Nyatanya
Kebodohan
Salah
satu di antara hikmah diutusnya Rasulullah Saw. ke dunia ini adalah
mengeluarkan manusia dari kebodohan. Nyaris, setiap kali dalam sesi ceramah,
apapun bentuknya, asal dia seorang muslim, selalu mengikutsertakan shalawat
salam atas Nabi Muhammad Saw. yang telah mengeluarkan manusia dari zaman jahiliyah,-kebodohan.
Lantas benarkah semua umat Islam telah keluar dari sifat jahiliyah ini?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, tentu bukan perkara mudah. Tidak bisa ‘grusa-grusu’,
‘grudak-gruduk’. Diperlakukan perenungan secara mendalam, agar tidak
terjerumus pada ‘kesimpulan yang salah’.
Sejenak
kita mencoba berfikir, benarkah kebodohan telah benar-benar meninggalkan diri
kita. Jika yang dimaksudkan dengan kejahiliyahan ini, adalah kejahiliyahan saat
manusia menjadikan patung, berhala dan benda mati lainnya sebagai ‘Tuhan’ yang
bisa memberikan manfaat dan madharat, kemungkinan kita telah berhasil keluar
darinya.
Saya
memakai istilah ‘kemungkinan’ oleh karena yang mengetahui hal tersebut secara
benar, hanyalah Allah Swt. Secara formal, kita telah meninggalkan penyembahan
terhadap batu, patung, dan sejenisnya dengan menjalankan shalat sebagai
gantinya. Meyakini bahwa ‘wujud’ Tuhan, tidak bisa di ‘ejawantah’ kan melalui
media-media patung, batu, bintang, dan sejenisnya. Tuhan memiliki wujud yang
sama sekali berbeda dengan wujud makhluk-Nya, karena itu tidak bisa dan tidak
boleh di personalisasikan dengan benda materi.
Namun,
al-Qur’an juga mengingatkan meski kita sudah shalat, ada kemungkinan shalat
kita belum sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Akibatnya, shalat tersebut
tidak memiliki pengaruh, sehingga tidak bisa merubah perilaku, sikap dan
karakter pelakunya. Karena itu al-Qur’an menyindir orang-orang semacam ini
dalam Surat al-Ma’un sebagai, ‘orang-orang yang lalai dalam shalatnya’.
Jika
demikian halnya, kemungkinan,-saya pribadi, belum bisa keluar dari
kejahiliyahan tersebut. Lantas bagaimana? Apa perlu dan pentingnya shalat dalam
kondisi demikian? Jawabnya, tetap saja shalat itu wajib dan tidak boleh
ditinggalkan, meskipun shalat tersebut belum bisa memberikan pengaruh apa-apa. Tentunya,
dengan tetap berharap dan berdo’a semoga Allah mengangkat dari shalat disertai
hati yang lalai kepada shalat disertai hati yang hudhur. Dari hati yang
hudhur disertai hati yang senantiasa diliputi oleh ‘tajalli’-Nya. Tentu,
proses yang sungguh-sungguh dan istiqamah harus dilalui sehingga bisa sampai ke
sana.
Salah
satu di antaranya lagi bahwa Rasul Saw. diutus di dunia ini supaya berbicara
kepada umatnya sesuai dengan kadar kemampuan akalnya. Rasulullah Saw. bersabda,
‘Kami seluruh para Nabi diperintahkan untuk berbicara dengan manusia sesuai
dengan kadar kemampuan akalnya’. Apa artinya?
Artinya
salah satu tanda bahwa seseorang telah keluar dari sifat ke-jahiliyah-an
adalah mereka yang mampu berbicara dengan orang lain sesuai dengan kadar
akalnya. Jika mereka berbicara dengan anak kecil, mereka menggunakan bahasa
anak-anak, jika berbicara dengan orang-orang berpendidikan, mereka berbicara
dengan bahasa sesuai kapasitas mereka.
Persoalannya
banyak orang yang ingin menunjukkan kehebatannya, kecerdasannya dengan
menggunakan bahasa ‘muluk-muluk’ agar dianggap sebagai seorang yang cerdas. Orang-orang
semacam ini sesungguhnya telah menunjukkan ‘kebodohannya yang nyata’ dengan
sikap yang demikian. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak merasa dan justru
merasa bangga serta yakin bahwa para pendengarnya akan terkagum-kagum
kepadanya.
Kondisi
semacam ini seharusnya tidak terjadi pada seorang yang cerdas. Orang cerdas itu
bagaikan air, di mana ia ditempatkan, ia akan menyesuaikan dengan bentuk
wadahnya. Dia tidak menunjukkan keberadaannya, melainkan wadahnya-lah yang
ditunjukkan oleh-nya.
Semoga
kita bisa mendapatkan rahmat Allah Swt., sehingga kita dikeluarkan dari kondisi
‘jahiliyah’ yang kerap menggerogoti, namun tidak kita sadari. Kejahiliyahan
itu sejatinya merupakan wujud ‘ananiyah’ dan ke ‘takabbur’ an
yang masih bercokol di hati kita. Semoga Allah Swt. memberi hidayah. AAMIIN
Komentar
Posting Komentar