Ikhlas
Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya berjudul
di balik mujahadah 40 hari. Di bagian akhir saya menulis bahwa mengenai
keikhlasan saya akan menuliskannya pada artikel yang lain. Inilah artikel yang saya
akan tuliskan itu sebagai kelanjutannya.
Kata ‘ikhlas’ bukan hal asing di telinga kita. Hampir-hampir kita
selalu mendengarnya dalam setiap kesempatan. Namun, bagaimana sesungguhnya
ikhlas itu? Cukupkah ia sekedar diucapkan melalui lisan, atau lebih dari itu
bahwa ikhlas sesungguhnya merupakan hal sulit yang perlu dan harus diikhtiarkan
dalam kehidupan ini.
Kata ikhlas memang ringan diucapkan, akan tetapi perlu proses dan
perjuangan untuk benar-benar ikhlas dalam arti yang sesungguhnya. Apalagi dalam
hal urusan ibadah. Ikhlas merupakan ruh yang dengan-nya, maka amal-amal
perbuatan yang kita lakukan menjadi hidup dan bernilai di hadapan Allah Swt.
Syaikh Ibnu Athaillah dalam kitab-nya, al-Hikam, mengatakan, “Amal-amal
itu bagaikan gambar-gambar yang berdiri tegak, sementara ruh yang menjadikannya
hidup adalah adanya rahasia keikhlasan di dalamnya”. Apa yang disampaikan
oleh Syaikh Ibnu Athaillah ini merupakan isyarat bahwa ikhlas bukan urusan
gampang, segampang kita membalikkan telapak tangan, melainkan hal yang sangat
sulit dan membutuhkan proses serta perjuangan panjang untuk bisa sampai ke
sana.
Seringkali kita mendengar ada orang yang mengatakan, bahwa shalat
sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur’an, bisa mencegah perbuatan keji
dan mungkar. Akan tetapi, mengapa banyak orang yang shalat, maksiatnya tetap
jalan terus? Sudah berkali-kali menunaikan ibadah haji, tetapi tetap saja
perilakunya seperti orang yang tidak kenal ajaran agama?
Ini perlu untuk kita cermati dan renungkan. Seringkali orang
beranggapan salah, bahkan karena hal itu terjadi dan marak di tengah
masyarakat, akhirnya mereka menuduh agamalah biang keladi dari kesalahan itu. Pada
akhirnya, mereka merasa ‘frustasi’, marah, dan jengkel terhadap agama. Ini bukan
salah agama, melainkan oknum yang belum bisa sampai pada kondisi ‘merasakan’
manfaat ibadah itulah yang sesungguhnya keliru. Mengapa bisa terjadi? Salah satunya
mungkin sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu Athaillah, amal-amal yang
dikerjakannya masih sebatas gambar yang berdiri tegak dan belum hidup karena
ketidak adanya ikhlas di dalamnya.
Sehubungan dengan ikhlas ini, Syaikh Abdullah bin Husain Ba’lawi,
penta’lif kitab Sulam Taufiq mengatakan bahwa ikhlas itu meninggalkan perasaan
bisa ikhlas di saat sedang melakukan perbuatan ikhlas. Seorang yang benar-benar
ikhlas di dalam amal perbuatannya, dia tidak akan meng-Aku, bisa melakukan apa
yang dilakukannya. Sebaliknya, dia menyandarkan semua perbuatan/amal yang
dikerjakannya itu kepada Allah, ‘Billah’, semata karena pertolongan/fadhal
Allah Swt.
Para ulama umumnya membagi ikhlas menjadi tiga macam, yaitu ikhlas
al-abidin, ikhlas al-zahidin, dan ikhlas al-arifin. Pertama ikhlas
al-abidin, ikhlasnya orang yang ahli ibadah yaitu ikhlasnya orang-orang
yang dalam amalnya semata karena Allah, namun di samping itu masih ada tendensi
ingin mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kedua ikhlas al-zahidin,
ikhlasnya orang-orang zuhud, yaitu ikhlasnya orang-orang yang dalam amalnya
semata karena Allah, tidak ada lagi keinginan mengenai dunia beserta isinya,
namun masih ada keinginan kehidupan bahagia di akhirat. Ketiga ikhlas
al-arifin, ikhlasnya orang-orang yang ahli ma’rifat kepada Allah, tidak ada
lagi pamrih di dunia dan akhirat, serta dia sudah tidak lagi merasa bisa
melakukan apapun selain atas ‘pertolongan-Nya’.
Keikhlasan itu bertingkat, dan sulit dilakukan, tetapi bukan
berarti tidak bisa. Asalkan ada kemauan dan usaha, maka pasti keikhlasan itu
bisa diraih. Keikhlasan merupakan anugerah/karunia yang diberikan Allah Swt.
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, bukan semata karena usaha yang
dilakukan seseorang.
Syaikh Imam al-Ghazali mengatakan, “Semua manusia itu hancur,
kecuali orang-orang yang pandai, orang-orang pandai itu hancur, kecuali
orang-orang yang mengamalkan ilmunya, orang-orang yang mengamalkan ilmunya itu
hancur kecuali orang-orang yang ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, dan
orang-orang yang ikhlas itu masih dalam keraguan yang besar. Amal tanpa niat
itu sakit, niat tanpa ikhlas itu riya’
dan ikhlas tanpa kenyataan itu bagaikan debu beterbangan.”
Karena itu, mencermati hadits yang telah penulis angkat pada
artikel sebelumnya, apakah setiap orang yang telah melakukan amal ikhlas selama
40 hari mesti akan dibuka baginya sumber hikmah? Maka terjawab sudah bagaimana
keikhlasanya `dalam `amal. Masuk dalam tingkatan yang mana dia berada`. Dan apakah
sama dibukanya? Tentu tidak, disesuaikan dengan kadar kesiapan masing-masing
ornag dalam menerima ‘yanabi’ al-hikmah’ tersebut. Bagaimana dia
mempersiapkan hati dan jiwanya, serta wadahnya untuk menerima anugerah yang
akan diberikan Allah Swt. kepadanya.
Komentar
Posting Komentar