini kita mengalami kondisi dimana kita terjerumus pada
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Kita sering menilai orang
lain sesuai dengan sudut pandang kita, berkata buruk kepada orang lain, mencaci
atau sejenisnya. Seringpula kita lalai di dalam kehidupan kita, menunda-nunda
pekerjaan yang semestinya bisa kita selesaikan, membiarkan waktu kita terbuang
sia-sia dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dan lain sebagainya.
Keadaan dan
kondisi demikian, sesungguhnya bukan datang secara tiba-tiba. Artinya tidak
terjadi secara ‘ujug-ujug’. Tidak ada yang instan di dunia ini. Semua
hal yang terjadi di dunia ini sesungguhnya berawal dari sesuatu yang telah kita
kerjakan dan biasakan dalam hidup.
Kelalain
dan kemaksiatan itu, menurut Syaikh Ibnu ‘At}a>illa>h berawal dari adanya
sikap ‘rid}a’, rela terhadap nafsu yang bercokol di hati kita. Setiap orang
memiliki nafsu. Nafsu ini akan tetap ada selama manusia masih bernafas. Artinya
ia tidak bisa dihilangkan dari dalam diri manusia.
Nafsu
diciptakan oleh Allah Swt. sebagai wasi>lah bagi manusia agar ia
bersikap progressif dan dinamis, tidak stagnan. Dengan nafsu
manusia memiliki keinginan untuk berkembang dan berubah menjadi lebih baik. Namun,
tidak jarang nafsu menimbulkan ambisi berlebihan yang berujung pada kelalaian.
Nah, di
sinilah sesungguhnya peran akal yang diberikan Allah Swt. kepada setiap
manusia. Dengan akalnya, semestinya manusia bisa mengendalikan nafsunya,
mengelolanya agar tidak terjerumus pada ambisi yang berujung pada kelalain dan
kemaksiatan. Karena itu, jangan sekali-kali merasa ridla terhadap nafsu, selalu
menurutinya. Ridha terhadap keinginan nafsu serta terus menerus menuruti
keinginannya hanya akan menjerumuskan seseorang pada perilaku maksiat dan
menyimpang.
Al-Qur’an
menegaskan hal ini dengan firman-Nya, “Dan tidaklah aku (Yusuf) membiarkan
nafsuku, sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada hal yang buruk,
kecuali (nafsu) yang diberi rahmat Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. (QS. Yusuf (12); 53)
Nafsu
selalu mengajak kepada hal-hal yang buruk. Karena itu, setiap orang semestinya
memperhatikan dan waspada terhadapnya. Jangan sampai ia rela dan ridha terhadap
apa yang diinginkannya. Keridhaan terhadap nafsu akan menyebabkan seseroang
terjerumus pada kemaksiatan dan kelalaian beruntun. Akibatnya penyesalanlah
yang akan diperolehnya.
Maksiat bukan
sekedar kita melanggar larangan-larangan agama dan perintah-Nya. Maksiat juga
bisa kita maknai sebagai pembangkangan terhadap hukum alam dan hukum
masyarakat. Bukankah hukum alam itu merupakan sunnatulla>h yang tidak
pernah lagi bisa tergantikan? Bukankah manusia diciptakan secara qadrati
sebagai makhluk sosial yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari urusan
masyarakat?
Karena itu
janganlah mempersempit makna kemaksiatan hanya sebatas pada urusan melanggar
larangan-larangan agama. Lebih luas lagi memperturutkan nafsu untuk melakukan
hal-hal yang dilarang agama, bertentangan dengan prinsip hukum alam serta
bertolak belakang dengan nilai-nilai kemasyaratakan merupakan bentuk
kemaksiatan nyata yang harus ditinggalkan.
Bersikaplah
kritis terhadap keinginan nafsu. Dengan sikap kritis itu, kita tidak akan
lengah terhadap bujuk rayunya. Selalu berusaha mengarahkannya agar berjalan di
atas rel yang telah ditetapkan-Nya. Ingatlah keridhaan dan kecintaan terhadap
nafsu tanpa berlaku kritis akan berujung pada aib dan keterpurukan. Penyair Arab
mengatakan, “Mata seorang yang sedang jatuh cinta membuat segala cela dan
aib tak terlihat, sementara mata seorang pembenci membuat kesalahan-kesalahan
kecil menjadi tampak.”
Komentar
Posting Komentar